Journastoria: Ikhtiarku Melestarikan Budaya dan Sejarah Sulawesi Tengah

Journastoria: Ikhtiarku Melestarikan Budaya dan Sejarah Sulawesi Tengah
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Suasana Kota Palu sore itu seperti biasa, panas dan terik. Lalu lalang kendaraan ramai melintasi kawasan Jalan Gadjah Mada yang berada di Kelurahan Ujuna, Kecamatan Palu Barat. Di sisi kiri dan kanan ruas jalan tersebut, berjejer pertokoan yang berderet rapat. Sebagian telah berubah wajah menjadi modern, sebagian masih menampakkan bangunan aslinya, seperti saat pertama dibangun puluhan tahun silam.

Situasi panas dan terik ini tidak menyurutkan niat belasan anak muda, yang berkumpul di sebuah lorong, tidak jauh dari ruas jalan itu. Mereka berkumpul di areal sebuah bangunan tua bertingkat dua yang kini menjadi kos-kosan. Dulu, bangunan ini adalah sebuah sekolah Tionghoa bernama Chung Hwa Xue Xiao, yang didirikan oleh Liem Pok Tjin, seorang pendatang dari Pulau Pingtan, Cina Selatan, pada tahun 1921.

Di sisi utara bangunan ini terdapat sebuah gedung bekas kelas, yang telah menjadi tempat tinggal para mantan pegawai Universitas Tadulako. Pasca sekolah ini ditutup tahun 1965 sebagai dampak dari stigma yang diberikan kepada masyarakat Tionghoa akibat G30S/PKI, arealnya diambil alih oleh militer dan pada tahun 1974 diserahkan kepada IKIP Ujung Pandang Cabang Palu, yang merupakan salah satu institusi perguruan tinggi yang menjadi cikal bakal lahirnya Universitas Tadulako.

Anak-anak muda ini sebagian besar adalah siswa SMA Karuna Dipa, sekolah yang didirikan oleh Yayasan Karuna Dipa, sebagai pengganti Chung Hwa Xue Xiao pada tahun 1982. Kehadiran mereka, sebagai bagian dari kegiatan bertajuk “Jalan-jalan Bareng Journastoria”, yang dilaksanakan pada Sabtu (3/9/2022). Kegiatan ini mengambil tema “Menelusuri Jejak Tionghoa di Kota Palu”.

Budaya Betawi-Tionghoa dalam Kebaya Encim Iriana Jokowi di KTT ke-43 ASEAN

Kegiatan ini mengambil titik start di lokasi bekas sekolah Tionghoa, yang terletak di Lorong Bhakti, Jalan Gajah Mada, Kelurahan Ujuna, Kecamatan Palu Barat. Dari situ, peserta berjalan kaki menyusuri rute Jalan Gajah Mada – Klenteng – Jalan Teuku Umar – Jalan Sungai Lewara – Jalan Sungai Kinore (SD Muhammadiyah 1 Palu) – Jalan Gajah Mada dan kembali ke lokasi bekas sekolah Tionghoa.

Selain diikuti oleh belasan siswa SMA Karuna Dipa yang didampingi guru pendamping, sejumlah wartawan, mahasiswa UIN Datokarama Palu, serta sejumlah peserta dari kalangan komunitas.

Kegiatan ini sendiri dilaksanakan oleh Journastoria, sebuah platform laman web yang saya bangun sejak November 2021. Platform laman web ini sendiri saya bangun untuk memperkenalkan kebudayaan, sejarah dan segala hal-hal menarik tentang Sulawesi Tengah, khususnya Kota Palu. Ketertarikan saya dengan kebudayaan, sejarah dan hal-hal unik lainnya tentang Sulawesi tengah, khususnya Kota Palu, lahir dari beberapa alasan. Pertama, saya dibesarkan di Kota Palu, sehingga secara personal saya memiliki kedekatan dengan kota tersebut.

Kedua, saya mengenyam pendidikan di Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Tadulako, lalu kemudian di Jurusan Sejarah Peradaban Islam UIN Datokarama Palu. Latar belakang pendidikan ini membuat saya semakin tertarik menggali khasanah budaya dan sejarah Sulawesi Tengah, khususnya Kota Palu. Ketiga, budaya kami di Sulawesi Tengah, khususnya di Palu sejak dahulu adalah budaya tutur. Konsekuensi dari budaya tutur ini adalah pudarnya memori masyarakat tentang budaya dan sejarah wilayahnya. Hal ini semakin memprihatinkan dengan kurangnya literatur tentang kebudayaan dan sejarah wilayah tersebut.

Salah satu contoh adalah sebelum bencana gempa bumi, tsunami dan likuefaksi yang melanda wilayah Palu, Sigi, Parigi Moutong dan Donggala, 28 September 2018 lalu, tidak banyak orang yang mengetahui bahwa di wilayah Teluk Palu misalnya, sebelum tsunami 2018, telah terjadi dua kali tsunami sebelumnya, yakni 1 Desember 1927 dan 20 Mei 1938. Rentang waktu yang jauh antara bencana tsunami sebelumnya dengan tsunami 2018 membuat memori tentang bencana tersebut hilang dan membuat masyarakat menganggap bahwa Teluk Palu aman dari tsunami.

Contoh kedua, wilayah pesisir Kelurahan Mamboro, salah satu kelurahan di utara Kota Palu, merupakan wilayah pesisir yang paling terdampak akibat tsunami 2018. Kawasan pemukiman di pesisir pantai yang dikenal dengan nama Tanjung Ruru itu, luluh lantak disapu tsunami. Puluhan kepala keluarga yang merupakan pendatang dari Provinsi Sulawesi Selatan menjadi korban. Jauh sebelum tsunami 2018, kawasan ini juga terdampak tsunami teluk Palu pada 1927 dan 1938. Dari para pendatang asal Provinsi Sulawesi Selatan yang selamat inilah kemudian terungkap fakta, mereka tidak mendapatkan cerita tentang peristiwa tsunami sebelumnya dari masyarakat setempat, sehingga memutuskan untuk menempati kawasan tersebut pada medio 1980-an.

Sosok Lie Kim Hok, Peran Bapak Melayu Tionghoa dalam Kesusastraan Indonesia

Contoh-contoh di atas hanya sebagian kecil dari dampak memudarnya memori tentang kebudayaan dan sejarah Sulawesi Tengah, khususnya Palu, sebagai konsekuensi dari budaya tutur tadi. Hal inilah yang menjadi dasar paling kuat bagi saya, untuk membangun platform tersebut, mendokumentasikan kebudayaan dan sejarah wilayah yang saya tinggali.

Selain membangun platform laman web dengan alamat www.journastoria.com, saya juga merasa perlu untuk mengenalkan secara langsung khasanah budaya dan sejarah Sulawesi Tengah, khususnya Kota Palu, kepada masyarakatnya. Untuk itu hadirlah kegiatan “Jalan-jalan Bareng Journastoria ini”. Sebelumnya, pada 20 November 2021, Journastoria melaksanakan kegiatan bertajuk “Jelajah Kota Kolonial Palu””, yang mengajak masyarakat untuk mengenal situs-situs peninggalan kolonial di Kota Palu.

Kegiatan Jelajah Kota Kolonial palu yang diinisiasi oleh Journastoria, 20 November 2021.
info gambar

“Jalan-jalan Bareng Journastoria” dengan tema “Menelusuri Jejak Tionghoa di Kota Palu” sendiri, saya laksanakan dengan tujuan untuk memperkenalkan kepada masyarakat, mengenai sejarah masyarakat Tionghoa yang ada di Kota Palu, lewat beberapa titik lokasi yang menjadi penanda hal tersebut. Selain itu, dengan kegiatan ini, diharapkan kawasan yang menjadi penanda kehadiran masyarakat Tionghoa di Kota Palu ini, mendapat perhatian dan dilestarikan oleh pemerintah.

Titik start kegiatan ini misalnya, adalah lokasi bekas sekolah Tionghoa bernama Chung Hwa Xue Xiao, Beberapa gedung dari sekolah yang dibangun pada tahun 1921 ini masih bisa dilihat. Kemudian, titik kedua yaitu Jalan Gajah Mada, yang menjadi kawasan pemukiman masyarakat Tionghoa di Kota Palu, sejak akhir abad 19, hingga saat ini. Titik ketiga yakni Klenteng Kwan Im Miau yang ada di Jalan Gajah Mada, yang dibangun pada tahun 1942.

Kampung Ketandan Yogyakarta, Sepotong Akulturasi Tionghoa di Bumi Mataram

Titik ke empat, Jalan Teuku Umar dan Jalan Sungai Lewara, juga merupakan lokasi pemukiman masyarakat Tionghoa sejak akhir abad ke-19. Jalan Teuku Umar juga terhubung dengan Pasar Tua, yang menjadi titik vital bagi masyarakat Tionghoa di masa lalu dalam berdagang.

Titik terakhir yakni SD Muhamadiyah 1 Palu, yang menampung siswa sekolah Tionghoa, saat sekolah tersebut ditutup sementara akibat Pemberontakan Permesta tahun 1957/1958, ke sekolah tersebut. Hal yang sama juga terjadi saat sekolah Tionghoa benar-benar ditutup pada tahun 1965. Hal ini menunjukkan, sejak dulu toleransi antar umat beragama telah hadir di Sulawesi Tengah, khususnya Kota Palu.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

J
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini