Filosofi Jambu: Dua Prinsip Berbudaya bagi Anak Rantau

Filosofi Jambu: Dua Prinsip Berbudaya bagi Anak Rantau
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Fenomena merantau ke berbagai daerah dan negara merupakan salah satu pola mobilitas yang sedang popular dikalangan anak bangsa. Kesempatan emas untuk studi, bekerja, menikah dan berkarya kerap menjadi alasan bagi sejumlah orang untuk beranjak dari kampung halaman menuju tanah rantau yang penuh harapan. Namun, berada jauh dari rumah ternyata bukanlah perkara yang mudah. Seorang perantau tidak sekedar berpindah lokasi, tetapi juga mengalami transisi budaya.

Selaku anak rantau, penulis turut mengalami dan merasakan berbagai dinamika perantauan terutama berkaitan dengan persoalan dilematis seorang perantau untuk memposisikan diri antara kebudayaan yang telah dianut sejak kecil dengan kebudayaan yang ditawarkan di rumah baru. Berbekal pengalaman pribadi dan hasil eksplorasi kepustakaan, penulis ingin membagikan sebuah perspektif mengenai cara pelestarian budaya bagi anak rantau yang terangkum dalam prinsip “Jambu”.

Mengapa Jambu?

Salah satu tanaman buah yang dapat ditemukan dengan mudah hampir di seluruh wilayah Indonesia adalah pohon jambu. Menariknya, pohon jambu dapat berbuah sepanjang tahun tanpa dipengaruhi dengan pergantian musim, bahkan sebagian besar jenis jambu bisa ditanam dan berbuah dimana saja asalkan kebutuhan airnya tercukupi. Selain mudah didapat, jambu juga sangat bermanfaat. Dilansir dari laman Alodokter, daun dan buah jambu memiliki khasiat yang penting bagi Kesehatan.

Jambu dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi harian, sekaligus mengobati berbagai jenis penyakit. Lantas, apa korelasi antara jambu, budaya dan anak rantau? Hal utama yang penulis soroti dari berbagai fakta tentang jambu adalah kemampuannya untuk tetap eksis dan produktif kapanpun dan dimanapun. Dari sinilah tersirat sebuah pesan agar dimanapun berada, seorang perantau harus tetap eksis sesuai dengan budaya asalnya sekaligus terus produktif meskipun berada di tempat yang berbeda budaya. Lebih daripada itu, jambu merupakan sebuah akronim yang penulis rumuskan untuk menyampaikan dua pesan penting bagi anak rantau. Pertama, Jambu berarti Jangan Melupakan budaya. Kedua, Jambu berarti Jangan Menghindari Budaya.

Lumpia Semarang, Potret Akulturasi Dua Kebudayaan

Jangan Melupakan Budaya

Pada saat menjejakan kaki di medan perantauan, seorang perantau bisa saja merasakan kekaguman bahkan jatuh cinta dengan kebudayaan yang baru dikenalnya. Akan tetapi, berlabuh pada kebudayaan yang baru bukan berarti membiarkan budaya asal berlalu. Jambu tetaplah jambu meskipun berpindah tempat. Seseorang tidak serta merta berganti identitas budaya sekalipun berada di daerah yang berbeda. Berdasarkan pengalaman penulis, berikut ini beberapa hal yang bisa diupayakan oleh seorang perantau agar tidak melupakan budaya asal.

  1. Menjalin relasi dengan komunitas daerah asal yang ada di daerah perantauan.

Bertemu sesama perantau merupakan kesempatan untuk menjalin silahturahmi, berbagi pengalaman, sekaligus melestarikan budaya. Seorang perantau bisa menggunakan bahasa daerah asal untuk berkomunikasi dengan rekan perantau yang lain sehingga terus fasih berbahasa daerah.

  1. Membawa atribut budaya.

Ada satu hal penting yang penulis sadari setelah beberapa waktu lamanya berada di perantauan, yaitu pentingnya memiliki atribut kebudayaan asal, seperti pakaian adat ataupun aksesoris meskipun berada di daerah yang berbeda. Sebab, dengan membawa atribut budaya tersebut, rasa memiliki dan kecintaan seseorang terhadap budaya asalanya akan semakin kuat. Atribut budaya yang dibawa juga dapat digunakan pada berbagai kegiatan bernuansa nasional di daerah perantauan. Misalkan pada saat perayaan HUT-RI atau pada acara pekan Nusantara dan acara lainnya yang memungkinkan untuk menggunakan aksesoris maupun pakaian adat dari berbagai daerah di Indonesia.

  1. Memperkenalkan budaya asal kepada orang lain.

Seorang perantau secara tidak langsung juga menjalankan tugas sebagai agen budaya. Menyadari hal tersebut, seyogyanya kecintaan anak rantau terhadap budaya asalnya dapat diekspresikan kepada orang lain yang berbeda kebudayaan. Hal yang pernah penulis lakukan, seperti memasak makanan khas daerah untuk disantap bersama-sama teman dari daerah lain sambil mengajarkan bahasa daerah yang digunakan penulis. Alhasil, hal tersebut ternyata memunculkan keingintahuan untuk memahami kebudayaan lain dan menumbuhkan rasa empati terhadap budaya yang berbeda.

Pinandita dan Tari Pendet, Dua Kebudayaan Tradisonal Bali yang Ikut Sukseskan KTT G20

Jangan Menghindari Budaya

Persoalan lain yang sering dihadapi seorang perantau pada saat berada di perantauan yaitu gegar budaya (culture shock). Menurut Cambridge Dictionary, gegar budaya merupakan kondisi dimana seseorang merasakan kebingungan pada saat mengunjungi suatu tempat atau negara yang tidak diketahuinya. Kebingungan yang dihadapi seorang perantau ini dapat berujung pada ketidaknyamanan terhadap budaya yang berbeda, dan rasa keterasingan pada saat berada di perantauan. Padahal persoalan gegar budaya yang bernuansa negatif ini dapat menjadi peluang positif bagi seseorang untuk mengasah diri. Berikut ini dua cara mengasah diri yang bisa perantau lakukan di tanah rantau.

  1. Bersikap Adaptif bukan antipati.

Pada dasarnya manusia memiliki kemampuan untuk bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Sehingga bukan hal yang mustahil bagi seorang perantau untuk bersikap adaptif pada saat berada di daerah yang berbeda. Seorang perantau yang berjiwa tangguh, tidak akan rapuh hanya karena budaya yang baru. Berdasarkan pengalaman penulis, kemampuan adaptif dapat terbentuk jika seorang perantau mau berpikiran terbuka terhadap budaya yang baru. Bukan membangun tembok terhadap budaya lain karena perbedaannya, melainkan memperluas cara pandang terhadap budaya tersebut.

  1. Belajar memahami Kebudayaan setempat

Jikalau pohon jambu dapat bertumbuh dimana saja, selagi airnya cukup. demikian jugalah manusia dapat bertumbuh dimanapun asalkan terus belajar. Prinsip inilah yang penulis terapkan di tanah rantau. Kesempatan mengembangkan diri dengan mempelajari budaya setempat merupakan hal yang terlalu berharga untuk disia-siakan. Anak rantau bisa mempelajari bahasa daerah setempat, menjelajahi situs-situs kebudayaan yang ada, mengenal lagu dan tarian daerah, menikmati makanan khas, mengenakan pakaian daerah lalu mengabadikan secara digital dan mempublikasikannya kepada saudara dan sahabat di kampung halaman. Akhirnya, wawasan keindonesiaan semakin bertambah, cinta akan keragaman semakin berlimpah.

Kaya Kebudayaan, Ini Tradisi Suku Tengger Selain Yadnya Kasada

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

DG
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini