Sastra Lisan Lumbung Memori Antargenerasi Masyarakat Desa Sidorejo, Lendah, Kulonprogo

Sastra Lisan Lumbung Memori Antargenerasi Masyarakat Desa Sidorejo, Lendah, Kulonprogo
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Sebelum masa aksara dan teknologi internet, bagaimana kita terhubung dengan masa lalu?

Dari mana kita tahu proyek Roro Jonggrang yang dikerjakan Bandung Bondowoso beserta kolega jin-nya dalam semalam meski berakhir gagal, cerita turunnya Dewi Sri, dan kisah kesaktian Saridin, sementara kisah-kisah tersebut pada awal kemunculannya tidak berbentuk tulis?

Asumsi yang paling mungkin, kisah-kisah di atas sampai pada kita melalui perantara lisan, sehingga tidak salah untuk menyebutnya sebagai ‘sastra lisan’.

Berangkat dari Rasa Penasaran

Sejauh amatan, sastra lisan Indonesia dapat diklasifikasikan dalam dua kategori berdasarkan cakupan wilayah sebarannya.

Pertama, sastra lisan nasional yang tujuannya untuk kepentingan nasional dalam rangka mengukuhkan jati diri bangsa berdasar lokalitas.

Kedua, sastra lisan pedesaan yang keberadaannya bisa jadi ditujukan sebagai sarana pewarisan pengetahuan lokal dan pemertahanan adat-tradisi secara khusus di wilayah tertentu.

Melihat Sakralitas Gamelan, Benarkah Terkait Ritual Keagamaan Orang Jawa?

Sastra lisan nasional dapat tersebar antardaerah, namun sastra lisan pedesaan belum tentu bisa melintas ke daerah yang bukan tempat kelahirannya.

Namun, satu hal yang mungkin saja pasti, sastra lisan nasional bagaimanapun dulunya adalah sastra lisan pedesaan.

Apabila menilik dari sisi aksesibilitas, sastra lisan nasional lebih banyak dikenal karena disokong berbagai instrumen dari pemerintah, mulai dari penelitian, penerbitan buku-buku terkait, hingga memasukannya sebagai materi pelajaran di sekolah-sekolah.

Sementara itu, sastra lisan pedesaan berkutat di desa kelahirannya, dan dipertahankan oleh masyarakat desa tersebut dengan mengandalkan memori serta pewarisan non-formal secara lisan.

Berdasarkan dua kategori di atas, tentu sastra lisan nasional dan sastra lisan pedesaan senantiasa saling terkait, mengingat budaya bangsa yang tidak bisa lepas dari khazanah lokalitas.

Lantas, sejauh mana sastra lisan pedesaan berperan? Bagaimana upaya paling tepat menjaga sastra lisan sebagai lumbung memori generasi?

Berangkat dari dua poin kegelisahan di atas, pada 2018, saya dan kawan-kawan dari komunitas Jawasastra berkolaborasi dengan Karang Taruna Bhakti Sidorejo mengerjakan inisiatif bersama kecil-kecilan, yakni mengumpulkan seluruh sastra lisan di Desa Sidorejo, Lendah, Kolonprogo untuk dicetak menjadi sebuah buku berjudul Ngrumat Sastra Ngruwat Desa.

Proses Penulisan Ngrumat Sastra Ngruwat Desa

Ngrumat Sastra Ngruwat Desa memuat kumpulan sastra lisan di Desa Sidorejo, Lendah, Kulonprogo. Ditulis dengan dua bahasa, bahasa Jawa dan bahasa Indonesia.

Sebelum diterbitkan, ada waktu sekitar tiga bulan untuk proses penggarapannya. Apabila diuraikan, terdapat tiga tahapan utama:

Pertama, komunitas Jawasastra bermusyawarah dengan Karang Taruna Bhakti Sidorejo guna menyepakati alur pengerjaan serta memetakan sastra lisan seperti apa yang hendak dikumpulkan.

Setelah berbagai pertimbangan, maka diputuskan bahwa tidak ada kriteria tertentu untuk sastra lisan yang dikumpulkan.

Kedua, tahap penulisan sastra lisan. Pada tahapan ini, pemuda-pemudi anggota Karang Taruna Bhakti Sidorejo dikelompokkan menurut asal dusun, kemudian bertugas melakukan wawancara dan menuliskannya ke dalam bahasa Jawa dan bahasa Indonesia.

Satu hal yang menarik dari tahap kedua adalah fakta bahwa mayoritas anggota Karang Taruna Bhakti Sidorejo tidak terbiasa menulis sastra.

Cerita Ken Dedes yang Lompat ke Sumur untuk Tolak Lamaran Joko Lulo

Meski demikian, pada proses pengerjaan, mereka bersedia untuk belajar, dan sedikit mendorong diri mereka sendiri, sehingga terwujudlah tulisan-tulisan sastra lisan pedesaan dengan struktur bahasa yang ‘menggembirakan’.

Ketiga, tahap terakhir berupa editing. Pada tahapan ini, pengerjaan menjadi menyenangkan meski butuh kesabaran lebih, karena muncul rasa apresiasi tinggi pada pemuda/pemudi desa yang bisa jadi sepanjang hidupnya tidak pernah menulis sastra, mendadak punya karya sastra hasil garapan sendiri.

Program penulisan sastra lisan Desa Sidorejo berhasil mengumpulkan sembilan belas sastra lisan. Ada yang berupa cerita asal suatu tempat, cerita suatu tempat menjadi keramat, dan warisan pengetahuan lokal.

Sastra Lisan adalah Lumbung Memori

Wit Gom
info gambar

Dari sembilan belas sastra lisan yang terkumpul, ada satu cerita yang menurut saya menarik, yakni cerita berjudul Wit Gom (pohon gom).

Wit gom (pohon gom) merupakan sejenis pohon jarak. Mendapat nama ‘gom’ karena punya khasiat menyembuhkan penyakit ‘gom-gomen’ (sejenis penyakit mulut).

Pengobatannya sederhana. Pasien datang ke juru rawat wit gom dengan membawa bunga tujuh rupa, atau uang untuk biaya ganti beli bunga.

Setelah itu, diadakan upacara yang dipimpin juru rawat wit gom. Bunga yang telah dibawa disebar di bawah wit gom, lalu diadakan doa bersama. Usai berdoa, juru rawat wit gom akan memetik daun wit gom, dan diusapkan pada pasien.

Dari prosesi tersebut, dipercaya sakit yang diderita pasien akan berangsur pulih. Namun uniknya, sakit tersebut tidak serta merta menghilang, namun berpindah ke tubuh juru rawat wit gom.

Makna Legenda Bison Putih bagi Suku Asli Amerika
Sesaji di Wit Gom
info gambar

Wit gom dipercaya masyarakat Desa Sidorejo berusia 450 tahun. Kira-kira ditanam tepat tiga tahun sebelum Kerajaan Pajang yang dipimpin Sultan Hadiwijaya berdiri, sekitar tahun 1563.

Mungkin saja pernyataan bahwa wit gom berusia 450 tahun sekadar klaim, sebab hingga saat ini belum pernah dilakukan penelitian terkait usia wit gom tersebut.

Namun, seandainya wit gom betul-betul berumur 450 tahun, bukankah pewarisan memori antargenerasi di Desa Sidorejo sungguh luar biasa?!

Menurut As Lang dalam Marian W. Smith (2012: 302), sastra lisan merupakan salah satu cara untuk bertahan hidup.

Selaras dengan pernyataan As Lang, dalam rangka kelangsungan hidup di bidang kesehatan, pada kasus wit gom, masyarakat Desa Sidorejo punya pengetahuan herbal cara mengobati sakit mulut sejak ratusan tahun yang lalu.

Endel Tulving dalam James Fentress & Chris Wickham (1992: 32), menjelaskan bahwa sistem memori manusia dapat dibagi menjadi dua klasifikasi, yakni sistem memori semantik dan sistem memori episodik.

Sistem memori semantik merujuk pada kehadiran simbol-simbol yang memiliki makna tertentu, sementara sistem memori episodik merupakan memori personal.

Berangkat dari dua klasifikasi Endel Tulving di atas, dapat dipahami bahwa sastra lisan, yang memuat simbol, menggunakan sistem memori semantik sebagai sarana ungkapnya, contohnya sakit pasien wit gom yang berpindah ke tubuh juru rawat.

Legenda Lutung Kasarung yang Terabadikan dari Tumpukan Batu di Ciamis

Namun pada awal kemunculannya, sangat dimungkinkan bahwa sastra lisan tidak lain merupakan pengalaman personal seseorang di masa lalu, disepakati oleh masyarakat yang hidup semasa, dan diturunkan antargenerasi demi menjaga esensi positif yang ada di dalam sastra lisan itu sendiri meski redaksinya rawan berubah.

Buku berjudul Ngrumat Sastra Ngruwat Desa memiliki arti kurang lebih ‘membina sastra merawat desa’.

Ngrumat Sastra Ngruwat Desa telah disebarkan ke sekolah-sekolah di Desa Sidorejo, dijadikan pertunjukan kethoprak oleh pemuda-pemudi Desa Sidorejo, dan berhasil menegaskan bahwa sastra lisan adalah lumbung memori antargenerasi.

Daftar Bacaan:

  1. Fentress, J. (1992). Social memory. Blackwell.
  2. Habibi, Wildan (ed). (2018), Ngrumat Sastra Ngruwat Desa, Yogyakarta: Penerbit Terang
  3. Smith, M. W. (1959). The importance of folklore studies to anthropology. Folklore, 70(1), 300-312.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

FL
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini