Kisah Bencana Ekologis yang Buat Warga Kolonial Tinggalkan Batavia

Kisah Bencana Ekologis yang Buat Warga Kolonial Tinggalkan Batavia
info gambar utama

Kota Batavia pernah dibangun dengan mimpi menyerupai Amsterdam. Namun, semua mimpi itu akhirnya gagal dan kota yang dijuluki Ratu dari Timur ditinggal penduduknya karena sanitasi buruk.

Pada awal 1600, Kongsi Dagang Hindia Belanda atau VOC membangun Batavia. Keelokan Batavia dicatat oleh seorang bangsa Portugis bernama Innigo de Biervillas yang mengunjungi wilayah itu pada 1718.

“Batavia kota yang elok, makanan berlimpah, dan lingkungan Batavia yang sehat,” jelasnya.

Cerita Teror Gang Buntu dari Kebayoran Lama, Jejak Kelam Orde Baru?

Di buku Batavia Kisah Jakarta Tempo Doeloe yang berisi kumpulan dari karangan majalah Intisari 1963-1968 dijelaskan jumlah sungai di Batavia mencatat rekor terbanyak pada masa VOC. Hal ini karena Belanda gembar membangun kanal atau sungai buatan.

Hal ini karena Belanda bertujuan untuk meningkatkan keuntungan melalui transportasi sungai, menekan potensi banjir di pusat kota, juga karena kerindungan mereka akan tanah kelahirannya, Amsterdam.

“Amsterdam memang terkenal cantik dengan banyak kanalnya,” papar Kompas.

Bawa malapetaka

Tetapi penyumbang terbesar kerusakan ekologi Batavia ternyata berasal dari kanal-kanal itu. Ketika kemarau, sungai surut, bau busuk akibat endapan lumpur menguar hingga ke perumahan warga.

Ketika hujan, air dari kanal meluap ke bagian kota yang lebih rendah. Banjir menyisakan lumpur, kotoran, dan juga tinja manusia. Sejarawan, JJ Rizal menyatakan kotoran manusia masa itu memang dibuang ke sungai.

“Di Batavia saat itu, seperti di Eropa, mereka menggunakan ember-ember besar atau tahang yang dibuat orang Tionghoa untuk menampung kotoran manusia. Nanti pada pukul 09.00 malam ada peraturan dari pemerintah daerah untuk tinja dibuang ke kanal,” katanya.

Menghirup Polusi Udara di Batavia sejak Zaman Kolonial Belanda

Kondisi Batavia yang buruk itu kemudian berdampak luar biasa. Dalam buku Batavia Jakarta Tempo Doeloe disebutkan pada awal abad ke 20, wabah kolera di Batavia jadi penyakit mematikan. Penyakit ini juga menjalar hingga Bogor, Sukabumi, dan Bandung.

“Ada hari-hari ketika di Batavia ada 160 orang meninggal. Mereka mengalami kejang-kejang hebat dan meninggal dunia beberapa saat kemudian,” tulis Susan Blackburn dalam Jakarta Sejarah 400 Tahun.

Ditinggalkan

Air kanal dan sungai yang tercemar limbah menjadi sumber penyakit. Ditambah banyak genangan yang menjadi lahan subur tempat nyamuk pembawa bibit penyakit yang berkembang biak.

Tetapi karena rendahnya pemahaman masyarakat pada saat itu, sebagian orang Eropa cenderung menyalahkan udara yang berbau busuk. Lebih celaka, orang Indonesia malah membentengi diri dengan khasiat air suci.

“Mereka mengambil air dari lokasi keramat atau yang didoakan pemuka agama juga dengan ritual massal mengusir penyakit,” jelasnya.

Keragaman Kuliner Betawi sebagai Titik Temu Lintas Negara di Jakarta

Kesadaran menata kota menjadi lebih sehat dengan memperbaiki sistem sanitasi tidak juga dilakukan. Disebutkan oleh Susan, pemerintah dan warga kala itu lebih memilih pindah ke kawasan baru di Molenvliet, Jacatraweg, hingga Weltevreden.

Pada 1779, populasi kota Batavia yang kini menjadi Kota Tua turun menjadi 12.131 orang karena ada 160.986 orang memilih tinggal di luar kota. Kota itu dibiarkan seperti kuburan, ditelantarkan, dan diubah menjadi kandang kuda.

“Batavia runtun lantaran kegagalan pemerintah merencanakan dan mengelola kota. Batavia hancur karena bencana ekologis,” jelas JJ Rizal.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini