Tarian Tentang Keperkasaan Pangeran Sambernyawa yang Hilang Ratusan Tahun

Tarian Tentang Keperkasaan Pangeran Sambernyawa yang Hilang Ratusan Tahun
info gambar utama

Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa merupakan sosok pendiri Keraton Mangkunegaran. Keperkasaan Mangkunegara I ini telah direkonstruksi dalam tari Dirodo Meto (Gajah Mengamuk).

Sosok RM Said terkenal sebagai seorang pangeran yang paling sukar tunduk kepada kompeni. Dia tak mau berkompromi, hidupnya berpindah dari hutan ke hutan, bergerilya menggunakan taktik menghindar-menyerang.

Mangkunegara VI, Sang Reformis dengan Warisan Besar yang Terlupakan

Agar mengenang pertempuran-pertempurannya, Kiai Kidang Wulung yang merupakan ahli tari dan Demang Seca Karma, ahli karawitan menciptakan tiga tarian. Pertama, Bedhaya Anglir Mendung, Kedua, Bedhaya Dirodo Meto, dan Ketiga Bedhaya Sukapratama.

“Dari tiga tari itu, yang berhasil diselamatkan adalah Bedhaya Anglir Mendung,” tulis laman Tempo.

Hilang ratusan tahun

Tari Dirodo Meto selama seratus tahun lebih tak pernah dipergelarkan, dan bisa disebut telah punah. Dalam catatan Tempo, sedikit sekali data mengenainya. Tak ada catatan-catatan mengenai bentuk koreografi dan iringan musik tarian.

Karena itulah pada 2007 lalu, saat peringatan 250 tahun kelahiran Mangkunegara I. Pihak Keraton Mangkunegaran memilih merekontruksi Bedhaya Dirodo Meto. Tari ini agaknya merupakan harga diri dan identitas penting bagi Mangkunegaran.

“Pada peperangan di Rembang itulah RM Said menunjukkan nasionalismenya dibanding kedua keraton lain. Di sinilah, RM Said mendapat julukan yang menggetarkan: Pangeran Sambernyawa.

Mangkunegara VI, Sang Reformis dengan Warisan Besar yang Terlupakan

Pihak Mangkunegaran menujuk dua penari senior Institut Seni Indonesia Solo, Wahyu Santoso Prabowo dan Daryono. Mereka mengaku cukup susah melakukan rekontruksi tarian bersejarah itu.

Selama setahun waktu digunakan untuk meriset, termasuk membaca Babad Lelamphan yang berisi kisah-kisah sebelum RM Said menjadi raja, dan Babad Tutur sesudah dirinya diangkat jadi raja. Haslnya tak banyak ditemukan.

“Kami ingin mendapat sebanyak mungkin informasi data, tapi ternyata sulit,” kata Daryono.

Proses rekontruksi

Patokan pertama untuk menghidupkan Dirodo Meto adalah tarian itu dibawakan oleh tujuh penari laki-laki. Semua unsur gerak tari ini diramu dari vokabuler-vokabuler gerak yang diambil dari khazanah tari Mangkunegaran.

Rekonstruksi ini dimulai dengan adegan maju beksan. Dari dalam, muncul tujuh penari diiringi tujuh pengawal keluar mengambil posisi awal. Para penari bersila, selanjutnya menampilkan Beksan Laras.

“Melakukan pola-pola sesembahan dan kemudian humadeg berdiri, lalu bergerak pelan. Gending Kemanak mengiringi. Suasananya meditatif,” jelasnya.

Ponten Mangkunegara VII, Sebuah MCK Modern Sebagai Penanda Kemajuan Budaya

Dan, akhirnya karena tema utama Dirodo Meto adalah tentang pertempuran maka banyak vokabuler kemudian diambil dari khazanah tari wireng. Wireng adalah tari keprajuritan. Mangkunegaran memiliki banyak catatan tertulis mengenai berbagai tari wireng.

Penggambaran adegan perang juga diiringi gendang Ladrang Dirodo Meto. Gending ini biasanya dipakai dalam adegan-adegan tertentu pertujukan wayang. Gending ini diisi gerongan, yakni koor pria dengan syair-syair yang ditemukan di Babad Tutur.

“Saya kira tontonan ini puitis sekali, kena sekali,” kata penari muda, Fajar Satriadi.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini