Punden i Pager: Pelestarian berbasis Kearifan Lokal Masyarakat

Punden i Pager: Pelestarian berbasis Kearifan Lokal Masyarakat
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbungUntukMelambung

Halo kawan GNFI. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan warisan budaya yang beragam, baik berupa tangible maupun intangible. Masyarakat sebagai subjek yang bersinggungan langsung dengan warisan budaya memiliki peran penting dalam upaya pelestarian.

Berbagai kearifan lokal yang berkembang di masyarakat menjadi strategi dalam menjaga dan melestarikan warisan budaya yang ada. Salah satu fenomena pelestarian benda cagar budaya berbasis kearifan lokal terdapat di Desa Pager, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.

Naskah Pararaton menyebutkan toponim Pager (Talaga Pager) sebagai nama tempat yang dilalui Raden Wijaya bersama pasukannya ketika hendak menyelamatkan diri dari serangan pasukan Glang-glang.

Sementara dalam Kakawin Nagarakrtagama menyebutkan nama Pager menjadi salah satu daerah yang dilalui oleh rombongan Hayam Wuruk ketika hendak menuju ke Jajawa ri ardi Kumukus (Candi Jawi). Toponim Pager yang disebutkan dalam kedua naskah tersebut rupanya adalah Desa Pager kini.

Batu dengan relief motif hiasan belah ketupat (lihat gambar 1)

Gambar 1. Batu dengan relief motif hiasan belah ketupatSumber: Dokumentasi oleh Shofwatul Qolbiyah
info gambar

Argumen tersebut didasarkan pada rute-rute yang dilalui masih dikenali hingga sekarang seperti wedwawedwan (Gunung Wedon) dan Talaga (Desa Sumberrejo),

Prasasti Renek (1379 M) berisi tentang pengembalian tanah tegal kepada warga di Desa Renek yang semula dikuasai oleh Akuwu di Tambak. Nama Pager disebut sebagai parawansa (keluarga bangsawan) yang turut menjadi saksi dalam peristiwa pengembalian tanah kepada warga Desa Renek “sama sanak riŋ pager sira mula dharmma gunita, sira blaŋ, sira soma”.

Kiranya nama Pager dalam Prasasti Renek mengacu pada Desa Pager Kecamatan Purwosari. Pendapat tersebut diperkuat dengan kesamaan nama-nama desa yang lokasinya masih tergolong dekat dengan Desa Pager yang juga disebut dalam Prasasti Renek seperti pamanggihan (nama sekarang Manggian), talaga (sekitar Sumberrejo), maneneb (Ngeneb, Pandaan), lawadan (lawatan), tambak (tambak), dan pananan (sekitar Sukorejo).

Mengenal Desa Tihingan yang Warganya Sejahtera dengan Kerajinan Gamelan

Temuan Arkeologis

Batu dengan bentuk menyerupai pelipit candi (lihat gambar 2)

Gambar 2. Batu dengan bentuk menyerupai pelipit candiSumber: Dokumentasi oleh Shofwatul Qolbiyah
info gambar

Eksistensi Desa Pager kemungkinan sudah ada sejak masa akhir Kerajaan Tumapel (Singhasari) yang berlanjut hingga masa Kerajaan Majapahit. Peran penting Desa Pager tertulis jelas dalam Prasasti Renek yang menyebutkan bahwa Desa Pager menjadi tempat keluarga bangsawan bermukim. Selain itu, terdapat pula jabatan mula dharmma yaitu sebagai kepala (sebuah) tempat suci.

Meskipun hingga kini masih belum dapat dipastikan tempat suci ‘yang seperti apa’ yang pernah didirikan di Desa Pager, dari temuan struktur batuan yang ada kemungkinan batu-batu tersebut merujuk pada komponen bangunan candi.

Namun untuk benar-benar memastikan dan memberi klaim bahwa struktur temuan tersebut mengacu pada bangunan candi tentu dibutuhkan data arkeologis yang lebih mendukung.

Hadi Sidomulyo dalam kunjungannya ke Desa Pager menyebutkan jika terdapat struktur batuan kuno di sekitar area pemakaman desa di Pager. Namun kini, batu-batuan tersebut sudah tidak in situ ditempat aslinya.

Batu-batu tersebut dihimpun dan disusun menyerupai bentuk miniatur candi yang susunan batunya tidak beraturan. Batuan-batuan yang ditemukanpun beragam, seperti:

Batu berbentuk silinder menyerupai lingga (lihat gambar 3)

Gambar 3. Batu berbentuk silinder menyerupai linggaSumber: Dokumentasi oleh Shofwatul Qolbiyah
info gambar
Belkote Paints Hadirkan Inovasi Baru untuk Memajukan Industri Painting Lokal

Bentuk Pelestarian oleh Masyarakat

Mengacu pada UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya menyebutkan bahwa makna pelestarian adalah upaya dinamis yang dilakukan guna mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya.

Masyarakat sebagai salah satu pihak yang dekat dengan cagar budaya memiliki peran sentral dalam upaya pelestarian cagar budaya. Tidak hanya sebatas pihak pendukung dalam pelestarian cagar budaya, masyarakat kerap menjadi tokoh utama dalam pelestarian cagar budaya.

Di Bali, bangunan pura-pura kuno hingga kini masih dilestarikan dengan cara memanfaatkannya untuk tempat persembahyangan bagi umat Hindu. Begitupun dengan upaya masyarakat di Desa Pager, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Pasuruan yang melakukan upaya pelestarian pada temuan batu-batu kuno di area pemakaman Desa Pager.

Batu-batuan (yang diduga bagian dari struktur candi) dihimpun menjadi satu di bawah naungan cungkup di bagian depan area pemakaman. Batuan tersebut disusun menyerupai bentuk miniatur candi dengan susunan yang tidak beraturan. Susunan tersebut membentuk ruang kosong di tengah yang menyerupai grbhagraha.

Pada bagian ruang kecil tersebut diletakkan batu lumpang yang biasa digunakan untuk tempat pembakaran dupa dan meletakkan bunga setaman oleh peziarah. Sementara lingga patok berukuran kecil diletakkan di bagian atas sususan batuan yang seakan-akan menyerupai kemuncak candi (lihat gambar 4).

Gambar 4. Susunan struktur batuan candiSumber: Dokumentasi oleh Shofwatul Qolbiyah
info gambar

Punden tersebut berada dalam satu cungkup dengan kelima makam yang dikeramatkan sebagai pendiri (babat alas) Desa Pager. Makam-makam tersebut merupakan makan dari Eyang Sindu Bromo, Eyang Danu Tirto, Eyang Sutowijoyo, Eyang Lukito Sastro, dan Eyang Dewi Oekoro Wati.

Para peziarah biasa berdoa dan melakukan ritual tertentu di area cungkup tersebut. Dalam sudut pandang arkeologi, alihfungsi struktur batuan candi menjadi punden tentu tidak dibenarkan.

Upaya Atasi Ancaman Wabah Baru, Tim Ahli Global Bentuk Komisi Pencegahan Pandemi

Namun masyarakat setempat melakukan bentuk pelestarian sesuai dengan kearifan lokal yang diyakini. Struktur batuan-batuan tersebut disusun sedemikian rupa dan dijadikan keramat oleh masyarakat pendukungnya, sehingga batuan-batuan yang sudah ditemukan sejak bertahun-tahun lalu tetap terjaga.

Pengeramatan pada batu-batuan candi menjadi punden menjadi salah satu upaya sederhana masyarakat setempat untuk melindungi temuan arkeologis tersebut dari pencurian maupun perusakan (vandalisme). Karena berdasarkan keyakinan yang berkembang, punden-punden mempunyai keramat yang menyebabkan petaka bagi siapa saja yang berbuat buruk.

Jika melihat pada potensi dan peran Desa Pager di masa lalu yang menjadi tempat pemukiman keluarga bangsawan, tentu kiranya masih banyak peninggalan-peninggalan arkeologis yang mungkin belum ditemukan hingga sekarang.

Maka sebuah keniscayaan jika dilakukan edukasi kepada masyarakat setempat mengenai upaya pelestarian cagar budaya yang sesuai dengan cara-cara yang sudah ditentukan seperti, melaporkan penemuan kepada pemerintah desa setempat; mengamankan temuan dari pencurian ataupun pengrusakan; dan melakukan pemanfaatan cagar budaya dengan baik agar kelestariannya dapat terjaga.

Referensi:

  • Damaika, S., Widya, K., Aminullah, Z.P., Marginingrum, N., & Septi, N. 2019. Kakawin Nagarakertagama. Yogyakarta: Narasi.
  • Hardjowardojo, R.P. 1965. Serat Pararaton. Malang: Bhratara.
  • Sidomulyo, H. 2007. Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
  • Suhadi, M & Soekarto, M.M. 1988. Laporan Penelitian Epigrafi Jawa Tengah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  • UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

SQ
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini