Merti Bumi sebagai Warisan Budaya Desa Polosiri

Merti Bumi sebagai Warisan Budaya Desa Polosiri
info gambar utama

Indonesia merupakan negara yang kaya akan

Merti Bumi sebagai Warisan Budaya Desa Polosiri

Oleh: Nailatus Sholihah

Indonesia merupakan negara yang kaya akan kebudayaan dan kearifan lokal. Setiap daerah memiliki kebudayaan dan kearifan lokal masing-masing, salah satunya di Desa Polosiri. Desa Polosiri terletak di Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang. Desa Polosiri terdiri dari 5 dusun, diantaranya yaitu dusun Polosiri, Prenggan, Kaliputih, Tapen, Soko, dan Wangon. Desa Polosiri merupakan desa agraris yang kaya akan tanaman, terutama tanaman padi, labu, dan durian. Selain dikenal sebagai desa agraris, desa Polosiri memiliki kearifan tradisi lokal yang sangat melekat dalam diri masyarakatnya yang dikenal dengan tradisi merti bumi.

Merti bumi merupakan warisan pendiri desa Polosiri dalam merawat potensi alam agraris sebagai modal pembangunan desa Polosiri. Merti bumi dilakukan dengan tujuan untuk menjaga harmonisasi dan keseimbangan lahan pertanian dengan kehidupan sosial masyarakat desa Polosiri. Masyarakat desa Polosiri memanfaatkan lahan persawahan dengan ditanami padi. Mereka juga mengolah alam agraris dengan beternak hewan di kolam atau di darat yang pupuknya digunakan untuk kesuburan lahan pertanian.

Merti bumi dilaksanakan secara rutin setiap tahun di Bulan Sapar oleh seluruh masyarakat desa Polosiri, bahkan mereka memiliki keyakinan jika merti bumi tidak dilaksanakan, maka desa atau masyarakat desa akan memperoleh malapetaka. Merti bumi dimaknai sebagai do’a dan pengharapan kepada Tuhan Maha Kuasa agar dapat menjaga, menyelamatkan kelestarian dan kebermanfaatan alam semesta di desa Polosiri. Merti bumi juga dimaknai sebagai perekat hubungan sosial masyarakat desa Polosiri. Merti bumi sebagai media bagi masyarakat desa Polosiri untuk hidup rukun dan saling bergotong-royong dalam kebersamaan.

Merti bumi diikuti oleh seluruh masyarakat desa Polosiri. Mereka berkumpul di Balai Desa mengikuti rangkaian kegiatan merti bumi yang dimulai dari mujahadah do’a, tayub, dan pertunjukan wayang. Merti bumi merupakan implementasi spiritualitas kehidupan masyarakat hubungan kepada Tuhan, antarsesama manusia dan alam semesta. Spiritualitas memayu hayuning bawana terhadap Tuhan atas karuniaNya memberikan keamanan dan kemakmuran desa. Merti bumi dengan spiritualitas memayu hayuning bawana yang meneruskan misi perjuangan pendiri desa dalam membangun dan memajukan desa.

Gambar 1. Bersih Kali

(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Merti bumi desa Polosiri diawali dengan acara bersih kali. Acara bersih kali dilakukan oleh seluruh masyarakat desa Polosiri dengan membersihkan kali bersama-sama. Pada acara ini terdapat penangkapan ikan lele yang sudah menjadi tradisi warga Polosiri saat membersihkan kali. Selain itu, penangkapan ikan lele bertujuan untuk membangkitkan semangat warga desa dalam pembersihan kali. Setelah pembersihan kali selesai, warga desa makan bersama di mushola.

Masyarakat desa Polosiri pada acara merti bumi bergotong-royong menyediakan aneka jenis makanan yang mengandung makna spiritualitas memayu hayuning bawana untuk berdo’a kepada Tuhan YME. Makanan tersebut terdiri dari nasi gurih yang dibentuk tumpeng mengerucut ke atas yang merupakan simbol pengharapan agar Tuhan mengabulkan do’a yang telah dipanjatkan. Ayam merupakan simbol dalam beribadah; manusia harus manembah ingkang linangkung, yang artinya beribadah kepada Tuhan tidak boleh ditunda dan harus dalam keadaan khusyu’ seakan engkau akan mati besok. Jajan Pasar mengandung arti bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri dan senantiasa membutuhkan pertolongan orang lain (Mangunrejo, 2022).

Gambar 2. Tayub

(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Setelah acara do’a selesai, acara selanjutnya yaitu tayub. Tayub merupakan kesenian Jawa yang mengandung unsur keindahan, dimana keindahan ini terletak pada penari yang membawakan tarian sesuai dengan lakon yang diperankan. Acara tayub di desa Polosiri dibawakan oleh 4 penari. Acara tayub dimulai dengan kepala desa melakukan tradisi berdo’a kemudian menari bersama dengan para penari sambil membawa sesajen. Kemudian, warga desa ikut serta menari dalam acara tayub tersebut untuk meramaikan acara merti bumi.

Gambar 3. Wayang Kulit

(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Acara selanjutnya yaitu pertunjukan wayang kulit. Masyarakat Jawa menganggap wayang adalah budaya yang berfungsi sebagai media komunikasi sosial. Wayang bukan hanya tontonan yang menghibur, tetapi juga tuntunan yang menuntun kebaikan. Selain itu, wayang juga berfungsi sebagai media ruwatan. Meruwat desa agar terhindar dari musibah dan marabahaya. Wayang dipentaskan setiap tahun pada acara selametan untuk keselamatan desa dan mohon perlindungan dari kesialan dan bahaya. Pertunjukan wayang mengimplementasikan spiritualitas memayu hayuning bawana kehidupan masyarakat pedesaan yang agraris dan menyatu dengan alam. Pertunjukan wayang dipentaskan di atas panggung oleh dalang yang lengkap dengan gamelannya. Panggung pementasan wayang dihiasi dengan padi (gabah) dan kelapa (kerambil). Padi dan kelapa adalah hasil bumi tanah pertanian yang diikat di panggung pementasan wayang. Padi dan kelapa merupakan hasil pertanian yang inspiratif dan memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia. Padi dan kelapa mengajarkan daur hidup spiritualitas sebagai pedoman hidup umat manusia. Padi dan kelapa secara simbolik indentitas kearifan lokal dan peradaban masyarakat pedesaan yang bersahabat dengan lahan pertanian (Mangunrejo, 2022).

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

NS
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini