Selamatan Upacara Pernikahan Lumajang: Menjaga Keseimbangan Kosmos bagi Masyarakat Jawa

Selamatan Upacara Pernikahan Lumajang: Menjaga Keseimbangan Kosmos bagi Masyarakat Jawa
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Kawan GNFI pasti setuju jika pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Pernikahan merupakan wujud bersatunya dua insan laki-laki dan perempuan dalam satu kehidupan. Bahkan, dalam agama Islam menyebut bahwa pernikahan adalah menjalankan separoh agama.

Bagi masyarakat Jawa, pernikahan adalah salah satu siklus kehidupan yang sangat penting. Orang Jawa memiliki keyakinan bahwa setiap kejadian atau peristiwa manusia bukanlah sebuah kebetulan. Kelahiran, pernikahan, dan kematian dianggap sebagai sesuatu yang sudah ditentukan oleh Tuhan secara pasti di setiap perjalanan kehidupan (Geertz. 1981:380). Menurut keyakinan masyarakat Jawa, kelahiran, pernikahan, dan kematian dipandang sebagai saat-saat yang genting, gawat, dan kritis.

Pada tahapan kehidupan pernikahan, masyarakat Jawa menganggap sebagai saat berada di keadaan yang suci dan sakral. Keadaan sakral semacam ini dapat menimbulkan bahaya sosial. Bahaya sosial menunjukkan adanya tatanan kosmos yang terganggu, kesimbangan komunitas yang terancam. Sumber bahaya diyakini berasal dari kekuatan adi kodrati. Untuk memelihara keseimbangan kosmos ini, maka masyarakat Jawa melakukan upaya yang berupa upacara selamatan (slametan). Dengan keseimbangan kosmos ini maka akan memberikan rasa aman dan tentram.

Pernikahan bagi masyarakat Jawa merupakan tugas suci dari Tuhan yang Maha Esa untuk tumangkare wiji (melestarikan keturunan). Pernikahan merupakan bentuk pengesahan hubungan suami-istri membentuk rumah tangga, maka perlu adanya bimbingan dari orang tua. Bimbingan yang dilakukan orang tua tidak dilakukan secara lugas dan apa adanya. Maka, masyarakat Jawa menggunakan bimbingan secara tersirat dalam bentuk upacara ritual lengkap dengan upacara selamatannya.

Upacara Selamatan Pernikahan Lumajang

Upacara selamatan pernikahan di Lumajang terdiri dari dua macam, yaitu upacara memule dan upacara majemuk.

Upacara Memule

Upacara memule diadakan pada waktu akan mendirikan terop. Terop adalah bangunan darurat di halaman dan sekeliling rumah. Pada zaman dahulu terop dibuat dari anyaman daun kelapa. Pemasangan terop biasanya kurang dari tiga hari, dua hari atau sehari sebelum acara pernikahan. Terop juga dilengkapi dengan tuwuhan yang dipasang di kaan dan kiri pintu masuk halaman. Tuwuhan selain sebagai hiasan juga mengandung arti simbolis berupa ajaran tak tertulis bagi yang mempunyai hajat.

Tuwuhan berupa:

  1. Dua buah batang pohon pisang raja yang tengah berbuah atau sudah tua. Makna simbolisnya agar kedua mempelai dapat menjadi pemimpin kelurga, pemimpin masyarakat, bahkan pemimpin bangsa. Pisang raja bisa tumbuh di mana saja. Diharapkan agar kedua mempelai dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
  2. Cengkir gandhing (kelapa muda dan jenis yang berwarna kuning). Cengkir merupakan akribik kencenge pikir(keteguhan hati). Kedua mempelai diharapkan memiliki keteguhan hati dalam membina rumah tangga.
  3. Dua untai padi yang sudah tua memiliki makna simbolis harapan kedua mempelai tidak kekurangan makanan.
  4. Daun beringin memiliki makna simbolis agar kedua mempelai bisa menjadi penganyom bagi seluruh anggota keluarga dan masyarakat sekitar.
  5. Daun alang-alang, daun kara-kara dan daun apa-apa, diharapapkan agar perjalanan rumah tangga kedua mempelai tidak ada halangan apa-apa (tanpa alang-alangan sakara-kara)
  6. Daun batang tebu wulung yang lurus. Tebu akronim dari mantebe kalbu (kemampuan hati). Lurus berarti agar selalu berjalan di jalan yang lurus.

Adapun perlengkapan sesajinya berupa: tumpeng 3 buah, sego bathok bolu (tumpeng kecil dengan sayuran urap) 2 buah, jenang manca warna, nasi ambengan, sego golong 14 buah, jenang baro-baro, jajan pasar.

Upacara majemukan

Melambangkan perjodohan (jejodhoan). Wujudnya dua orang laki dan wanita yang melakukan pernikahan menjadi satu keluarga dan hidup bersama. Sesajinya berupa nasi tumpeng 3 buah, nasi tumpeng bathok bolu 2 buah, jenang manca warna, nasi punar sepasang, nasi samiran sepasang.

Makna dan tujuanya agar kedua mempelai saling menyesuaikan diri ke dalam kedua keluarga, lingkungan masyarakat dan adat istiadatnya. Diperkenalkan dengan lingkungan alam dari kedua belah pihak. Penyesuaian ini dimaksudkan agar kehidupan mempelai berdua nanti dapat cocok, tentram, sehat, dan teratur.

Dari dekripsi di atas kelihatan bahwa peristiwa pernikahan merupakan peristiwa yang banyak menyita perhatian. Pada peristiwa ini kedua pengantin akan segera menjalani babak baru dalam kehidupan yaitu membina kehidupan keluarga. Pertanyaan yang sering menggoda para orangtua ialah “apakah mereka bisa hidup berbahagia?” Seberapa besarkah daya tahan mereka di dalam menghadapi cobaan?” Pertanyaan ini berkisar antara harapan dan kecemasan, mengingat bahwa tidak sedikit pasangan pengantin dalam perjalanan rumah tangganya mengalami ketidakbahagiaan.

Menghadapi hal semacam itu orang lalu menyandarkan diri pada kekuatan supranatural sehingga muncullah ritus-ritus yang bersifat takhayul. Namun, dengan ritus-ritus semacam itu setidaknya orang menjadi tenang, karena dengan melaksanakan ritus itu ia telah merasa memenuhi kewajiban.

Karena sekarang jaman sudah berubah, ajaran tidak tertulis warisan nenek moyang tersebut di atas hendaknya diterjemahkan menjadi ajaran tertulis agar dapat diketahui oleh generasi sekarang. Mudah-mudahan dengan cara demikian ajaran moral dan sosial kemasayrakatan dari nenek moyang kita yang tidak ternilai harganya itu tidak punah oleh terpaan gelombang moderanisasi yang kering dari nilai-nilai spiritual.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

KK
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini