Tradisi Ngopi Bersama Tamu dari Warga Using untuk Ikat Persaudaraan

Tradisi Ngopi Bersama Tamu dari Warga Using untuk Ikat Persaudaraan
info gambar utama

Masyarakat adat Using di Kemiren, Banyuwangi, Jawa Timur memiliki hajat tiap tahun yaitu menyuguhkan kopi kepada setiap pengunjung di Festival Kopi Sepuluh Ewu. Festival ini menjadi cara warga Usin menjamu tamu secara tradisional yang berbalut gaya modern.

Ngidom Joesron, peracik kopi asli Banyuwangi ini menyapa para tamu yang hadir dalam acara itu. Dengan gesit, dirinya meracik empat cangkir kopi spesial. Dua arabika dan dua robusta yang diperlakukan istimewa agar aroma aslinya tetap terasa.

Eks Gitaris Banda Neira Ajak Warga Slipi Raih Momen Kebersamaan dengan Budaya Lokal

Pertama Nidom membasuh cangkir dengan air panas, lalu menuang 6 gram kopi, kemudian menuang perlahan air panas yang sudah disiapkan di teko setengah cangkir. Setelah muncul crema atau bulir kopi, dia menambah lagi air hingga penuh.

“Duduk dulu dengan nyaman, saya tuangkan kopi dari kaki Ijen untuk suguhan,” katanya yang dimuat Kompas.

Aroma kopi seketika menyebar. Kepada para tamu, Ngidom bercerita tentang kopi beraroma rempah dari kebun Belawan di sebelah barat kaki Ijen. Kisah tentang kopi di kaki Gunung Ijen berlanjut sepanjang malam.

Tradisi ngopi

Slamet, seorang petani kopi masih mengingat saat masih kecil, kakek dan neneknya setiap hari selalu menghidangkan kopi kepada tamu yang datang. Kopi dihidangkan terpisah dengan gula aren yang menjadi pemanis kala itu.

Bagi masyarakat ada kepercayaan bahwa setiap tamu di Kemiren dianggap membawa rezeki. Oleh karena itu, tuan rumah mengeluarkan minuman terbaik mereka untuk dinikmati yaitu, kopi yang diracik sendiri.

“Istilah kami adalah sonjo atau berbincang santai sambil ngopi,” kata Slamet.

Menikmati Lezatnya Kopi Rasa Madu Hasil Budidaya Petani Simalungun

Karena itulah dalam Festival Ngopi Sepuluh Ewu, Slamet mengulang tradisi buyutnya. Dirinya menjamu tamu yang datang dengan cangkir-cangkir yang digunakan para buyutnya pada masa silam.

Setiap acara Ngopi Sepuluh Ewu tiba, masyarakat mengeluarkan meja dan kursi di teras dan pinggir jalan untuk memberi tempat duduk untuk para tamu. Dari ngobrol santai itulah keakraban terjalin.

“Warga di Kemiren mempunyai semboyan sak corot kopi dadi seduluran, yang artinya dari seteko kopi jadilah jalinan persaudaraan. Dari sekadar ngobrol santai, rasa persaudaraan pun bisa tumbuh,” jelasnya.

Tamu disambut hangat

Karena adanya budaya ngopi di masyarakat Kemiren menjadi alasan mengapa di desa tersebut tak ditemukan kedai atau warung kopi. Karena untuk apa mencari kopi di kedai kalau bisa ngopi di rumah sendiri atau rumah tetangga.

Samsudin Adlawi, budayawan Banyuwangi menuturkan warga Using Kemiren menghidupkan filosofi gupuh, lungguh, suguh saat menghadapi tamu yang datang ke rumah mereka.

 View this post on Instagram 

A post shared by Semanggi (@semangatbanyuwangi)

 ">Mencicipi Kenikmatan Kopi Apek, Kedai Legendaris dari Kota Medan

Disebutkannya setiap tamu yang datang akan disambut hangat, dipersilahkan duduk nyaman, dan pemilik rumah akan menyiapkan kopi terbaik mereka. Kopi ibarat suguhan wajib kepada para tamu.

“Bagi orang Kemiren, tamu harus disambut dengan kopi. Kalau tamu minta teh, berarti dia sedang tidak fit,” ucapnya

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini