Bukan Sekadar Makanan: Mengungkap Rahasia Dibalik Tradisi Bodo Lopis Raksasa Pekalongan

Bukan Sekadar Makanan: Mengungkap Rahasia Dibalik Tradisi Bodo Lopis Raksasa Pekalongan
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbungUntukMelambung

Terletak di pesisir utara Jawa Tengah, kota pelabuhan Pekalongan kaya akan sejumlah situs warisan budaya yang menarik. Salah satu tradisi yang khas dan unik di kota ini adalah “Bodo Lopis Raksasa”.

Tradisi ini bukan sekedar hiburan semata, melainkan perayaan yang melibatkan masyarakat dalam menjaga tradisi dan menghormati leluhur.

Seluk Beluk Tradisi Bodo Lopis Pekalongan

Kota Pekalongan menghadirkan berbagai perkembangan lingkungan yang sangat luar biasa luasnya. Beberapa masyarakat dan adat istiadat telah melalui perjalanan panjang dan masih dipertahankan oleh masyarakat saat ini. Kebiasaan ini sudah lama diwariskan dari zaman ke zaman.

Salah satu adat istiadat tersebut adalah “Bodo Lopis Raksasa” di wilayah Krapyak. Syawalan merupakan ibadah adat yang diselenggarakan oleh masyarakat Kota Pekalongan, khususnya di wilayah Krapyak, dan umumnya dilaksanakan tujuh hari setelah Hari Raya Idul Fitri.

Secara garis besar, tradisi Bodo Lopis di daerah Krapyak mempunyai akar yang erat dengan latar belakang sejarah hadirnya Kota Pekalongan, meskipun terdapat perbedaan varian dalam hal tersebut.

Salah satu hipotesis mengenai asal mula nama Kota Pekalongan adalah asal Kota Pekalongan sendiri dari kata “along” yang memiliki arti banyak atau “along” yang bermakna kalong dalam bahasa Indonesia berarti kelelawar.

Topo Ngalong” merupakan ritual yang dilakukan oleh Joko Bahurekso (prajurit Sultan Agung yang ditugaskan untuk menyerang Batavia), karena kalah Bahurekso memilih untuk melakukan “Topo Kalong”, oleh sebab itu, tempat pertapaan tersebut dikenal dengan sebutan kota “Pekalongan”.

Selang beberapa waktu kemudian adat Bodo Lopis dibawakan oleh KH. Abdullah Sirodj, seorang ulama dari kota Krapyak yang sebenarnya memiliki hubungan dengan Temenggung Bahurekso. Adat ini telah menjadi standar keberadaan warga Krapyak selama lebih dari 135 tahun, terhitung sejak tahun 1885 M.

Fungsi pemotongan lopis baru dimulai pada tahun 1956 oleh Bapak Rohmat, yang pada saat itu menjabat sebagai Kepala Kota setempat. Yang membuat adat Bodo Lopis begitu luar biasa adalah diperkenalkannya lopis yang dibentuk menjadi raksasa dengan tinggi mencapai 2 meter, lebar 1,5 meter, dan beban mencapai 100 kg.

Prosesi acara adat Bodo Lopis ini meliputi serangkaian rangkaian acara yang meliputi pembuatan monster lopis, dengan proses penggelembungan yang berlangsung selama 4 hari 3 malam.

Sistem perakitan ini memerlukan bahan-bahan seperti ½ kuintal beras lengket, 1.000 liter santan, garam, dan daun pisang sebagai pembungkus. Pembuatan lopis ini sengaja diselesaikan oleh daerah setempat dan selanjutnya mendapat bantuan dana dari Pemerintah Daerah Pekalongan.

Baca Juga: Peran Komunitas Sebagai Alternatif Upaya Melestarikan Kebudayaan Nasional dan Lokal

Fungsi Tradisi Bodo Lopis Raksasa Bagi Masyarakat

Syawalan merupakan acara yang digemari oleh para masyarakat pesisir di penjuru wilayah. Di Jawa Tengah, tradisi Syawalan dilaksanakan dalam beragam jenis perayaan dan acara adat.

Salah satu modelnya ada di Kota Pekalongan yang mempunyai adat unik bernama Bodo Lopis Raksasa. Tentu saja, kebiasaan ini memainkan beberapa peran penting yang menghubungkan berbagai perspektif, seperti dijelaskan di bawah ini:

  1. Fungsi Sense of Strengthening the Relationship (Rasa Mempererat Hubungan)

Tradisi Bodo Lopis masih ada di Kota Pekalongan, khususnya di wilayah Krapyak. Tradisi tersebut sebenarnya masih ada hingga saat ini dengan alasan bahwa penduduk kota Krapyak merasa bahwa ini adalah warisan bersama yang harus tetap dilestarikan, dengan tujuan untuk mempererat hubungan sosial di antara mereka.

Dari segi mental, adat Bodo Lopis menghimbau individu untuk melakukan tradisi yang dilakukan setelah hari raya Idul Fitri. Melaksanakan tradisi Bodo Lopis memerlukan perencanaan yang matang karena melibatkan minat masyarakat luar daerah Krapyak, sehingga menjadikan adat ini milik penghuni Krapyak, namun telah menjadi simbol dan tempat wisata yang populer.

  1. Fungsi Sanse of Responsibility (Rasa Tanggung Jawab dan Melindungi)

Tradisi Bodo Lopis Raksasa diharapkan dapat memberikan rasa aman kepada masyarakat sekitar, khususnya masyarakat Pekalongan, dari rasa tidak nyaman, cemas dan perasaan negatif yang tidak perlu terkait dengan kemungkinan berkurangnya kenikmatan dalam kehidupan sehari-hari.

Tradisi ini dilakukan setelah Idul Fitri yang mempunyai makna suci dalam mensucikan kehidupan. Oleh karena itu, adat ini bertujuan untuk melindungi individu dari perasaan-perasaan yang dapat mendatangkan malapetaka atau menjauhi kemungkinan kehilangan anugerah hidup yang dapat menimbulkan kesengsaraan di kemudian hari.

Dengan demikian, cenderung ada anggapan bahwa kesadaran akan kemampuan pengharapan tertentu dalam adat Bodo Lopis merupakan salah satu cara pandang sosial dalam budaya Pekalongan yang dikaitkan dengan nilai spiritual.

  1. Fungsi Sanse of Belonging (Rasa Saling Memiliki)

Setiap daerah pasti memiliki berbagai jenis adat istiadat yang dilakukan sesekali untuk menjaga praktik-praktik ini tetap hidup. Orang-orang sering kali merasa dekat dengan praktik-praktik di daerah mereka, karena hal ini memberi mereka kepuasan mendalam di daerah mereka yang memiliki adat istiadat yang luar biasa dan mendalam.

Tradisi Bodo Lopis di Kota Pekalongan membentengi rasa persahabatan dan kegembiraan hidup dengan masyarakat Pekalongan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa seseorang yang tidak mengikuti atau tidak merasa memiliki tempat dengan adat tersebut mungkin akan merasa menyesal secara mental.

Makna Tradisi Bodo Lopis Raksasa bagi Masyarakat

Tradisi Bodo Lopis tidak hanya sekedar berkaitan dengan masakan biasa saja, namun juga mengandung pesan dan makna yang sangat mendalam. Lopis benar-benar mencerminkan cara berpikir solidaritas dan persatuan yang sesuai dengan nilai ketiga dalam Pancasila.

Hal ini tercermin dari cara lopis dibungkus dengan daun pisang, diikat dengan tali, dan dimasak kurang lebih 4 hari 3 malam, sehingga sulit untuk membuat bulir ketan tersebut terlihat seperti semula.

Lopis mencerminkan pentingnya solidaritas, karena beras ketan lengket yang dijadikan bahan dasar memiliki sifat lengket yang lebih kuat dibandingkan nasi setelah dikukus. Daun pisang yang dijadikan pembungkus melambangkan pesan bahwa dalam agama Islam senantiasa diutamakan untuk mengembangkan kebaikan dan mengikuti keindahan Tuhan.

Di sisi lain, untuk ikatan atau tali pembungkus menggunakan ijuk pisang yang melambangkan kekuatan, mengingat apa yang telah dicapai harus terus dipertahankan agar tidak hilang atau menurun. Warna ketan yang putih bersih juga menyiratkan keutamaan yang erat kaitannya dengan kehalusan perayaan Idul Fitri.

Baca Juga: Edukasi Budaya Bangsa Pada Anak Usia Dini

Mengapa tidak menggunakan plastik atau bahan sederhana lainnya yang tersedia saat ini untuk membungkus lopis? Hal ini disebabkan oleh pembungkus lopis yang dibuat dengan menggunakan daun pisang.

Pohon pisang memiliki arti yang luar biasa, dimana umumnya memberikan manfaat bagi berbagai makhluk hidup.

Pohon pisang baru mengalami kematian atau setelah memberikan manfaat bagi manusia atau baru ditebang setelah berbuah, sehingga cara berpikir seperti ini melatih manusia untuk memberikan manfaat dan kepedulian terhadap makhluk hidup lainnya dalam proses hidupnya.

Sumber Referensi:

  • Paramitha, R. R. (2022). Fungsi, Makna, dan Nilai Dari Tradisi Bodo lopis di Desa Krapyak, Kota Pekalongan. Jurnal Adat dan Budaya Indonesia, 4(2), 81-86.
  • Rosidin, R. (2016). Tradisi Lopis Raksasa dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama di Kota Pekalongan. Al-Ulum, 16(1), 15-35.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

DA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini