Keniscayaan Manusia, Bumi, dan Kebudayaan (Refleksi Kegiatan PKN 2023)

Keniscayaan Manusia, Bumi, dan Kebudayaan (Refleksi Kegiatan PKN 2023)
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung.

"Merawat Bumi, Merawat Kebudayaan".

Suatu slogan dari tema Pekan Kebudayaan Nasional 2023 yang maknanya langsung membuat hati saya yakin untuk ikut berpartisipasi dalam hajatan nasional ini. Karena tidak ada lagi planet yang bisa menyokong kehidupan dan kebudayaan manusia selain di bumi. Baik secara teologis maupun ilmiah, hal ini merupakan suatu keniscayaan. Suatu keniscayaan yang tercipta karena pada hakikatnya, manusia terbuat dari bumi. Dalam Al-Qur'an terdapat pengulangan dalam surat-surat yang berbeda mengenai penciptaan manusia yang berasal dari tanah, salah satu contohnya surat Al-Mu'minun ayat 12-14. Kitab Kejadian juga menjelaskan bahwa manusia terbuat dari debu tanah. Dalam kepercayaan Hindu, ada yang disebut Panca Mahabhuta, yang menyebutkan lima unsur bumi yang menciptakan manusia, yaitu Pertiwi (tanah), Apah (unsur cair), Bayu (unsur udara), Teja (unsur panas) dan Ether (unsur hampa). Adapun secara ilmiah, menurut news-medical.net, unsur-unsur yang membentuk manusia sebesar 99% terdiri dari oksigen, hidrogen, nitrogen, karbon, kalsium, dan fosfor. Semua unsur yang hanya bisa di dapatkan di planet ini. Pekan Kebudayaan Nasional, melalui pameran MODUS/Air telah membantu saya menyadari kembali bahwa leluhur orang-orang Indonesia sebenarnya sudah lama hidup berdasarkan keniscayaan tersebut.

Pameran MODUS/Air

Pameran MODUS/Air merupakan bagian dari kuratorial Jejaring, Rimpang dari Kurator Bapak Enin Supriyanto yang bertempat di Taman Ismail Marzuki dan diselenggarakan dari tanggal 20-29 Oktober 2023. Sebuah tema yang mengangkat isu lingkungan, yang berupaya memetakan isu-isu air (utamanya dalam konteks seni) sebagai fokus utamanya. Pameran ini merupakan hasil kerja sama berbagai seniman dan komunitas dari berbagai daerah di Indonesia, mulai dari Bandung, Surabaya, Banjarmasin, dan Samarinda. Suatu karya hasil gotong-royong seniman Indonesia yang ingin agar kita memahami kembali bagaimana terjadinya perubahan lingkungan di daerah yang memiliki elemen air (parit, sungai, kanal, atau danau) dapat mengubah, bahkan membunuh budaya yang telah hidup darinya. Realita ini tercermin dalam karya-karya hasil seniman-senimannya, yaitu Adi Sundoro, Aliansyah Caniago, Aulia Yeru, Brebes ArtDictive, Dea Widya Evan, Ni Ketut Ayu Sriwardani & Erland Sibuea, Syaiful Garibaldi, Wok the Rok, Indeks & Pertigaan Map, Marten Bayuaji, Maulana Yudhistira, Nidiya Kusmaya, dan Novyandi Saputra. Perubahan yang terjadi ini misalnya sedang terjadi pada Sungai Mahakam di Kalimantan Timur. Sungai yang dulunya merupakan sumber kehidupan yang membentuk budaya masyarakat sungai, sekarang beralih fungsi menjadi jalur transportasi tongkang batu bara. Rumah sekitar sungai yang biasanya menghadap ke sungai, sekarang dibuat membelakanginya. Masyarakat yang dulu senang makan ikan, jadi senang makan ayam. Rumah yang biasanya memiliki perahu, sekarang hanya punya motor. Begitu juga dengan yang terjadi di Cigondewah, Bandung, Jawa Barat. Karena semakin berkembangnya industri kain, Cigondewah yang tadinya merupakan salah satu daerah lumbung padi di Bandung, sekarang sungainya, Sungai Cikendal, sudah tercemar limbah dan lahan pertaniannya dialih-fungsikan menjadi gudang-gudang baju. Budaya masyarakatnya yang pandai dalam mengolah tanah pun akhirnya lambat laun menghilang.

Keniscayaan Penciptaan

Sebagai volunteer yang ditugaskan menjadi exhibition guide (penjaga pameran), ketika saya mendalami karya-karya yang ada, dibarengi dengan mendengarkan pengalaman langsung residensi dari para seniman, saya kemudian menyadari betapa leluhur kita tidak menganggap ruang hidupnya hanya sebagai tempat bersinggah. Mereka telah mengenali alam yang memberi mereka makan dan memanfaatkanya sesuai dengan karakteristik serta kepribadian tanah dan airnya. Mereka membangun rumah dengan apa yang disediakan alam, menyesuaikan dengan ekosistem yang ada dan bahkan sampai memperhatikan mitigasi bencana ke dalam arsitektur rumah adat mereka, jika kita belajar dari gempa Lombok tahun 2018 kemarin. Dalam situasi krisis iklim ini, melalui semangat merawat alam dan kebudayaan, saya menarik kesimpulan bahwa hanya dengan menyadari kembali keniscayaan penciptaan manusia layaknya leluhur kita dulu, maka akan lebih mudah udah menyelaraskan kembali kehidupan manusia dengan bumi, bahkan dengan sang maha pencipta.

Keniscayaan ini tidak sulit dipahami dan sebenarnya tanpa kita sadari terjadi setiap waktu. Sadhguru, pencetus gerakan Save Soil (Selamatkan Tanah) menjelaskan bagaimana proses penciptaan manusia dari bumi sebenarnya terjadi. Dimulai dari bibit-bibit tanaman yang berbeda, saat masuk ke tanah sudah ada kecerdasan yang tahu bagaimana mengubah bibit wortel menjadi wortel, dan bayam menjadi bayam, bukan sebaliknya. Lalu kita panen hasil bumi tersebut dan kita makan, maka tubuh kita pun sudah tahu bagaimana cara mengubah nasi menjadi tangan dan jagung menjadi rambut. Hal yang begitu kompleks terjadi setiap hari di alam dan di dalam tubuh kita. Inilah yang dimaksud dengan penciptaan yang juga selaras dengan apa yang tertulis dalam surat Al-Mu'minun ayat 12-14. Jika kita terus merusak bumi, satu-satunya sumber penciptaan umat manusia, maka yang terkutuk bukanlah bumi itu sendiri yang akan terus berputar, tapi manusia yang tidak punya tempat lain untuk bersandar.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

RA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini