Paradoks Budaya Jawa dan Islam Dalam Kesenian Rakyat Gatholoco di Kawasan Borobudur

Paradoks Budaya Jawa dan Islam Dalam Kesenian Rakyat Gatholoco di Kawasan Borobudur
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbungUntukMelambung

Pada tahun 1889, sebuah karya sastra berjudul Suluk Gatholoco (Serat Gatholoco) terbit di Surabaya. Pada tahun-tahun berikutnya, karya tersebut mendapatkan tanggapan tajam karena dianggap melecehkan agama Islam (historia.id).

Beberapa dekade kemudian, di Kawasan Borobudur, muncul kesenian rakyat dengan nama serupa yakni Gatholoco. Namun, alih-alih turut menyudutkan agama Islam, kesenian rakyat ini seolah mengharmoniskan relasi budaya Jawa dengan Islam.

Secara harfiah, istilah “gatholoco” dalam Suluk Gatholoco dan kesenian rakyat Gatholoco memiliki perbedaan yang mencolok. Dalam Suluk Gatholoco, istilah “gatholoco” berasal dari kata bahasa Jawa kuno “gatho” yang berarti “alat kelamin laki-laki” dan “loco” yang berarti “mengelus”. Istilah itu digunakan sebagai nama tokoh utama Suluk Gatholoco.

Sedangkan dalam kesenian rakyat Gatholoco, istilah “gatholoco” merupakan akronim dari kata “gathuk” yang berarti “cocok” dan “lucu” berarti “humor”.

Lebih lanjut, pengertian tersebut dijelaskan oleh Ali Muksin (84), seorang tokoh kelompok kesenian rakyat Gatholoco Laras Madya asal Desa Giripurno , “Gatholoco iku nggatukke barang dadi lucu, asline ngelmu Jawa ning dijogeti lan diterbangi” (Gatholoco itu mencocokkan berbagai hal menjadi lucu, sebenarnya merupakan pengetahuan Jawa namun ditarikan dan diterbangi).

Melalui penjelasan Mbah Ali, sapaan akrab Ali Muksin, kesenian rakyat Gatholoco dapat didefinisikan sebagai kesenian rakyat dengan muatan pengetahuan Jawa yang disampaikan melalui syair disertai iringan alat musik (terbang) dan tarian.

Pengetahuan Jawa yang dimaksud oleh Mbah Ali memuat tentang waktu (hari, bulan, tahun, windu, dan mangsa), mitologi Jawa (naga dina, naga tahun, dan naga jatingarang), tata cara tradisi selamatan gempa bumi dan nasihat-nasihat untuk generasi muda (wulang sunu). Sedangkan lelucon (humor) merupakan aktivitas tambahan yang ditampilkan pada sesi terakhir. Pengetahuan tersebut termaktub dalam syair yang dan dilantunkan oleh bawa (vokalis).

Merujuk pada kelompok Gatholoco Laras Madya, syair Gatholoco berjumlah 30 pasal. Secara garis besar muatan syair-syair tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian yakni pembukaan, isi, dan penutup.

Syair pembuka terdiri dari 8 pasal dengan muatan berupa puja-puji yang dialamatkan kepada Tuhan, Dewi Sri, dan pemerintah (penguasa). Selain itu, syair pembukaan juga memuat tentang ucapan selamat datang kepada penonton, durasi pentas, serta ungkapan kebanggan terhadap bangsa Indonesia yang memiliki kekayaannya berlimpah.

Bagian isi terdiri dari 16 pasal yang memuat tentang waktu, mitologi Jawa, selamatan gempa bumi dan wulang sunu. Sedangkan bagian penutup yang terdiri dari 6 pasal berisi parikan (pantun) dengan muatan nasihat-nasihat.

Pada bagian penutup inilah aspek humor ditambahkan. Meski bertajuk humor, namun dalam prakteknya, sesi ini menampilkan pertunjukan yang beragam sesuai dengan kreativitas kelompok seperti pencak silat, ketoprak, daghelan, atau sulap.

Sebelum sesi humor, pertunjukan diisi dengan tarian pokok yang disebut rodat. Pada kesempatan ini, para penari melakukan gerakan yang disesuaikan dengan irama musik dan syair. Jumlah penari rodat berkisar 10 sampai 20 orang.

Menurut Mbah Ali tidak ada batasan khusus untuk jumlah penari rodat, biasanya hanya menyesuaikan lokasi yang tersedia. Kendati demikian jumlah penarinya harus genap, sebab sebagian gerakan tarian dilakukan berpasangan. Selain menari, mereka akan mengikuti lantunan syair setelah bawa melantunkannya.

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, kesenian rakyat Gatholoco mengharmoniskan antara budaya Jawa dan agama Islam. Bukti pertama keharmonisan itu nampak dalam alat musik yang digunakannya, yakni terbang, bedug, dan dogdog.

Alat musik tradisional ini pada dasarnya bukan bagian dari gamelan Jawa melainkan instrumen yang digunakan dalam kesenian bercorak Islam seperti rebana, hadroh, dan gambus.

Bukti kedua adalah aksara dan istilah yang digunakan dalam penulisan syair. Menilik buku syair kelompok Gatholoco di Desa Giripurno, Desa Giritengah, dan Desa Majaksingi, syair-syairnya ditulis menggunakan aksara Arab dalam bahasa Jawa dan Melayu atau yang lebih dikenal dengan Arab Pegon.

Kemudian pembagian tema setiap syair juga menggunakan istilah “pasal”, istilah yang digunakan dalam kitab kuning yang dipelajari di pesantren. Beberapa ungkapan lain seperti “Bismillah” dan “Alhamdulillah” juga digunakan di sepanjang syair-syair Gatholoco.

Hingga saat ini sebab pasti yang mendasari keharmonisan antara budaya Islam dengan kesenian rakyat Gatholoco belum diketahui, karena asal-usulnya yang masih simpang siur. Namun bila menilik kepopulerannya yang terjadi pada warsa 70’an, dapat diasumsikan popularitas itu terkait sebagai imbas larangan pentas kesenian rakyat pasca meletusnya pemberontakan G30S PKI.

Hal tersebut sesuai dengan laporan M.C.Ricklefs dalam Mengislamkan Jawa : Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya yang menyampaikan bahwa pasca G30S PKI banyak kesenian rakyat yang dilarang beraktivitas.

Kendati demikian pada pertengahan warsa 70’an kelompok kesenian rakyat yang mengandung unsur islami diizinkan kembali beraktivitas. Kondisi inilah yang kemungkinan besar mendongkrak popularitas kesenian rakyat Gatholoco di Kawasan Borobudur dan sekitarnya.

Pada masa itulah, kesenian rakyat Gatholoco sangat populer di Kawasan Borobudur. Hampir setiap desa memiliki kelompok kesenian tersebut dan pada setiap pementasan warga masyarakat akan berbondong-bondong untuk menyaksikannya. Namun popularitas itu tidak berlangsung lama, sebab pada akhir warsa 80’an kesenian rakyat Gatholoco pelan-pelan tenggelam dan hampir punah.

Kemunduran kesenian rakyat Gatholoco tidak terlepas dari munculnya kesenian baru Topeng Kawedar (Topeng Ireng) di Kawasan Borobudur. Selain itu, kemajuan teknologi seperti munculnya radio dan televisi memberikan andil kemunduran itu. Menurut Mbah Ali, anggota kelompok menjadi jarang berlatih karena lebih memilih menikmati acara-acara di radio maupun televisi.

Namun disaat perkembangan teknologi semakin pesat dan hiburan semakin beragam, kesenian rakyat Gatholoco tiba-tiba terbangun dari tidur panjangnya pada akhir tahun 2019. Kebangkitan itu dipicu oleh sejumlah pemuda di Dusun Miriombo Wetan, Desa Giripurno, Kecamatan Borobudur. Mbah Ali dan tokoh-tokoh lain yang merupakan anggota kelompok lama kemudian diminta untuk membimbing kelompok tersebut.

Kebangkitan kelompok Gatholoco di Desa Giripurno kemudian memicu geliat kelompok lain di Desa Giritengah dan Desa Majaksingi. Kendati kebangkitan kesenian rakyat Gatholoco tersebut merupakan inisiatif warga masyarakat setempat, namun peran krusial ditunjukkan oleh Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (KMA) Kemendikbud Ristek dalam Program Temu Kenali pada tahun 2021 dan Program Pengembangan Wisata Budaya Spiritual pada tahun 2022 di Kecamatan Borobudur.

Kebangkitan kesenian rakyat Gatholoco telah memberikan angin segar terhadap pelestarian budaya Jawa yang hampir tenggelam karena gempuran zaman di Kawasan Borobudur.

Masa kebangkitannya di pada zaman yang kian modern ini seolah mengamini pendapat Franz Magnis-Suseno dalam Etika Jawa yang menyebutkan bahwa ciri khas budaya Jawa terletak pada kemampuan luar biasa untuk membiarkan diri dibanjiri oleh kebudayaan yang datang dari luar dan dalam banjir itu mampu mempertahankan keasliannya. Agama Islam masuk ke Pulau Jawa, tetapi kebudayaan Jawa hanya semakin menemukan identitasnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

M
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini