Tradisi Pertanian Kasepuhan Ciptagelar: Merawat Bumi hingga Swasembada Pangan

Tradisi Pertanian Kasepuhan Ciptagelar: Merawat Bumi hingga Swasembada Pangan
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbunguntukMelambung

Beranjak sekitar 180 km dari hiruk pikuk Ibu Kota menuju pedalaman hutan nan asri dengan latar pegunungan, tepatnya ke Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, akan kita jumpai salah satu kampung adat milik Bumi Pertiwi yang masih eksis hingga detik ini yaitu Kasepuhan Ciptagelar. Kasepuhan Ciptagelar berdiri sejak ratusan tahun silam. Kasepuhan tersebut merupakan bagian dari Kasepuhan Banten Selatan bersama beberapa kasepuhan lain seperti Kasepuhan Cipta Mulya, Kasepuhan Cisungsang dan lain sebagainya.

Kasepuhan Ciptagelar juga termasuk ke dalam wilayah Taman Nasional Gunung Halimun dan terletak di kawasan Ciletuh UNESCO Global Geopark—satu dari sepuluh geopark di Indonesia yang berhasil ditetapkan dalam daftar geopark dunia sejak 2018 dan direvalidasi pada 2022 lalu.

Sebagai kampung adat yang sarat akan kebudayaan, Kasepuhan Ciptagelar menjadi satu dari sekian kultural diversitas yang dimiliki Geopark Ciletuh. Masyarakat Ciptagelar merawat adat istiadat dengan baik. Salah satunya yakni merawat tradisi menanam padi yang diwariskan nenek moyang sejak tahun 1368.

Merawat Bumi

Tidak seperti kegiatan bertani pada umumnya, agenda menanam padi di Kasepuhan Ciptagelar hanya boleh dilakukan satu tahun sekali. Ini merupakan bentuk penghormatan kepada adat istiadat warisan para leluhur juga penghormatan kepada alam. Selain karena kepercayaan tentang Dewi Sri atau sang "Dewi Padi" yang bersemayam di dalam padi-padi mereka satu tahun sekali, waktu bertani tersebut pun dipilih karena masyarakat Ciptagelar enggan merusak alam dan ingin senantiasa menjaga kelestarian lingkungan. Mereka percaya bahwa lahan pertanian perlu diberi waktu untuk pulih dan subur kembali.

Hal menarik lain dari tradisi bertani Kasepuhan Ciptagelar adalah mereka tidak menggunakan bahan kimia sama sekali. Mengusung sistem pertanian agroekologi, masyarakat di sana tidak memanfaatkan pestisida, insektisida, hingga pupuk kimia. Inilah potret dari merawat tradisi, merawat bumi.

Selain penggunaan bahan, penggunaan alat saat bertani pun turut diatur. Masyarakat Ciptagelar tidak menggunakan alat pertanian modern seperti traktor, mereka didorong untuk menjaga kearifan lokal dengan memanfaatkan alat-alat tradisional seperti cangkul untuk menggarap sawah hingga lesung dan alu untuk memisahkan gabah.

Kendati konsisten menggunakan alat tradisional di bidang pertanian, bukan berarti Kasepuhan Ciptagelar tidak melek teknologi. Sebaliknya, kampung adat satu ini justru memiliki saluran televisi dan saluran radio sendiri. Jaringan internet yang memadai hingga pembangkit listrik hemat energi pun turut eksis di sini.

Swasembada Pangan

Terkait waktu bertani yang hanya satu tahun sekali, tidak lantas membuat masyarakat Kasepuhan Ciptagelar kekurangan pangan. Sebaliknya, tradisi bertani mereka justru mengangkat konsep 'pangan mandiri' dengan fokus memenuhi kebutuhan masyarakat sendiri. Konsep ini selaras dengan pesan Pemerintah Kota Sukabumi pada Pekan Kebudayaan Nasional 2023 tanggal 20 Oktober silam, "Pemajuan kebudayaan di Kota Sukabumi harus meningkatkan ekonomi lokal."

Salah satu aturan adat Kasepuhan Ciptagelar adalah masyarakat tidak diperbolehkan menjual hasil taninya kepada orang luar. Mereka mengenal tradisi ini sebagai mupusti pare atau memuliakan padi, namun bukan berarti migusti pare atau menuhankannya. Bagi masyarakat Ciptagelar, menjual padi sama dengan 'menjual kehidupan'.

Dengan demikian, demi menyiasati ketersediaan pangan, masyarakat Ciptagelar membangun ribuan leuit atau lumbung padi bersama. Bangunan berbentuk nyikas seperti rumah panggung dan terdiri atas kayu, bambu, ijuk serta daun kiray tersebut merupakan simbol ketahanan pangan. Menariknya, leuit-leuit di Kasepuhan Ciptagelar mampu menyimpan pasokan beras hingga 5 tahun ke depan.

Konsistensi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dalam merawat tradisi perlu diapresiasi. Eksistensi kampung adat tersebut adalah bukti, bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya, termasuk dalam bidang sosio-kulturalnya.

Referensi : bappeda.jabarprov.go.id, kemdikbud.go.id, kemlu.go.id, etnis.id

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AM
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini