Merawat Budaya Kala Hadapi Perubahan Iklim

Merawat Budaya Kala Hadapi Perubahan Iklim
info gambar utama

Disadari atau tidak, lingkungan telah banyak berubah karena pengaruh perubahan iklim. Kondisi ini turut menjadi ancaman hilangnya warisan budaya.

Kota Palembang adalah salah satu daerah yang menjadi saksi bisu perubahan yang terjadi pada alam. Suhu panas yang menyengat dan pola cuaca ekstrem sudah dirasakan di wilayah yang identik dengan Sungai Musi ini.

Belum lagi bencana musiman yang terjadi, mulai dari banjir di musim hujan hingga kabut asap di musim kemarau.

Asap yang menutupi Jembatan Ampera di pagi hari tersebut berasal dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di kabupaten terdekat yang berlahan gambut. Tidak hanya jarak pandang terbatas, udara menjadi tidak segar dan berdebu.

Diyakini bahwa perubahan lingkungan ini didorong oleh kegiatan manusia sendiri. Mengingat, Sumatera Selatan memproduksi batu bara, minyak, dan gas alam yang menyimpan panas. Rawa dan sungai pun dialihfungsikan dengan dibangun dan diganti menjadi perkebunan dan pemukiman.

Antropolog dari UIN Raden Fatah Palembang, Amilda Sani dalam suatu kesempatan webinar pada Kamis 26 Oktober 2023 lalu menegaskan, lingkungan adalah ruang hidup dan arena membangun identitas. Upaya membangun identitas inilah cara hidup atau way of life yang disebut dengan kebudayaan.

Dia menyebutkan, Palembang dulu memiliki 316 aliran sungai. Sungai menjadi urat nadi kehidupan penduduk, baik sebagai transportasi, pemenuhan kebutuhan sehari-hari, serta pengendali banjir.

Namun, pembangunan masif di Palembang pada masa kolonial menghilangkan 221 sungai dan tersisa 91 sungai. Salah satunya Sungai Tengkuruk yang hilang akibat pembangunan kawasan ekonomi pada tahun 1928. Kawasan ini kini dikenal dengan kawasan Pasar 16 Palembang. Adapula pembangunan menara air juga menghilangkan Sungai Kapuran pada tahun 1931.

Saat ini pun sudah jarang ada pembangunan rumah panggung atau rumah rakit di Palembang. Untuk adaptasi banjir, masyarakat justru menaikkan rumah dengan menimbun tanah dan ditutup semen.

Tidak heran jika kehidupan sungai dan pengetahuan masyarakat tentang budaya sungai sudah hilang.

Disebutkannya, sungai sudah kehilangan jati diri. Tahun 2019 lalu masih bisa mendapatkan udang dan jenis ikan tertentu. Tapi tahun 2023 ini sungai sudah semakin dangkal. Ditambah pula Palembang tidak ada ruang hijau karena populasi semakin padat. “Setiap ada kegiatan manusia, pasti ada perusakan lingkungan,” ulas Amilda.

Hilangnya budaya di Palembang akibat perubahan iklim juga disampaikan Koordinator Sahabat Cagar Budaya Palembang, Robby Sunata.

Menurutnya, ancaman hilangnya situs budaya Palembang tersebut antara lain thermoklastisme atau pengelupasan pada permukaan bangunan-bangunan tua, seperti di kawasan Sekanak dan Pasar 16 Palembang akibat suhu dan panas.

Ancaman lainnya yakni dampak banjir yang dapat memicu pelemahan struktur dan materi bangunan cagar budaya. Kawasan Kampung Al-Munawar yang memiliki rumah-rumah berusia 300 tahun misalnya, sudah mengalami gangguan karena banjir. Masyarakat setempat menyebut banjir yang terjadi tidak normal seperti banjir lima tahunan.

Ancaman terakhir menurut Robby, yakni dampak kekeringan yang dapat membuat tanah gambut mudah terbakar sehingga mengancam situs bersejarah, seperti di Karang Agung, Air Sugihan, dan rumah tradisional di kampung-kampung tua.

Dia menyampaikan, pola pengendalian air yang dilakukan Kedatuan Sriwijaya di tanah Palembang bisa saja menjadi solusi untuk ancaman-ancaman tersebut.

Di Prasasti Talang Tuwo tertulis bahwa Sriwijaya telah mampu membuat bendungan dan kolam. Berdasarkan penelitian lapangan di kawasan Karang Anyar, Sriwijaya juga telah mampu membuat jalur air.

“Tentu saja, bendungan berfungsi untuk mengendalikan ukuran aliran air dan mencegah banjir serta kekeringan. Kolam sebagai simpanan air di musim kemarau, dan jalur air untuk pemerataan aliran,” terang dia.

kabut asap di sungai musi
info gambar

Sementara itu, Ade Indriani Zuchri dari Serikat Hijau Indonesia mengatakan, topografi Palembang memang kota air. Lalu lintasnya adalah sungai, terutama di masa perdagangan, dan kondisi ini berpengaruh pada gaya hidup penduduk di tepian sungai saat itu.

Terkait pemanasan global dan perubahan iklim, menurutnya bukanlah hal yang baru. Kedua fenomena ini telah ada selama puluhan ribu tahun dan terjadi secara alami karena perubahan posisi bumi. Namun, berdasarkan laporan Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2013, dalam satu abad terakhir terjadi percepatan yang berasal dari penggunaan bahan bakar fosil.

Pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas memerangkap panas. Aktivitas manusia lainnya juga telah menjadi pendorong utama perubahan iklim seperti perubahan dan alih fungsi lahan.

“Kesadaran atas ancaman perubahan iklim ini terlambat disadari. Indonesia sudah banyak catatan karhutla yang masif, terutama di Sumatera Selatan. Karhutla terjadi di tahun 1997, lalu 2015, dan yang terjadi di tahun 2023 ini menjadikan Palembang sebagai kota dengan polusi terburuk di Indonesia pada bulan September,” ungkapnya.

Lalu, apa bisa dilakukan anak muda? Ade mengingatkan, mulai dari sekarang kurangi gaya hidup yang memberi kontribusi perubahan iklim, misalnya mengurangi pengggunaan barang berbahan plastik. Anak muda juga bisa masuk ke organisasi lingkungan hidup untuk menumbuhkan kepedulian dan pelestarian lingkungan.

Museum Kota Kenalkan Jejak Perubahan Iklim

Untuk lebih tahu tentang perubahan iklim, Kawan GNFI domisili Palembang bisa mendatangi Museum Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II Palembang. Museum yang berlokasi di kawasan Benteng Kuto Besak (BKB) itu memperkenalkan isu perubahan iklim dalam pameran temporernya mulai November 2023.

Dari pantauan, pameran bertajuk Jejak Perubahan Iklim di Bumi Sriwijaya: Menapaki Masa Depan Bersama ini ditata cukup apik di lantai atas museum. Pengunjung diajak meresapi kondisi alam yang terus berubah dan mempengaruhi tempat tinggal penduduk Palembang.

Pameran Perubahan Iklim
info gambar

Dipamerkan grafik perubahan temperatur di Palembang sejak 1866 hingga 2023. Grafik yang dibuat oleh Profesor Ed Hawkins dari Universitas of Reading tersebut menunjukkan pola warna dari biru ke merah gelap, menggambarkan bahwa suhu semakin panas.

Ada pula pelajaran singkat dari Masa Sriwijaya tentang perintah pembangunan Taman Sriksetra. Begitu pentingnya sebuah taman dalam memperlambat dan mengurangi dampak perubahan iklim, yang tetap relevan di masa modern.

Menariknya, pengunjung diberikan pengalaman merasakan desain rumah Palembang yang terbuat dari kayu. Dengan material kayu, rumah limas membuat udara lebih mudah mengalir ke dalam ruangan dan akan terasa sejuk tanpa perlu menggunakan AC. Dijelaskan, pendingin ruangan dapat memperparah pemanasan global karena AC melepaskan gas Chlorofuorocarbon (CFC), salah satu gas rumah kaca.

Dengan mendatangi pameran ini Kawan GNFI bisa menjadi bagian dari solusi perubahan iklim. Pengetahuan bisa lebih mendalam tentang perubahan iklim dan jejaknya di Palembang. “Rencananya digelar selama satu tahun. Targetnya anak-anak, keluarga, umum untuk bisa didiskusikan apa yang bisa kita dilakukan terkait perubahan iklim,” jelas Nyimas Ulfa, Pamong Budaya Dinas Kebudayaan Palembang.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

YS
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini