Dampak Psikologis Body Shaming pada Kesehatan Mental Remaja

Dampak Psikologis Body Shaming pada Kesehatan Mental Remaja
info gambar utama

Masa remaja adalah periode transisi dari masa kanak-kanak menuju kedewasaan, ditandai dengan perubahan yang intensif di segi fisik, biologis, dan emosional. Sayangnya, banyak remaja lebih fokus pada aspek kesehatan fisik, tanpa menyadari bahwa kesehatan mental juga tak kalah penting.

Bagaimana kondisi mental seseorang mempunyai peran besar dalam membentuk cara berpikir, merasakan, dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Pentingnya kesehatan mental tak bisa diabaikan, sebab seseorang dengan kesehatan mental yang baik dapat meraih potensinya dengan optimal.

Gangguan kesehatan mental menjadi sorotan utama dalam dinamika kehidupan masyarakat modern. Salah satu faktor yang turut meramaikan panggung perbincangan adalah fenomena body shaming, suatu perilaku yang kerap merusak kepercayaan diri dan kesehatan mental seseorang.

Sebuah laporan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2020 mengungkapkan bahwa sekitar 62,2 persen wanita di Indonesia pernah mengalami body shaming selama hidup mereka.

Fenomena Body Shaming di Indonesia

Data yang diperoleh melalui tinjauan berbasis web terhadap 6.460 wanita di Indonesia pada Juli-September 2019 menunjukkan tren yang mengkhawatirkan.

Dari jumlah tersebut, 47 persen dianggap terlalu gendut, 36,4 persen mendapat kritik karena kulit berjerawat, 28,1 persen dikomentari wajah yang bulat, dan 23,3 persen disorot karena warna kulit coklat. Bahkan, 19,6 persen dianggap terlalu kurus, menyoroti kompleksitas standar kecantikan yang diterapkan oleh masyarakat.

Mengunjungi Temanggung, Tanah yang Dijuluki sebagai Kota Tembakau

Dampak Psikologis Body Shaming pada Kesehatan Mental Remaja

1. Turunnya Kepercayaan Diri

Turunnya kepercayaan diri menjadi dampak utama dari body shaming. Remaja yang mengalami kritik terhadap penampilan fisiknya cenderung melihat kekurangan daripada kelebihan, memicu pola pikir negatif yang dapat membatasi kemampuan mereka untuk maju dan menyelesaikan masalah.

Ini sejalan dengan teori bahwa body shaming dapat menurunkan kualitas hidup seseorang dan meningkatkan risiko stres, harga diri rendah, dan rasa malu.

2. Kesehatan Mental dan Psikologis pada Remaja

Body shaming tidak hanya memengaruhi kepercayaan diri, tetapi juga berpotensi menimbulkan masalah kesehatan mental dan psikologis pada remaja. Rentan usia 17-18 tahun dihadapkan pada tekanan untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar.

Mereka mungkin memilih untuk menarik diri, menyebabkan kesulitan dalam bersosialisasi. Kesejahteraan psikologis remaja dipengaruhi oleh perlakuan body shaming sebagai bagian dari perjalanan hidup mereka.

3. Depresi pada Remaja

Norma sosial yang menetapkan tubuh 'ideal' dapat menciptakan rasa malu yang mendalam, memicu depresi pada remaja. Keyakinan kronis bahwa mereka gagal memenuhi standar sosial dapat menciptakan suasana hati yang tertekan.

Depresi pada remaja dapat memunculkan keinginan untuk menarik diri, bahkan berpotensi mengarah pada keinginan mengakhiri hidup. Pemahaman peran rasa malu dalam pencegahan dan intervensi obesitas menjadi kunci penting dalam melihat dampak psikologis ini.

Daun Mekai, Micin Ala Suku Dayak untuk Penyedap Rasa Makanan

Upaya Pencegahan dan Intervensi

Melihat kompleksitas dampak body shaming pada kesehatan mental remaja, upaya pencegahan menjadi hal yang mendesak. Pembangunan sikap saling menghormati, penciptaan komunitas yang mendukung pencegahan bullying, dan penyediaan konseling bagi para korban menjadi langkah-langkah krusial dalam menghadapi tantangan ini.

Dalam konteks ini, mendukung remaja untuk menemukan nilai dalam diri mereka, membangun kepercayaan diri, dan menghadapi tekanan sosial adalah langkah-langkah proaktif. Norma sosial yang mendukung keberagaman penampilan fisik juga menjadi kunci untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif.

Dalam menghadapi tren body shaming yang merajalela, masyarakat perlu lebih sensitif terhadap dampaknya, khususnya pada kesehatan mental remaja. Langkah-langkah preventif dan intervensi menjadi pondasi untuk membentuk generasi muda yang kuat, optimis, dan percaya pada diri mereka sendiri. Hanya dengan kerja sama dan kesadaran bersama, masyarakat dapat menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan positif para remaja Indonesia.

Sumber : https://repo.itskesicme.ac.id/6310/2/183210032%20NURUL%20CHIDRIYAH%20ARTIKEL.pdf

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AI
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini