Seni Pertunjukan Kuda Renggong: Antara Tradisi dan Hiburan

Seni Pertunjukan Kuda Renggong: Antara Tradisi dan Hiburan
info gambar utama

Banyak keanekaragaman budaya dan tradisi di Indonesia yang menjadi daya tarik bagi masyarakat lokal maupun mancanegara. Salah satu daya tarik yang dapat memikat penonton adalah keterlibatan hewan dalam sebuah tradisi yang ada.

Beberapa contoh keterlibatan hewan dalam sebuah tradisi tersebut, antara lain seperti Karapan Sapi di Madura, adu domba di Garut, Tabuh Rah di Bali, dan lain sebagainya. Budaya dan tradisi ini terus dilakukan karena memiliki nilai-nilai yang berguna bagi tata sosial pada masyarakat.

Tradisi lain yang melibatkan hewan adalah Kuda Renggong yang berasal dari Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Kata renggong berasal dari kata ronggeng, yakni seni pertunjukan tradisional yang menampilkan kuda yang sedang melakukan gerakan menari dan berjalan mengikuti hentakan musik tradisional Sunda yang disebut kendang penca. Oleh karena itu juga, terkadang pertunjukan Kuda Renggong sering disebut dengan pertunjukan kuda penca.

Kesenian Kuda Renggong pada awalnya merupakan tradisi spiritual yang saat ini berubah menjadi sebuah seni hiburan, hingga sebagai mata pencaharian. Dalam perkembangannya, kesenian Kuda Renggong menyebar ke daerah-daerah lain di Jawa Barat.

Kemunculan Kuda Renggong

Kesenian Kuda Renggong muncul pertama kali dari Desa Cikurubuk, Kecamatan Buahdua, Kabupaten Sumedang sekitar tahun 1910, saat itu Sumedang diperintah oleh Pangeran Aria Surya Atmadja (1882-1919). Pangeran Aria Surya Atmadja mendatangkan bibit kuda unggul dari Sumba dan Sumbawa yang awalnya digunakan sebagai alat transportasi bagi para bangsawan, pacuan kuda dan alat hiburan.

Menurut Yulianti Tresia dalam penelitiannya, mengatakan bahwa Pangeran Aria Surya Atmadja mempercayakan seorang laki-laki bernama Aki Sipan untuk mengurus beberapa kuda yang ada di kerajaan. Aki Sipan memiliki kebiasaan mengamati tingkah laku beberapa kuda dan menyimpulkan bahwa kuda juga dapat dilatih untuk mengikuti gerakan-gerakan yang diinginkan manusia.

Atas keberhasilan Aki Sipan dalam melatih kuda-kuda tersebut ‘ngarenggong’, Pangeran Aria Surya Atmadja menjadi tertarik dan memerintahkannya untuk melatih kuda-kudanya yang didatangkan langsung dari Pulau Sumbawa. Semenjak saat itu, Aki Sipan dikenal sebagai pencipta kesenian Kuda Renggong.

Jalannya Pertujukan Kuda Renggong

Pertunjukan Kuda Renggong diawali upacara dengan mempersembahkan sesajen kepada roh leluhur agar diberikan kelancaran. Kemudian di lanjutkan dengan mengumandangkan lagu Kidung dan Kembang Gadung dengan dibarengi kuda kosong tanpa penunggang. Kuda tersebut dibiarkan kosong karena dipercayai sebagai tunggangan para karuhun, baru setelah ritual selesai dapat dilanjutkan dengan acara pertunjukan.

Setelah anak yang di khitan sudah di rias, kemudian diarak mengelilingi perkampungan di atas punggung Kuda Renggong dengan diikuti oleh anggota keluarga dan kerabat yang ikut menari dengan diiringi musik pengiring. Setelah berkeliling desa, rombongan Kuda Renggong kembali ke rumah anak yang di khitan.

Selanjutnya diadakan acara saweran yang merupakan bentuk nasehat orang tua kepada anaknya agar ingat kepada sesama ketika diberikan kesejahteraan oleh Tuhan. Di akhir pertunjukan biasanya menampilkan atraksi kuda silat yang menunjukan gerakan-gerakan silat antara kuda dengan pelatihnya.

Perkembangan Kesenian Kuda Renggong

Perkembangan dalam kesenian Kuda Renggong merupakan hasil pengembangan dari para pelaku kesenian Kuda Renggong. Pengembangan ini menururt Riswandi, antara lain seperti perubahan unsur musik yang pada awalnya Kuda Renggong diiringi dengan musik Reak, kemudian mengalami perubahan menjadi musik Kendang Penca, Tanjidor, hingga musik dangdut. Kemudian gerakan tarian awalnya masih sederhana, namun saat ini gerak kuda sudah semakin berkembang dengan adanya gerak kuda silat.

Tata rias dan busana yang digunakan anak yang di khitan masih sederhana dengan menggunakan pakaian adat Sunda, namun saat ini sudah berubah dengan menggunakan tata rias dan busana penokohan wayang. Pada Kuda Renggong sebelumnya masih menggunakan hiasan sederhana, saat ini ditambahkan hiasan yang adapat menarik penonton.

Dalam upacara khitanan diperlukan perlengkapan seperti sesajen, kuda, waditra (alat-alat musik), dan perlengkapan lainnya. Berbeda pada saat acara resmi pemerintahan atau penerimaan tamu, perlengkapan yang dibutuhkan disesuaikan dengan kondisi pada saat itu.

Referensi:

Gustianingrum, Pratiwi Wulan dan Idrus Affandi. (2016). Memaknai Nilai Kesenian Kuda Renggong Dalam Upaya Melestarikan Budaya Daerah di Kabupaten Sumedang. Journal of Urban Society’s Art. Vol. 3 (1). Hal. 27-35.

Ruswandi, Memed. (2017). Perkembangan Fungsi dan Pertunjukan Tradisi Kuda Renggong di Simedang Utara. Pantun Jurnal Ilmiah Seni Budaya. Vol. 2 (2). Hal. 121-129.

Tresia, Yulianti. (2012). Fungsi dan Perkembangan Seni Pertunjukan Kuda Renggong di Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat. [Skripsi]. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini