Menghirup Polusi Udara di Batavia sejak Zaman Kolonial Belanda

Menghirup Polusi Udara di Batavia sejak Zaman Kolonial Belanda
info gambar utama

Kualitas udara di Jakarta yang memburuk karena polusi terus menjadi perbincangan publik beberapa akhir pekan ini. Polusi udara ini berpotensi membuat warga terserang penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).

Berdasarkan data dari website pemantau kualitas udara IQAir, Jumat (18/8/2023) pada pukul 07.00 Indeks Kualitas Udara (AQI) Jakarta mencapai 125. Jakarta termasuk dalam kota dengan polusi tertinggi kesembilan di dunia, setelah Shenyang, China.

Keragaman Kuliner Betawi sebagai Titik Temu Lintas Negara di Jakarta

Tetapi masalah polusi di Jakarta ternyata sudah terjadi sejak zaman kolonial Belanda pada abad 18. Jakarta yang ketika itu bernama Batavia yang awalnya dijuluki sebagai Ratu dari Timur mulai terganggu dengan kehadiran ragam polusi.

“Ketika itu ramainya pembalakan liar, munculnya ragam industri, serta perilaku masyarakat Batavia yang abai pada lingkungan jadi penyebabnya. Perlahan-lahan, pencemaran lingkungan itu mulai memakan korban jiwa,” jelas VOI dalam Polusi di Batavia Sejak Zaman Belanda.

Keserakahan VOC

Munculnya polusi di Batavia sangat terkait dengan keserakahan para pejabat VOC dalam kurun waktu 1680 hingga 1720. Ketika itu perusahaan kompeni tersebut hanya memikirkan soal keuntungan, tetapi mengabaikan dampak ekologis.

Demi keuntungan itu, VOC melanggengkan investasi besar-besaran dalam membangun lahan pertanian, perkebunan, dan pabrik. Dampaknya adalah banyak ruang terbuka hijau yang ditebang untuk pembukaan lahan.

“Penebangan pohon demi perusahaan gula dan terlebih lagi penanaman padi yang memerlukan irigasi, berdampak cukup besar terhadap sungai. Setiap tahunnya didatangkan sekelompok orang Jawa lumput dari Cirebon untuk mengeruk parit dan kanal, tetapi mereka tidak mampu menahan pendangkalan; garis pantai cepat bergeser,” kata Sejarawan Hendrik E Niemeijer dalam buku Batavia Masyarakat Kolonial Belanda XVII (2012).

Berkunjung ke Maison Weiner, Toko Kue yang Telah Berdiri Sejak Zaman Kompeni

Bondan Kanumoyoso dalam disertasinya Beyond the City Wall menyebut beberapa lokasi pabrik-pabrik gula di Batavia. Ada 16 pabrik gula di Ciliwung, 36 pabrik di sepanjang Kali Sunter, dan 26 pabrik di tepi kali Pesanggrahan.

“Jumlah itu bertambah pada 1710, ketika industri ini mencapai kejayaannya,” tulisnya.

Upaya penanggulangan

John Joseph Stockdale dalam Island of Java menjelaskan VOC melakukan tindakan untuk mencegah pencemaran udara. Misalnya mereka mengatasinya dengan menanam banyak pohon di taman-taman terbuka, rumah dan kantor pemerintah.

Di sepanjang jalan dan kanal juga ditemukan pohon-pohon besar. Pohon-pohon yang ditanam pun memiliki jenis yang beragam, bahkan sebagian orang Eropa di Batavia tak mengenalnya.

“Umumnya berasal dari jenis pohon anophyllum, calophyllum, dan Calaba. Namun ada juga jenis pohon yang tidak dikenal,” katanya.

Sejarah Kota Jakarta: Dari Sunda Kelapa sampai Ibukota

Namun dampak dari polusi ini cukup berat bagi masyarakat Batavia. Orang-orang Eropa di Batavia terkena sebuah penyakit misterius. Tercatat hampir 85.000 orang meninggal dunia karena hal itu.

Masalah polusi masih berlanjut hingga VOC bangkrut pada 1799 dan digantikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada 1800. Ketika itu Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels mengambil jalan pintas memindahkan pusat kota.

“Bahaya kematian tersebut membuat para warga Batavia, dengan kekayaannya, membangun vila-vila yang lebih luas dan udaranya lebih segar di luar daerah pemukiman yang lama. Pada pertengahan abad, kota tersebut sudah melebar ke selatan sejauh Bogor,” jelas Jean Gelman Taylor dalam buku Kehidupan Sosial di Batavia.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini