Bumi, Budaya, dan Perempuan

Bumi, Budaya, dan Perempuan
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Alat musik angklung yang terbuat dari bambu. Fashion pakaian yang memanfaatkan bahan-bahan daur ulang. Elemen-elemen inilah yang muncul dalam pikiran awamku ketika mendengar tema Pekan Kebudayaan Nasional 2023 “Merawat Bumi, Merawat Kebudayaan”. Tema ini membuatku membayangkan PKN 2023 yang menyajikan ragam karya praktik budaya yang bersinergi dengan alam dan memiliki dampak berkelanjutan. Itu semua terpenuhi, bahkan melebihi ekspektasiku, ketika aku takjub dengan kekayaan persembahan kuratorial alam dan budaya Indonesia yang berbeda-beda namun guyub disuguhkan dalam semarak PKN 2023.

Baru-baru ini, kecintaanku terhadap seni dan budaya Indonesia berkembang pada sebuah pengetahuan baru di mana budaya dapat bertahan karena faktor alam sehingga akupun terdorong untuk memperluas wawasanku tentang hal tersebut pada PKN 2023. Dari temanya saja sudah jelas bahwa “bumi” dan “budaya” adalah tokoh utamanya. Namun, semakin dalam aku menikmati event ini, aku seakan-akan hanyut dan terkecoh oleh tokoh lain yang bermain aktif di dalamnya. Tokoh ini adalah “perempuan”, yang senantiasa mengajakku untuk melihat sisi lain di balik tema “Merawat Bumi, Merawat Kebudayaan”.

Kustiyah, et al. dalam “Seakan-akan Tidak Ada Matahari”

Gedung A dan Gedung D yang terletak di area depan Galeri Nasional Indonesia menjadi lokasi yang paling terlihat oleh pengunjung PKN 2023. Tidak heran jika dua gedung tersebut senantiasa mempersembahkan kemeriahan seni budaya yang langsung menarik pancaindra pengunjung dengan berbagai pameran interaktif, seperti makanan, games, bunyi-bunyian, dan kerajinan tangan. Akan tetapi, ternyata pameran belum berakhir. Masih ada pameran terakhir di Ruang Serbaguna di area belakang Galeri Nasional Indonesia. “Bangsal”, begitulah relawan PKN menyebutnya. Ruangan yang dipenuhi oleh pintu dan dinding kayu itu tertutup rapat dan dijaga oleh relawan, layaknya sebuah ruang pameran yang dilindungi dengan hati-hati, sehingga pengunjung tidak bisa asal langsung memasukinya. Langkah kakiku terasa malas untuk berjalan ke belakang sana karena kupikir pasti akan membosankan. Walaupun begitu, aku tetap melanjutkan eksplorasiku ke sana, meskipun aku tidak berharap banyak dari pameran itu.

Lukisan Kembar potret Kustiyah karya Sudarso di Ruang Serbaguna Galeri Nasional Indonesia | Dokumentasi Pribadi
info gambar

Di bangsal inilah koleksi lukisan tua karya seniman-seniman di era revolusi bertema “Seakan-akan Tidak Ada Matahari” dipamerkan, yang dikuratori dan diteliti oleh Hyphen-. Aku merasakan sebuah transformasi dari riuh keriaan di Gedung A dan Gedung D menuju bangsal yang redup dan hening. Aku disambut oleh dua lukisan kembar karya Sudarso yang menggambarkan potret perempuan bernama Kustiyah, teman Sudarso yang sama-sama pernah menimba ilmu di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI). Kemudian, sosok Kustiyah semakin terkesan istimewa ketika aku melihat beberapa lukisan potret diri Kustiyah lainnya karya teman-teman Kustiyah, di antaranya adalah Gregorius Sidharta dan Sutopo. Benang merah tentang Kustiyah sebagai perempuan seniman pun juga diperkuat dengan suguhan lukisan teman-temannya yang sesama perempuan seniman, yaitu Siti Ruliyati, Kartika, dan Sriyani. Tampak pula lukisan-lukisan karya Kustiyah sendiri yang bernuansa kehidupan sehari-hari, seperti makanan, hewan, dan pemandangan. Objek lukisan-lukisan ini terlihat normal-normal saja dan tidak menyiratkan kesedihan yang berarti, tetapi memang terkesan seperti tidak ada matahari ketika kuperhatikan banyaknya paduan warna hijau dan biru gelap di dalamnya. Aku juga melihat segelintir momen menyentuh ketika seorang wanita dan anak remaja laki-lakinya mendekat ke sebuah lukisan bergambar piring dan lauk ikan karya Kustiyah yang tak kuingat judulnya, “Tolong fotoin Mama, dong. Ini lukisan buatan Eyang waktu Eyang sudah kena stroke." Keluarga sang perempuan seniman itu mungkin merasa bangga sekaligus sedih ketika mengenangnya yang tidak berhenti berkarya walaupun dalam keadaan sakit.

Aku merasa beruntung masuk ke bangsal itu. Di balik keheningannya, ternyata aku merasakan ketenangan yang perlahan dapat menguraikan kekagumanku terhadap perempuan-perempuan seniman. Rasanya ingin sekali aku mengunjungi Griya Seni Hj. Kustiyah Edhi Sunarso jika suatu saat nanti aku berlibur ke Yogyakarta untuk melihat karya-karya Kustiyah lainnya yang tidak kalah menakjubkan.

Ratna Asmara

Tidak hanya Kustiyah et al., bangsal Galeri Nasional Indonesia kembali menjamu pengunjung dengan kisah perempuan-perempuan seniman hebat yang tidak kalah memesona. Malam itu, sinar bulan mendukung suasana outdoor yang tenang di halaman depan bangsal dengan kursi-kursi kecil dan layar berproyektor seperti suasana menonton layar tancep karena di sana akan diputar beberapa film dokumenter tentang perempuan-perempuan seniman lainnya yang dianggap masih tersembunyi dalam sejarah seni Indonesia. Sayangnya, aku hanya dapat menonton 1 di antara 3 film yang diputar karena aku terlambat datang.

Film itu berjudul "Merangkai Ratna Asmara", yang bercerita tentang eksplorasi komunitas Kelas Liarsip dalam mengumpulkan arsip historis kehidupan seorang sineas wanita bernama Ratna Asmara. Ide pengarsipan ini dilatarbelakangi oleh sangat minimnya arsip data tentang sineas wanita yang bekerja di balik layar. Dalam sejarah dunia sinema yang sudah mulai terbentuk sejak tahun 1950-an, data-data sejarah yang tersedia hanya didominasi oleh figur laki-laki karena kurangnya pencarian rekam jejak sineas wanita, termasuk Ratna Asmara. Padahal, Ratna adalah sutradara perempuan pertama di Indonesia.

Jatuh bangun Ratna Asmara sebagai sutradara film digambarkan dengan sangat jelas dalam film itu. Berdasarkan temuan dari Kelas Liarsip, Ratna Asmara sudah memulai kariernya dalam dunia sinema sejak remaja ketika ia menjadi manajer panggung sandiwara. Ia juga mengawali karier sinemanya dengan menjadi aktris di beberapa film sejak tahun 1930-an. Kemudian, ia dan suaminya, Andjar Asmara, mengembangkan kariernya dengan beberapa kali merintis grup teater dan rumah produksinya sendiri. Mereka juga sering bekerja sama dengan rumah-rumah produksi lain yang sudah eksis untuk menunjang kesuksesan produksi film mereka. Sampailah pada dedikasi Ratna di dunia perfilman dengan menyutradarai beberapa film produksinya sendiri pada tahun 1950-an.

Perjalanan Ratna Asmara mengilustrasikan jiwa kepemimpinan dan keberanian untuk menggagas entitas dan karya yang tumbuh dalam seorang perempuan seniman. Ia patut menjadi inspirasi bagi kaum perempuan yang ingin berkiprah di dunia seni, bahwa perempuan tidak perlu ragu untuk merangkak, menginisiasi ide-ide cemerlang, dan bereksplorasi.

Terlepas dari posisinya yang terbelakang, ternyata bangsal Galeri Nasional Indonesia menjadi wadah penting yang menampakkan cahaya lain pada PKN 2023 dari kisah perempuan-perempuan seniman yang sebelumnya tidak terlacak dalam sejarah. Bagaikan tokoh-tokoh dalam sebuah film berjudul “Merawat Bumi, Merawat Kebudayaan”, tokoh “perempuan” tidak menjebakku dalam judul besar film ini. Perempuan justru berdiri dengan kuat sebagai pondasi eksistensi alam dan budaya. PKN 2023 telah menumbuhkan rasa optimis dalam diriku bahwa akan lebih banyak lagi perempuan-perempuan seniman yang menoreh sejarah dengan terang di era mendatang.

Sumber lainnya:

https://hyphen.web.id/kustiyah-et-al-as-if-there-is-no-sun/

https://www.youtube.com/watch?v=ZffgeuzJmAI&t=1s

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

KA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini