Kasodo, Mendengar Bisikan Bromo Kala Menyepi dari Hingar Dunia

Kasodo, Mendengar Bisikan Bromo Kala Menyepi dari Hingar Dunia
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbunguntukMelambung

Pagi itu Cemorolawang masih sedingin biasanya, seperti hari-hari lain di bulan Juni saat musim kemarau baru saja dimulai. Namun saat matahari sepenuhnya terbangun, keramaian di dusun yang berada di Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo ini berbeda sepenuhnya.

Keramaian itu bukan wisatawan yang ingin menuju Puncak Penanjakan untuk menikmati indahnya sunrise Bromo. Mereka yang hilir mudik di dalam kendaraan-kendaraan bak terbuka atau sepeda motor mengenakan sarung goyor maupun udheng.

Sebuah ciri khas identitas masyarakat Tengger.

Masyarakat Tengger naik-turun Bromo saat Kasodo
info gambar

Semakin siang di hari Rabu itu, rombongan orang-orang Tengger yang tiba semakin ramai. Tujuan mereka adalah kaldera pasir Bromo untuk menuju Pura Luhur Poten. Aku bersama beberapa rekanku yang tengah sarapan di warung dekat penginapan kami di Mentigen ini hanya bisa memandang dengan takjub kesibukan di pagi itu.

Sebagai anak Jawa Timur, berkunjung ke Bromo memang hal biasa. Aku sudah pernah ke Bromo sebanyak tiga kali, tapi apa yang terjadi pada bulan Juni 2022 itu sangatlah berbeda.

Aku hadir saat Bromo tengah mengadakan ritual sucinya, Kasodo.

Aku hadir saat Bromo mencumbu masyarakat Tengger dengan penuh kasih, mendendang sebuah cerita ratusan tahun soal moyangnya.

Janji Sang Bromo dalam Kisah Roro Anteng dan Joko Seger

Suasana Pura Luhur Poten saat Yadnya Kasodo
info gambar

“Jadi memang setiap kali Kasodo berlangsung, Bromo akan ditutup total. Seluruh empat pintu masuknya dari Nongkojajar (Pasuruan), Cemorolawang (Probolinggo), Coban Trisula (Malang) dan Senduro (Lumajang) tidak menerima wisatawan keluar dan masuk. Hanya orang-orang Tengger yang boleh. Kalau tahun ini, dimulai Rabu pagi sampai Kamis malam. Terima wisatawan lagi di hari Jumat dini hari,” jelas Pelda Dodik, Bati Komsos Koramil Sukapura yang kutemui di Mentigen.

Tentu apa terjadi selama Kasodo, membuatku teringat pada Hari Raya Nyepi yang dilakukan umat Hindu Bali. Hanya saja meskipun sama-sama beragama Hindu, umat Hindu Tengger dan Hindu Bali berbeda. Masyarakat Tengger yang disebut-sebut sebagai keturunan terakhir peradaban Majapahit ini menganut Hindu Mahayana, sedangkan masyarakat Bali mayoritas pemeluk Hindu Dharma, seperti dilansir Medium.

Para pemeluk Hindu Mahayana ini sangat percaya pada sosok dukun alias tetua adat tertinggi, atau yang mereka sebut pandito. Bagi orang Tengger, dukun pandito adalah jembatan antara mereka dan Sang Hyang Widhi.

Tak heran kalau dukun pandito terlibat dalam setiap ritual adat Tengger. Ada banyak upacara budaya yang mereka miliki seperti Pujan Kapat, Pujan Kapitu, Pujan Kawolu, Pujan Kasangan, Unan-Unan, Leliwet, Entas-Entas, dan tentu saja yang paling sakral di antara semuanya, Yadnya Kasodo.

Bukan tanpa alasan kenapa Kasodo dianggap sangat sakral dan digelar masyarakat Tengger dalam skala besar, karena lewat Kasodo akan dipilih dukun pandito yang baru. Menurut jurnal Inventarisasi Komunitas Adat Tengger, Yadnya Kasodo dibagi dalam tiga tahapan utama.

Masyarakat Tengger melakukan ritual di tepi kawah Bromo
info gambar

Tahapan pertama dimulai dengan mendhak tirta yakni mengambil air suci yang berada di Gunung Widodaren. Lalu dilanjutkan makemit yaitu tidak tidur secara bergantian, sampai Kasodo dimulai. Bagian pertama ini ditutup upacara melasti yaitu menyucikan peralatan sekaligus jiwa mereka yang terlibat Kasodo, terutama para calon dukun pandito di Pura Luhur Poten.

Untuk tahapan kedua, rangkaian ini dimulai pada malam hari dan dibuka dengan gelaran sendratari yang mengingatkan kita pada legenda suku Tengger.

Alkisah diceritakan, nenek moyang Tengger adalah Roro Anteng yang merupakan putri bangsawan Majapahit dan Joko Seger, seorang putra Brahmana. Menepi usai kehancuran Majapahit, Roro Anteng dan Joko Seger berdoa agar memperoleh keturunan dari sang Penguasa Bromo. Permintaan itu dikabulkan dan mereka dikaruniai 25 anak. Hanya saja si anak terakhir yakni Raden Kusuma harus menjadi persembahan untuk Bromo.

Namun rasa sayang yang terlalu besar, membuat Anteng dan Seger tak rela memenuhi janji itu sehingga Bromo pun murka. Tak ingin keluarganya diliputi marabahaya karena amarah Dewata, Kusuma dengan berani mengorbankan dirinya. Pengorbanan luar biasa Kusuma ini pun diingat oleh masyarakat Tengger lewat Kasodo yang digelar pada hari ke-14 atau 15 bulan ke-10 dalam penanggalan Jawa saat purnama.

Mereka ulang sejarah ratusan tahun itu di malam hari jelang bagian puncak Kasodo, suasana lautan pasir Bromo akan semakin magis dan sakral karena terdengar kidung-kidung religi dengan lantunan suara gamelan. Pemuka agama Tengger juga akan membacakan Kitab Suci Weda di Pura Luhur Poten. Tahapan kedua yang berlangsung hingga dini hari ini memang tertutup untuk orang-orang luar Tengger, karena merupakan ritual sembahyang alias muspa.

Di titik inilah, calon dukun adat tertinggi suku Tengger telah terpilih. Nantinya sang dukun pandito akan mengajak umatnya untuk bersama membakar dupa di perapen, sebelum kemudian menempelkan bija pada bagian wajah.

Tahapan ketiga alias penutup dari Kasodo adalah melemparkan seluruh sesaji masyarakat ke kawah Bromo. Tak peduli laki-laki atau perempuan, tua atau muda, akan hilir mudik mendaki tangga Bromo untuk mencapai bibir kawah. Di antara mereka ada yang membawa beras, kentang, pisang, jagung, kelapa, wortel, bawang, nasi campur hingga hewan-hewan ternak seperti ayam, kambing, sampai sapi.

Bagi mereka, larung sesaji ini bukan sekadar melempar. Hasil bumi yang dipanggul menggunakan ongkek (keranjang bambu) dan berselimut peluh kala mendaki Bromo adalah sebuah kepatuhan yang dirawat selama berabad-abad.

Masyarakat Tengger membawa ongkek hasil bumi
info gambar

Inilah rasa syukur pada Sang Hyang Widhi atas kehidupan yang terus sejahtera.

Inilah harapan untuk perlindungan pada masa depan yang penuh pertanyaan.

Karena pada dasarnya menurut dukun pandito Tengger, Kasodo itu lumahing bumi uripe langit. Artinya mencakup kepentingan seluruh alam dan semesta, tak hanya masyarakat Tengger.

Puas menikmati dua hari ritual Kasodo, aku dan rekanku pun bersiap kembali ke Kota Malang. Saat kami pulang, aku masih bisa melihat banyak sekali sesaji di padmasari (pura kecil) sepanjang jalur menuju kaldera pasir.

Masyarakat Tengger yang berdoa di padmasari sepanjang Cemorolawang
info gambar

Sesaji itu jelas beraneka jenis mulai dari makanan pokok, sayur-mayur seperti jangan benguk, jangan kentang, hingga jajanan telesan yaitu pasung, jenang abang, pepes juadah dan juga apem. Lengkap dengan gedhang ayu dan cok bakal, ini adalah bukti kalau masyarakat Tengger memang tak pernah meninggalkan adatnya.

Aku yakin meski ribuan tahun berlalu, Kasodo akan tetap hidup. Berdenyut begitu kuat setiap tahunnya, memanggil orang-orang Tengger untuk kembali tunduk pada Penguasanya, Sang Hyang Widhi, dengan latar salah satu gunung terindah di planet Bumi ini, Bromo.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AJ
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini