Meriam Bleguran, Tradisi Ngabuburit Remaja Betawi Sejak Zaman Kompeni

Meriam Bleguran, Tradisi Ngabuburit Remaja Betawi Sejak Zaman Kompeni
info gambar utama

Saat bulan Ramadan, banyak aktivitas yang dilakukan oleh warga untuk menanti azan Magrib. Kegiatan ngabuburit ini biasanya diisi dengan berburu takjil, pergi ke masjid, hingga bermain di taman.

Di Jakarta, dulu ada sebuah tradisi bermain yang disebut dengan bleguran. Kegiatan yang dilakukan sambil menunggu azan Magrib ini adalah permainan anak-anak dengan bambu besar berkarbit untuk mendapatkan suara dentuman mirip meriam, namun tanpa peluru.

Sejarawan, JJ Rizal menceritakan sekitar tahun 1970-an, warga Jakarta lebih memilih menunggu waktu berbuka puasa dengan melakukan aktivitas sembahyang di rumah atau kegiatan berkelompok bersama warga kampung.

Berburu Mie Glosor, Kuliner Khas Bogor yang Hanya Muncul ketika Ramadan

“Ya ada, jadi walaupun ada yang bilang tidur saja lebih baik daripada menimbulkan dosa gitu ya, tapi ngabuburit itu bisa dilakukan macam-macam. Misalnya, dulu ada ngabuburit digunakan untuk menyiapkan aneka macam permainan. Misal para remaja mempersiapkan permainan bleguran begitu ya,” ujar Rizal yang dimuat Kompas.

Rizal mengatakan para remaja menjelang berbuka puasa akan pergi ke kebun untuk mencari bambu kentung atau bambu yang mempunyai rongga besar. Bambu itu kemudian dimasukan karbit lalu disundur.

“Biasanya nanti akan dibawa malam hari. Bleguran juga sering disebut meriam sundut,” lanjutnya.

Dari awal Batavia

Dinukil dari Sejarahjakarta.com, permainan bleguran ini ternyata berasal dari sejarah panjang kota Jakarta. Kota yang dahulunya bernama Batavia ini merayakan ulang tahunnya dengan menembakkan meriam-meriam di benteng.

“Di Batavia, begitu nama Jayakarta diubah secara resmi mulai 1621, saben 30 Mei yang diputuskan menjadi hari ulang tahun kota pusat kekuasaan Kompeni itu meriam-meriam benteng pun disundut: blegur blegur!.” tulis JJ Rizal dalam Bleguran.

Tradisi sundut meriam ini masih dipertahankan saat Kompeni memindahkan pusat kekuasaannya ke daerah sekitar Gambir atau disebut Weltevreden pada akhir 1800-an. Tradisi sundut meriam ini bahkan dilakukan setiap hari.

Kolaborasi Lintas Generasi: Google Indonesia Hadirkan Nasida Ria dan JKT48

Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch (1830-1834) saat itu memerintahkan menembakkan meriam sebagai tanda pergantian pasukan jaga benteng setiap jam delapan malam dan lima pagi. Penghuni kota menjadikannya penunjuk waktu.

“Saat itu orang-orang mencocokan jam. Kalau malam pasti jam delapan dan kalau subuh pasti jam lima. Patokannya tepat. Tidak akan meleset,” jelasnya.

Dikenang warga

Tetapi pada awal 1903, tradisi menembakan meriam dihentikan karena dianggap pemborosan. Warga saat itu protes karena kehilangan patokan waktu. Protes yang tak didengar membuat warga Betawi mengadaptasinya dalam sebuah permainan.

“Mereka manifestasikan dalam bentuk permainan bleguran. Muncul pada saat-saat menjelang bulan puasa sampai tiba hari Lebaran, di mana soal waktu menjadi begitu istimewa,” paparnya.

Dikatakan oleh Rizal, walau berbentuk seperti meriam dan menghasilkan suara yang keras, bleguran tak berbahaya. Para remaja dan warga kampung lainnya akan berkumpul dan menikmati keceriaan membunyikan bleguran bersama.

Penting Diketahui, Ini 6 Manfaat Puasa Bagi Tubuh

Tetapi, pada masa ini, tradisi bermain bleguran sudah semakin ditinggalkan dan nyaris hilang. Banyak faktor yang menyebabkan tradisi ini hilang, salah satunya kurangnya lahan terbuka di Jakarta.

“Saya berharap, budaya-budaya semacam ini dibangkitkan kembali. Sehingga nantinya dapat menjadi salah satu bentuk pelestarian atraksi budaya masa lalu warga Jakarta yang dapat menarik minat wisatawan,” ucapnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini