Rasa Basa dalam Kakawin Udyalaka, Analisis Semiotika

Rasa Basa dalam Kakawin Udyalaka, Analisis Semiotika
info gambar utama

Bali merupakan salah satu dari pulau di Indonesia yang memiliki banyak kebudayaan. Hal ini menjadikan Bali sebagai pulau yang diminati wisatawan asing karena culture atau budayanya yang adi luhung. Lestarinya sastra-sastra di Bali dibuktikan dengan masih banyak kraton-kraton di Bali yang menyimpan pustaka candi sastra leluhur, adanhya pesraman yang menjadi tempat untuk belajar tentang tradisi lisan maupun ragam kebudayaan, dan tentunya ditunjang dengan tradisi surat-menyurat yang sampai saat ini masih terjaga.

Tradisi nyurat di atas daun lontar atau daun siwalan rata-rata berbentuk tutur, kakawin, parwa, babad, dan masih banyak lagi. Kesemua ini menggunakan aksara Bali dan bahasa Jawa yang masih tetap lestari di Bali. Bahkan, Zoutmulder dalam bukunya yang berjudul Kalangwan menuliskan, “Kita berterima kasih kepada Bali, karena sampai detik ini bahasa Jawa Kuno masih digunakan”.

Bahasa Jawa Kuna merupakan salah satu bahasa yang masih digunakan di Bali dalam pementasan yang lakonnya berhubungan dengan kejawakunaan. Produk di Sastra Jawa Kuna salah satunya adalah kakawin. Dalam bahasa Jawa Kuna, kakawin berasal dari kata kawi yang mengalami afiksasi, yaitu mendapatkan prefiks ka- dan sufiks -en. Selanjutnya, vokal e pada sufiks -en luluh karena mengalami persandian dengan vokal i pada kawin sehingga membentuk kata kakawin.

Dalam tulisan ini, kita akan membahas tentang kakawin Udyalaka dari segi analisis struktural dan semiotika.

9 Pantangan Adat Jawa Kuno yang Tak Boleh Dilanggar

Rasa-Basa

Unsur artistik yang dapat memperindah dan meningkatkan kualitas estetik kakawin. Alamkara dapat berupa permainan bunyi yang disebut sabdalamkara dan dapat berupa permainan arti kata atau yang disebut dengan arthalamkara (Hooykaas, 1958:34 dalam Telah Sastra kakawin, Suarka: 2012). Dalam Kakawin Udyalaka, terdapat permainan kata dan bunyi yang sangat membuat kakawin ini tertantang untuk mengkaji maupun mengapresiasi dalam hal menyanyikan (nembang).

Padantayamaka atau permainan bunyi berupa pengulangan suku kata atau kata-kata di akhir baris dalam satu bait kakawin. Ditemukan kata yang tergolong ke dalam Padantayamaka, yaitu; sobha-sobhita; umahas-ahas; melik-elik; pinalar-alar; aharep-arep; anglara-lara; sinara-nara; sadadi-dadi. Terdapat 2 bait yang bagiannya paling banyak termasuk padantayamaka, yaitu pada bait ke 9 dan 45.

Wirama Jagaddhita


Hrik ning cataka dharpa yeka sumarab anicipi ri rarab nikang rereb,
asrang wangsulan ing khidangniya makucang-kucang angidan-idan ya tut
hiring,
marsaniyan asiwo-siwo swin sumahon trena karenan amet prayantyanan,
mwang tang tinggalan angklung oneng arenah mangaring-aring awor
tinggalin.
Kakawin Udyalaka, Pupuh ke-9


Wirama Sragdhara


Omrakryan sih anamatha ring aharep-arep ing ahayu rakryan ing tilam,
Sangshara ngwang akung tinalyan i lulut leleh luh nirantara,
Bhranta tibra kedha ndatan palipuran turida ripangawesa ning smara,
Lulwi tan lali lolya lot lalita anglara-lara lara tan sameng lara.
Kakawin Udyalaka, pupuh ke-45.

Permainan arti kata dalam Kakawin Udyalaka sangatlah variatif. Pada pupuh ke-14 bagian pangumbang dan pamada, terdapat kata “ring rupa dibya-ayu tar papadhe ri yar ton, lwir wimba ning wulan awa gumawang wisudha”. Di mana jika ditelaah pada bagian pangumbang tersebut, tergolong ke dalam rupaka atau metafora yang mengagungkan rupa beliau yang bijaksana, bagaikan seperti bulan yang bersinar nan bersih.

Inggris Serahkan 120 Manuskrip Jawa Kuno Digital ke Pemda DIY

Dwija Swara: Janji Palsu

Mwang adwaya ya adwaya jnyana nirasraya rika riwekasniya ya prihen,
Niraksara nirartha nispreha ya ta kangenangenan I sandining tutur,
Sasangka dhika tan pawastu ati sobhita tinama rahayu nindita,
Rikan sarana asrayeka wekasing samaya wimuni de dwija swara
Kakawin Udyalaka, Pupuh ke-54.

Petikan dari kakawin Udyalaka di atas merupakan salah satu bentuk mimesis. Di mana mimesis merupakan bentuk sastra merupakan bentuk tiruan kehidupan manusia. Niraksara, Nirartha, dan Nirpreha menjadi kehakikian keadaan di masa sekarang. Adanya cinta buta pada smara nala atau api asmara memang terjadi demikian. Tindakan yang tak sesuai sastra; perbuatan yang tak berguna; tidak mengontrol diri dengan baik sering kali menjadi alat janji.

Janji-janji palsu yang terucap yang tidak dipikirkan sebelumnya sudah barang tentu berasal dari orang-orang yang pintar, tidak mungkin tidak.

Adwaya, Jnyana, Nirasraya, menjadi kesatuan yang utuh sebagai pembuktian di masa sekarang bahwasannya orang-orang yang berintelek, yang memiliki kebebasan atau kekuasaan yang tinggi dan kepintaran yang tunggal kerap menggunakan usaha tersebut sebagai perbuatan tercela dalam melakukan asmara atau cinta.

Perilaku demikian dilukiskan seperti bulan “Sasangka” yang sudah bersinar terang dalam hal ini memiliki kepintaran di atas rata-rata. Namun, digunakan untuk perbuatan yang tidak baik, sehingga menghasilkan
tanggapan orang kepada kita ke hal yang negatif. Bahkan, bisa sampai menimbulkan kutukan.

Tiruan kehidupan manusia yang terdapat dalam sastra Kakawin Udyalaka terdapat pada topik khusus tentang asmara atau cinta. Kakawin Udyalaka memberikan bukti bahwasannya kakawin selain sebagai produk berbahasa Jawa Kuna juga sebagai acuan kehidupan yang dapat diamalkan dalam kehidupan di dunia.

Memeluk Budaya Jawa: Ajaran Sestradi dalam Naskah Kuno Puro Pakualaman

Luh Nirantara Menempuh Smara

Semara atau kung yang diceritakan pada Kakawin Udyalaka berjalan dengan kesedihan. Luh yang berarti air dan Nirantara berarti tak berhenti. Maka dari itu, Luh Nirantari berarti Air yang tak berhenti berjatuhan.

Hipotesa penulis pada awalnya beranggapan Luh Nirantara sebagai nama tokoh atau mungkin nama dari pengarang Kakawin Udyalaka. Keterbatasan kosakata bahasa Jawa Kuna menjadi latar belakang dari
hipotesa awal ini. Lembar-demi lembar dalam kamus Jawa Kuno, Zoutmulder, pun dibuka hingga ditemukan bahwasannya Luh Nirantara bukan nama tokoh, melainkan arti dari air yang tak berhenti berjatuhan.

Dalam kakawin Udyalaka “smara” dikisahkan dengan kesedihan. “Matya cihna karas pangapti rasa-bhasa laraning anahen lara hati, kingking tibra kedha ndatan kalawanan tewas apuhara luh nirantara.” Kata “kingking” yang berarti kesedihan yang berlarut menjelaskan bahwa keadaan smara yang terjadi dalam kakawin Udyalaka tidaklah mulus. Banyak terdapat kontur yang berjeriji yang membuat smara itu nirantara.

Kakawin Udyalaka sangat menantang dari segi kosabahasa untuk di analisis secara struktural. Pembendaharaan kata bahasa Jawa Kuna yang menggunakan Sabdalamkara sangat menghipnotis pembaca untuk dapat mengapresiasi kakawin ini. Pandangan hidup terhadap janji, cinta, dan perilaku termuat dalam kakawin ini, sangat penting untuk dikaji lebih dalam agar amanat dapat lebih dalam.

Sudah barang tentu, perlu diamalkan ke dalam kehidupan sehari-hari agar terciptanya “lulut kung” terikat cinta terhadap apapun objeknya, jika sudah dilandaskan dengan cinta pasti akan berjalan dengan tulus. Ditambah dengan penggunaan Rasa-Bhasa di setiap perkataan, pikiran, maupun perbuatan.

Menimbang perasaan dan bahasa dalam kata, ucap, dan laku dalam melakukan aktivitas, maka angelu lara
tidak akan terjadi.

Sumber:

  • Suarka, I. N. (2009). Telaah sastra kakawin: sebuah pengantar. Pustaka Larasan.
  • Sudiana, M. (n.d.). Salinan Lontar Candha Wretta Sancaya.
  • Zoetmulder, P.J. (n.d.). Kamus JAWA KUNA INDONESIA. PT Gramedia Pustaka Utama
    Jakarta
  • (n.d.). KBBI Daring. Retrieved October 17, 2023, from https://kbbi.kemdikbud.go.id

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

IH
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini