Cerita Klasik dari Kebudayaan Wilayah Gegesik

Cerita Klasik dari Kebudayaan Wilayah Gegesik
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbunguntukMelambung

Gegesik adalah sebuah wilayah yang terletak di Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat. Gegesik terdiri dari 14 Desa, dan yang menjadi sentral ada 5 Desa yaitu Gegesik Kidul, Gegesik Lor, Gegesik Kulon, Gegesik Wetan, dan Panunggul. 5 Desa tersebut menjadi wilayah yang dinobatkan sebagai Kampung Seni Budaya. Gelar Kampung Seni Budaya tak lepas dari kebiasaan masyarakat Gegesik dalam menghargai kesenian dan kebudayaan baik oleh kalangan orang tua, pemuda, dan anak-anak. Hal tersebut tercipta dari kebiasaan para orang tua yang mendidik anak-anaknya tentang pentingnya melestarikan kesenian dan kebudayaan di Gegesik. Kesenian dan kebudayaan di Gegesik masih tetap terjaga kelestariannya walaupun telah melewati berbagai zaman. Hal itu tercermin dari adanya beragam acara adat dan budaya masyarakat Gegesik yang selalu menjadi sesuatu menarik untuk dipelajari.

Pusaka Peninggalan Leluhur Gegesik

Pusaka Gruda pada Karnaval Muludan Gegesik | Foto : Teater Reka Community
info gambar

Gegesik mempunyai peninggalan benda bersejarah yang masih dirawat dengan baik yaitu Pusaka Gruda. Pusaka Gruda merupakan benda berbahan kayu dan berbentuk tandu ukiran menyerupai sosok perpaduan dari naga, burung garuda, dan rusa. Ada beragam versi tentang sejarah Pusaka Gruda, versi yang beredar di masyarakat yaitu dahulu ada seorang penduduk menjala ikan di sungai. Kemudian ia menemukan sebongkah kayu misterius tersangkut di jala miliknya. Kayu tersebut diolah dan diukir sehingga memiliki bentuk seperti saat ini. Pusaka Gruda telah berusia ratusan tahun dan masih dilestarikan oleh para tokoh adat sebagai warisan dari leluhur masyarakat Gegesik. Pada hari peringatan Maulid Nabi (Muludan) Pusaka Gruda dibersihkan dan dipajang, kemudian diarak oleh para tokoh adat mengelilingi wilayah Gegesik. Hal tersebut senantiasa menjadi pusat perhatian bagi para wisatawan untuk melihat prosesi dikeluarkannya Gruda. Setelah diarak, Pusaka Gruda kembali disimpan di dalam ruangan khusus balai Desa Gegesik Lor.

Proses pencucian Pusaka Bareng di saluran irigasi | Foto : Teater Reka Community
info gambar

Pusaka Bareng adalah benda berbahan perunggu dan mempunyai bentuk berupa alat musik gong. Bareng mempunyai nilai sejarah pada masa lalu yaitu sebagai alat untuk menarik perhatian masyarakat ketika memberikan kabar berita (woro-woro). Saat ini Bareng sudah berusia ratusan tahun dan masih dirawat dengan baik oleh para tokoh adat Gegesik. Pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha Bareng dikeluarkan lalu diarak mengelilingi Desa menuju saluran irigasi sawah untuk dilakukan proses pencucian. Setelah dicuci, Bareng kemudian diisi air dari saluran irigasi dan kembali diarak menuju balai Desa Gegesik Kidul. Selama perjalanan banyak masyarakat mengambil air yang tertampung dari Bareng. Masyarakat masih percaya pada mitos zaman dulu yaitu air dari Bareng bisa bermanfaat untuk kesuburan sawah dan ladang penduduk.

Tradisi Adat dan Budaya Masyarakat Gegesik

Acara adat Mapag Sri Desa Gegesik Kidul | Foto : Teater Reka Community
info gambar

Wilayah Gegesik memiliki beragam tradisi ritual adat salah satunya mapag sri. Mapag Sri merupakan tradisi masyarakat Gegesik dalam rangka menyambut panen raya. Tradisi Mapag Sri dilaksanakan dengan beberapa rangkaian acara yaitu dimulai dari menjemput simbol Dewi Sri dan Jaka Sedana di area sawah. Dewi Sri dan Jaka Sedana merupakan tokoh mitologi yang diyakini masyarakat sebagai Dewi Pangan dan Dewa Sandang. Prosesi selanjutnya adalah pemotongan padi oleh tokoh Dewi Sri dan Jaka Sedana sebagai simbol dimulainya panen raya. Tokoh Dewi Sri dan Jaka Sedana kemudian membawa potongan padi dan ditandu oleh masyarakat menuju Balai Desa. Di Balai Desa, para tokoh adat, masyarakat petani, dan Kuwu (Kepala Desa) menyambut kedatangan rombongan Dewi Sri dan Jaka Sedana dengan alunan musik gamelan serta pagelaran wayang kulit. Dewi Sri dan Jaka Sedana kemudian menyerahkan hasil pemotongan padi kepada Kuwu Desa kemudian potongan padi tersebut dibagikan ke masyarakat petani. Potongan padi tersebut akan digunakan sebagai benih untuk ditanam kembali di sawah.

Tumpeng Kamulyan Barikan Akbar Gegesik | Foto : Teater Reka Community
info gambar

Tradisi Barikan merupakan salah satu ritual adat Desa yang bertujuan untuk menolak bala atau bencana. Barikan rutin dilaksanakan pada bulan Agustus setelah peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia. Barikan dilakukan dengan menggelar tumpeng dan makanan di jalan atau di alun-alun, kemudian seluruh masyarakat memanjatkan doa tolak bala dan dilanjutkan makan bersama. Menurut Bapak Rakmat selaku Kuwu Gegesik Kidul, Barikan berasal dari kata “Barokahan” atau keberkahan. Masyarakat berharap dengan berdoa dan berbagi makanan bersama bisa mendapat keberkahan serta terhindar dari musibah.

Menurut Kiai Hasan Wahyudin dalam tausiahnya, Barikan identik dengan tumpeng yaitu singkatan dari “Tuntunan ingkang lempeng” yang artinya jalan hidup lurus. Orang yang membuat tumpeng harus berwudhu dahulu, sehingga nasi tumpeng disebut nasi wudhu. Seiring waktu, nasi wudhu lebih sering disebut nasi uduk oleh masyarakat. Nasi tumpeng selalu dihidangkan bersama ayam bekakak yang dibentuk seperti sedang bersujud. Hal tersebut mempunyai makna tunduk kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga nasi tumpeng dan bekakak ayam mengandung makna bahwa setiap manusia yang menginginkan kehidupan lurus maka harus tunduk kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Salah satu karya seni masyarakat pada Karnaval Muludan Gegesik | Foto : Teater Reka Community
info gambar

Acara Muludan Gegesik atau peringatan Maulid Nabi merupakan tradisi dari zaman dahulu hingga sekarang. Selain memperingati Maulid Nabi, Muludan merupakan acara silaturrahmi antar Desa. Silaturrahmi tersebut dilaksanakan dengan mengunjungi situs-situs makam leluhur masyarakat Gegesik. Selain masyarakat lokal, acara Muludan disaksikan para wisatawan dari luar Gegesik hingga luar Kota. Pada puncak peringatan Muludan ada berbagai acara yaitu : khitanan massal, karnaval budaya, pameran benda pusaka, dan pameran hasil karya seni masyarakat Gegesik. Karnaval Budaya terdiri dari barisan pusaka gruda, pusaka bareng, peserta khitanan massal, dan disusul dengan peserta karnaval budaya karya seni masyarakat.

Acara Muludan merupakan muara dari potensi masyarakat Gegesik diantaranya pameran kebudayaan, kerajinan, dan UMKM sehingga dapat mengangkat perekonomian masyarakat. Pada malam sebelum puncak acara Muludan dimeriahkan dengan acara Pagelaran Seni Budaya. Pameran dan Pagelaran Seni Budaya tersebut meliputi seni lukisan kaca, ukiran kayu, musik gamelan hadroh, tari tradisional, teater rakyat, dan wayang kulit. Dampak dari Festival Kebudayaan tersebut adalah menjadi motivasi bagi generasi muda untuk mencintai seni dan budaya daerah. Selain itu semua acara adat dan kebudayaan di Gegesik memiliki dampak terhadap kemajuan perekonomian dan UMKM masyarakat Gegesik. Semoga artikel ini bisa lebih mengangkat potensi wilayah Gegesik supaya lebih dikenal oleh masyarakat luar sehingga menarik perhatian untuk berwisata ke Gegesik. Sekian dan terima kasih, salam budaya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

SA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini