Mengenang Bung Tomo: Pemimpin Inspiratif dan Karismatik pada Hari Pahlawan

Mengenang Bung Tomo: Pemimpin Inspiratif dan Karismatik pada Hari Pahlawan
info gambar utama

Tepat pada tanggal 10 November, bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan sebuah momen yang memadukan rasa syukur dan penghormatan terhadap pahlawan-pahlawan yang telah mengobarkan jiwa dan raganya demi kemerdekaan negara Indonesia. Salah satu figur kunci yang tak bisa terlupakan dalam narasi perjuangan ini adalah Bung Tomo, seorang tokoh yang gigih menggerakkan semangat perlawanan rakyat di Surabaya selama masa Revolusi Nasional.

Bung Tomo lahir, di Surabaya pada 3 Oktober 1920. Beliau adalah putra dari dari seorang ibu yang berketurunan sejumlah suku di Indonesia, yaitu Madura, Jawa Tengah, dan Sunda.

Sutomo, itulah nama pemberian ayahnya. Tomo adalah nama panggilannya. Saat dia lahir, Indonesia masih dalam belenggu kolonialisme Belanda. Saat itu, Kota Surabaya belum menjadi ibu kota Provinsi Jawa Timur seperti saat ini. Surabaya masih menjadi tempat kedudukan pemerintah Hindia Belanda.

Kampung Blauran merupakan tanah kelahiran Bung Tomo. Dia berasal dari sebuah keluarga sederhana yang gemar bekerja. Ayahnya, Bapak Kartawan Tjiptowidjojo, seorang yang bertanggung jawab dan sangat peduli pada keluarganya. Beliau sering melakukan pekerjaan apa pun asalkan halal. Hal itu dilakukannya untuk menghidupi keluarga mereka.

Mengenal Suku Asmat, Ahli Pahat yang Ceritakan Tentang Para Leluhur

Keluarga ini mempunyai hubungan kekerabatan dengan beberapa pengikut Pangeran Diponegoro. Mereka merupakan pendukung Pangeran Diponegoro saat melawan Belanda. Perang tersebut berlangsung lama sehingga banyak pahlawan yang terbunuh. Belanda juga banyak kehilangan prajuritnya.

Pada salah satu kejadian, Pangeran Diponegoro tertipu oleh taktik Belanda dan diasingkan ke Ambon pada tahun 1853. Di antara pendukung Pangeran Diponegoro yang tersisa adalah nenek moyang Bung Tomo. Mereka memutuskan untuk tinggal di wilayah Malang Jawa Timur sampai akhir hayatnya.

Kehidupan keluarga Bung Tomo sangatlah sederhana. Pendidikan moral dan ilmu pengetahuan sangat penting dalam keluarganya. Bung Tomo juga dididik tentang kebebasan berpendapat. Ia selalu terpacu untuk terus mengembangkan diri di segala bidang.

Pada usia 12 tahun, Bung Tomo harus meninggalkan pendidikannya di sekolah menengah yang dikenal dengan nama MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). MULO didirikan pada tahun 1914 yang ditujukan khusus dari golongan pribumi dan timur asing. Tempat ini merupakan sekolah zaman Belanda yang menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantarnya.

Meskipun tidak dapat melanjutkan pendidikannya, Bung Tomo tidak pernah patah semangat. Dia bekerja membantu ayahnya dalam mencukupi kebutuhan keluarganya. Pada masa itu seluruh dunia sedang mengalami kesulitan di berbagai bidang. Banyak masalah yang timbul akibat perang. Masalah ekonomi dunia pun sangat berpengaruh terhadap keadaan masyarakat Indonesia.

Namun, kesulitan ini tidak mematahkan harapan Bung Tomo untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi. Setiap kesempatan digunakannya untuk melanjutkan pendidikannya. Bahkan, Bung Tomo dikabarkan berhasil meneruskan sekolahnya hingga ke HBS (Hogere Burger School). Dia belajar melalui proses korespondensi atau surat-menyurat.

Alvinia Christiany bersama Teman Autis, Bantu Penyandang Autisme Lebih Maju

Selain bekerja keras dan belajar. Bung Tomo juga aktif dalam kegiatan kepanduan. Pada masa itu gerakan kepanduan dikenal dengan nama Kepanduan Bangsa Indonesia atau KBI. Sementara itu, pada masa sekarang gerakan kepanduan dikenal sebagai Gerakan Pramuka.

Dalam kegiatan kepanduan ini, nasionalisme Bung Tomo semakin kuat. Nasehat dari keluarga, terutama kakeknya, menjadi penolong dalam memupuk rasa nasionalismenya. Saat itu, mustahil membangkitkan semangat nasionalisme dari sekolah-sekolah pada zaman penjajahan.

Kerja keras Bung Tomo membuahkan hasil. Pada usia 17 tahun tahun, Bung Tomo diangkat menjadi seorang Pandu Garuda. Dia berhasil lulus dalam ujian kepanduan, yaitu Ujian Pandu kelas I. Ini merupakan kedudukan tertinggi dalam Kepanduan. Tidak semua orang dapat meraih prestasi tersebut.

Bung Tomo adalah orang kedua Indonesia yang berhasil menjadi Pandu Garuda saat itu. Sementara itu, di tingkat Jawa Timur, dia adalah putra pertama yang berhasil meraih kelulusan. Pada masa penjajahan Jepang sebelum tahun 1942, hanya tiga orang Indonesia yang berhasil meraih peringkat Pandu Garuda tersebut.

Selain aktif di kepanduan, Bung Tomo juga aktif dalam organisasi politik. Pada usia 17 tahun pula, Bung Tomo dipercaya untuk menjabat sebagai Sekretaris Parindra anak cabang di daerah Tembok Duku.

Bung Tomo juga bekerja sebgai wartawan. Dia aktif mencari berita. Berita itu dituliskannya untuk sejumlah koran atau majalah. Awalnya, dia menjadi wartawan lepas untuk Harian Soeara Oemoem di Surabaya pad tahun 1937.

Banyak media (alat komunikasi) yang memuat tulisan atau artikel Bung Tomo, termasuk surat kabar harian berbahasa Jawa Ekspress (1939). Dia juga pernah bekerja sebagai asisten korespondensi pada majalah Poestaka Timoer Yogyakarta. Dia pun pernah bekerja sebagai redaktur pada mingguan Pembela Rakyat (1938). Selain itu, masih banyak sejumlah media lain yang memuat tulisannya.

Bung Tomo pernah menjabat sebagai wakil pemimpin redaksi untuk Kantor Berita Pendudukan Jepang, Domei-Surabaya untuk seluruh Jawa Timur. Jabatan itu diamanahkan padanya masa penjajahan Jepang. Dia bekerja pada divisi bahasa Indonesia sepanjang tahun 1942-1945.

Bung Tomo bersama wartawan senior bernama Romo Bintarti memberitakan mengenai Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Tulisannya ditujukan kepada seluruh rakyat Surabaya. Bahkan, berita itu meluas sampai seluruh Jawa Timur. Kabar tentang kemerdekaan Indonesia ini disampaikan dalam bahasa Jawa. Hal ini dilakukan untuk menghindari sensor Jepang.

Kampung Lali Gadget: Kembalikan Dunia Anak-anak Lewat Dolanan Tradisional

Bung Tomo pun pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Kantor Berita Antara. Kantor berita itu bermarkas di Kota Surabaya pada tahun 1945.

Bung Tomo juga tercatat aktif dalam berkesenian. Dia pernah terpilih menjadi ketua sebuah kelompok sandiwara. Kelompok sandiwara itu bernama Pemuda Indonesia Raya, yang berpusat di Surabaya.

Kelompok sandiwara ini sering mementaskan cerita-cerita perjuangan dan semangat untuk merdeka. Namun, kelompok ini kemudian menghentikan kegiatannya ketika Jepang datang untuk menjajah di Indonesia.

Sukses dalam Pedidikan...

Bung Tomo adalah sosok yang selalu peduli pada masalah pendidikan. Meski sudah tidak muda lagi, dia berhasil menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada tahun 1969. Beliau juga sangat peduli dengan pendidikan kelima anak-anaknya. Dia ingin agar mereka berhasil dalam pendidikannya.

Wafat di Tanah Suci...

Meskipun merasa dirinya saleh, Bung Tomo adalah seorang muslim yang taat. Pada tahun 1981, beliau pergi menunaikan haji ke tanah suci. Ternyata, itu merupakan haji terakhirnya. Beliau berpulang ke hadirat Ilahi di Padang Arafah pada 7 Oktober 1981. Beliau kemudian diterbangkan kembali ke tanah air dan dimakamkan di TPU Ngagel Surabaya, tanah kelahirannya.

Referensi:

Kimberly, Aira. 2020. Bung Tomo Pandu Garuda yang Pantang Menyerah. Jakarta: Bee Media Pustaka.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

S
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini