Tari Bedhaya Ketawang di Keraton Kasunanan Surakarta, Berpadunya Aroma Mistis dan Romantis

Tari Bedhaya Ketawang di Keraton Kasunanan Surakarta, Berpadunya Aroma Mistis dan Romantis
info gambar utama

#LombaArtikelPkn2023#PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Tingalan Dalem Jumenangan atau ulang tahun penobatan ke-19 Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan (SISKS) Pakubuwono XIII lalu dimeriahkan sebuah tarian khusus. Adalah Tarian Bedhaya Ketawang yang selama ini dikenal sebagai tarian sakral dan sarat makna. Kesenian Tarian Bedhaya Ketawang ini sudah eksis sejak zaman Mataram Kuno. Apa yang membuat Tari Bedhaya Ketawang ini istimewa dari tarian-tarian tradisional lainnya?

Tari Bedhaya Ketawang bercerita tentang Panembahan Senopati yang jatuh cinta dengan Ratu Kencanasari atau lebih dikenal dengan Kanjeng Ratu Kidul. Bedhaya Ketawang diambil dari dua kata, yakni bedhaya berarti penari wanita di keraton. Lalu, ketawang yang berarti langit (keluhuran dan kemuliaan).

Di Keraton Kasunanan Surakarta, Tari Bedhaya Ketawang dipentaskan setahun sekali tiap jumenengan raja sesuai Perjanjian Giyanti tahun 1755. Perjanjian itu membagi Kerajaan Mataram menjadi dua yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Pembagian wilayah kekuasaan ini juga diikuti kebudayaan serta kesenian warisan Kerajaan Mataram, salah satunya adalah Tari Bedhaya Ketawang.

Diketahui, Tari Bedhaya Ketawang ini dipentaskan oleh sembilan penari, di mana mereka merepresentasikan sembilan arah mata angin yang dikuasai oleh sembilan dewa (Nawasanga). Soal siapa penari yang boleh mementaskannya pun bukan sembarangan. Syaratnya : penari harus masih perawan, tidak datang bulan, berusia 17-25 tahun, postur tubuh proposional, dan terakhir mereka harus siap puasa mutih selama beberapa hari.

Nah, tahukah Kawan GNFI? Tarian Bedhaya Ketawang dipentaskan selama dua setengah jam. Namun semenjak Pakubuwana X bertahta, kini menjadi satu setengah jam saja kerena berubahnya ritual dulu dan sekarang.

Aroma Mistis dan Romantis Jadi Satu

Ketika sembilan penari Bedhaya Ketawang satu per satu memasuki pelataran istana, suasana sakral langsung kentara. Alunan musik dari sinden mengiringi gerak gemulai para penari. Di saat itu Raja Keraton Kasunanan Surakarta menyaksikan dari singgasananya.

Adapun dalam gending atau musik yang mengiringi Bedhaya Ketawang disebut Gending Ketawang Gedhe dan bernada pelog. Penari akan menampilkan tiga babak, di tengah-tengah tarian, laras (nada) gending berganti menjadi nada slendro selama dua kali, lalu nada gending kembali lagi ke laras pelog hingga tarian berakhir. Tembang Durma mengiringi tarian pertama, dilanjutkan Retnamulya. Ketika penari masuk kembali ke Dalem Ageng Prabasuyasa, rebab, gender, gambang, dan suling dimainkan.

Aroma mistis bikin merinding bisa penonton rasakan ketika Tari Bedhaya Ketawang ini dipentaskan di Keraton Kasunanan Surakarta. Sebab, konon katanya saat tarian dipertunjukkan, Kanjeng Ratu Kidul akan hadir dalam upacara. Dia juga ikut menari sebagai penari kesepuluh. Dalam beberapa literatur menyebutkan tarian ini menggambarkan curahan hati sang ratu kepada raja. Pada intinya, gerak Tari Bedhaya Ketawang menggambarkan hubungan asmara Kanjeng Ratu Kidul dengan Raja Mataram.

Merawat Tari Bedhaya Ketawang di Era Modern

Di era modern, Tari Bedhaya Ketawang menjadi tontonan saat tingalan jumenengan Raja Keraton Kasunanan Surakarta. Tari Bedhaya Ketawang menjadi salah satu acara inti sebelum dilanjutkan kirab budaya perayaan naik takhtanya sang Raja Solo.

Tari Bedhaya Ketawang saat ini juga menjadi sajian hiburan bagi para tamu undangan Raja Keraton Kasunanan Surakarta, SISKS Pakubuwono XIII, di istana.

Eksis dari tahun 1623, Tari Bedhaya Ketawang tetap menjaga nilai sakralnya. Sebab, ini bukan tarian yang bisa dipertontonkan begitu saja tiap ada hajat besar. Tari Bedhaya Ketawang
hanya bisa dipentaskan saat upacara kenaikan tahta raja atau ketika penobatan serta pemilihan raja baru.

Penonton yang menyaksikan Tari Bedhaya Ketawang juga harus memahami etika yang telah terjaga selama beberapa abad. Saat Upacara Tari Bedhaya Ketawang berlangsung, tidak boleh ada penonton yang makan, minum, atau menyalakan rokok. Sebab, hal itu dianggap bisa menganggu jalannya upacara dan merusak kekhidmatan.

Nilai-nilai kesopanan dan menghargai itu diharapkan bisa terus dipertahankan oleh generasi muda. Tarian Bedhaya Ketawang sendiri sudah ditetapkan sebagai salah satu warisan budaya tak benda Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Indonesia dengan domain adat istiadat, ritus, dan perayaan.

Tari Bedhaya Ketawang mungkin juga sudah mengalami pergeseran makna, di mana dulu merupakan lambang kebesaran, kini menjadi warisan kebudayaan yang mesti dijaga serta dilestarikan. Hal itu tak lepas dari Keraton Kasunanan Surakarta yang tak lagi memiliki kekuasaan absolut seperti dulu di Bumi Mataram.

Sebagai orang Jawa, menjaga warisan kebudayaan dan memperkenalkannya kepada orang lain adalah kewajiban. Salah satu Kerabat Keraton Kasunanan Surakarta, KPH Eddy Wirabhumi pernah berpesan kepada saya: "Orang Jawa mempunyai tiga janji. Janji yang pertama menjaga harmoni kehidupan, menjaga lestarinya alam, meningkatkan hubungan yang baik dengan Tuhan."

Referensi : https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailTetap=2270

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

HY
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini