Wayang Orang: Kesenian Tradisional yang Mempesona di Panggung Indonesia

Wayang Orang: Kesenian Tradisional yang Mempesona di Panggung Indonesia
info gambar utama

Wayang orang atau dalam bahasa Jawa disebut juga dengan istilah wayang wong merupakan salah satu seni pertunjukan dalam bentuk drama tradisional. Berbeda dengan jenis wayang lain, seperti wayang kulit atau wayang golek, wayang orang dimainkan langsung oleh orang sebagai tokoh dalam cerita wayang tersebut.

Kisah-kisah yang ditampilkan diambil epos Mahabarata dan Ramayana yang mengandung banyak pesan moral. Cerita-cerita tersebut dikemas secara menarik oleh seniman-seniman wayang orang yang berpengalaman.

Mereka memakai kostum atau pakaian sesuai dengan tokoh wayang yang diperankannya. Pertunjukan ini juga didukung oleh tata panggung yang unik dan menarik sehingga membuat penonton serasa terbawa kembali ke zaman dahulu.

Wayanng Orang tidak dimainkan oleh dalang, karena setiap tokoh dalam wayang orang bisa bergerak dan berdialog sendiri. Di sini, dalang berperan sebagai sutradara yang mengarahkan para pemain.

Wayang orang gaya Yogyakarta kali pertama diciptakan Sri Sultan Hamengku Buwono I pada pertengahan abad ke-18 (1756 M). Konon, awalnya wayang orang Yogyakarta hanya hiburan untuk kalangan bengsawan Keraton saja.

Pada awal pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I, kesenian yang mendapat perhatian besar adalah seni karawitan dan seni tari, tetapi aspek pertahanan dan keamanan juga mendapat perhatian yang besar. Mangingat waktu itu sultan juga menghadapi kekuatan Belanda.

RI Pamer Keindahan Alam dan Budaya di Pameran Pariwisata Terbesar di Swedia

Oleh sebab itu, teknik-teknik menari tidak jauh berbeda dengan latihan militer, ketegasan, ketagapan tubuh, kesungguhan, dan semangat menjadi sangat utama. Bentuk dramatari yang pertama diciptakan Sultan Hamengku Buwono I adalah seni Wayan Orang dengan lakon Gandawerdaya. Lakon ini mengandung spirit patriotisme yang digali dari epos Mahabarata, khususnya mengemukakan patriotisme dari para kesatria Pandawa yang gagah berani membela kebenaran atas kelicikan para Kurawa.

Perkembangan tari gaya Yogyakarta sejak pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I hingga sekarang tetap mendapat perhatian, dan selalu terjadi peningkatan-peningkatan pada setiap raja yang memerintah.

Tari gaya Yogyakarta yang terus tumbuh dan berkembang hingga pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1912-1939). Pada masa itu, banyak usaha-usaha pembaharuan yang dilakukan, khususnya mulai dari penyempurnaan gerak tari, tata busana, dan model pedalangan. Terlebih pada masa itu berdiri sebuah sekolah pedalangan yang disebut Habiranda yang didukung oleh Java Institut.

Wayang orang gaya Yogyakarta memiliki nilai seni yang tinggi, diantaranya karena menyimpan banyak filosofi kehidupan. Wayang Orang merupakan kebudayaan yang syarat dengan filsafat dan pendidikan yang mengajarkan kita memahami falsafah hidup, etika, serta tuntutan budi pekerti dalam kehidupan sehari-hari.

Wayang Orang di Kesultanan Yogyakarta merupakan tari kelompok yang sangat sederhana, karena tidak memusatkan pada gemerlap kostum dan piranti lainnya, tetapi lebih mencitrakan semangat dan penghayatan yang kuat terhadap karakter tokoh sehingga tari klasik gaya Yogyakarta menampakan ciri bentuk yang lebih klasik dari pada tari gaya Surakarta yang berkesan romantik.

RI Pimpin Negara-negara OKI untuk Segera Bantu Palestina

Perbedaan tersebut membuat tari klasik gaya Yogyakarta, termasuk wayang orang, mendapat sebutan yang ekslusif yaitu Joged Mataram. Penari-penari wayang orang yang memegang peranan penting harus memiliki bekal falsafah dalam joged Mataram ini secara baik. Adapun falsafah dalam Joged Mataram terdiri atas empat dasar, yaitu sawiji (konsentrasi total), greged (dinamika atau semangat), sengguh (percaya diri), serta ora mingkuh (pantang mundur).

Penjiwaan merupakan dasar filsafat seni tari Yogyakarta yang dikenal dengan istilah “Joged Mataram” terdiri dari empat dasar yaitu sawaji (konsentrasi total), greged (dinamika atau semangat), sengguh (percaya diri), serta ora mingkuh (pantang mundur).

Empat faktor ini tidak dapat dimaknai satu persatu tetapi pemahaman dari masing-masing filsafat ini terkait dalam kesatuan makna. Penjiwaan merupakan dasar filsafat seni tari Yogyakarta, sebab apabila tidak, akan sukar menyalurkan “dinamika dalam” dari karakter yang dibawakannya.

Referensi:

Riana, Deny. 2021. Jelajah Wisata Budaya Negeriku Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Bandung: CV. Angkasa.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

S
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini