Kisah Batik Tanah Priangan yang Ingin Lepas dari Pengaruh Mataram

Kisah Batik Tanah Priangan yang Ingin Lepas dari Pengaruh Mataram
info gambar utama

Cerita batik dari tanah Priangan seperti tak seelok keindahan panorama dataran tingginya yang memukau. Sejak dulu, batik dari tanah Priangan seperti tertelan oleh kedigdayaan batik-batik dari tanah Mataram.

Dilihat dari Kompas, batik Priangan memang tak bisa lepas dari pengaruh pendatang dari Jawa Tengah. Di tahun 1825, ketika terjadi Perang Diponegoro terjadi pengungsian besar-besaran menuju Jawa Barat.

“Sebagian pengungsi itu adalah pembatik dari Banyumas. Mereka banyak memberikan pengaruh, terutama pada warna latar batik Ciamis, Indramayu, dan Tasikmalaya,” tulis Ken Atik, Herman Jusuf, dan Didit Pradito dalam Batik Tatar Sunda.

Produk Tekstil Batik dan Tenun Buatan RI Siap Merambah Pasar di Afrika Selatan

Tetapi, masyarakat Priangan sebenarnya telah mengenal ragam hias batik sejak abad ke 12, seperti ditulis dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian. Naskah yang menceritakan tata cara hidup orang Sunda ini menyebut berbagai motif batik.

“Motif kembang, pasi-pasi, kalangkang ayakan, poleng rengganis, jayanti, boeh siang, surat awi, ragen penganten, hingga boeh alus. Warna-warna yang digunakan kuning, dan coklat tanah, serta biru dari pohon tarum,” tulisnya.

Kebangkitan batik Priangan

Tetapi setelah runtuhnya Kerajaan Sunda tahun 1579 membuat motif-motif tersebut tak pernah disebut lagi. Apalagi saat itu bertepatan dengan invasi pasukan Mataram. Para bupati kemudian diwajibkan mengenakan batik motif Mataram.

“Saat itu orang Sunda harus memakai batik dan memakai pakaian seperti orang Jawa, kecuali tutup kepala yang diperbolehkan dipakai sesekali,” jelasnya.

Batik Priangan kembali bangkit setelah terjadinya krisis moneter akibat Perang Dunia I. Tepatnya tahun 1930, dengan munculnya industri batik rumahan di Tasikmalaya, Ciamis, dan juga Garut.

Dukung Potensi Batik Ciprat “Debog”, KKN Undip Kenalkan SNI dan Indikasi Geografis

Batik yang dibuat saat itu adalah batik-batik motif baru atau modifikasi dari motif lama (Mataram), tetapi bukan motif zaman Pajajaran. Misalnya di Garut yang mulai ada pembatik sejak 1910.

“Ciri menonjol dari batik Garut adalah warna latar kuning muda, seperti warga gading atau gumading. Motif-motifnya, antara lain kotak, kawung, dan parang,” ucapnya.

Terus berkembang

Penulis buku Seputar Garut Darpan Ariawinangun mengatakan kebiasaan membatik sudah lama ada di Tatar Sunda. Hal ini karena kedatangan Karel Frederik Holle akhir abad ke 19 dengan mendirikan Perkebunan Teh Waspada di Garut.

“Holle memberi kesempatan warga memproduksi batik untuk pakaian sehari-hari atau pakaian kerja di kebun. Dalam buku panduan perjalanan Garoet en Omstreken, batik garutan sudah jadi oleh-oleh wisatawan di tahun 1920,” katanya.

Di Tasikmalaya, batik berkembang pesat hingga di tahun 1939. Namun, di masa penjajahan Jepang. Kondisinya berubah 180 derajat hingga ratusan usaha batik tutup dan baru kembali bangkit setelah Indonesia merdeka.

Optimalkan Pemasaran Batik Ciprat, Tim II KKN Undip Gelar Pelatihan Digital Marketing

Di Ciamis, batik jaya tahun 1960-an hingga 1980-an. Perajin batik Ciamis yang bergabung di Koperasi Rukun Batik membeli sejumlah aset hingga mendirikan pabrik bahan baku batik yang hingga kini menjadi markas koperasi.

“Namun, sejak masuknya tekstil motif batik tahun 1980-an, batik ciamisan pun surut,” ucapnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini