Kebijakan Gelap Masa Lalu, Kebijakan Eksil Bisa Kembali Terjadi di Indonesia?

Kebijakan Gelap Masa Lalu, Kebijakan Eksil Bisa Kembali Terjadi di Indonesia?
info gambar utama

Dalam sejarah politik modern, kebijakan eksil telah digunakan oleh beberapa rezim untuk mengurangi pengaruh dan keberadaan oposisi politik. Eksil, yang secara sederhana dapat diartikan sebagai pengasingan atau pencabutan kewarganegaraan dari individu oleh pemerintah, merupakan taktik yang menimbulkan banyak pertanyaan tentang hak asasi manusia dan keadilan politik.

Salah satu contoh yang paling menggugah dari praktik ini terjadi di Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Soeharto. Pasca pergolakan politik tahun 1965, sejumlah mahasiswa dan aktivis yang berada di luar negeri dilarang untuk kembali ke tanah air. Pemerintah saat itu melihat mereka sebagai ancaman terhadap stabilitas dan keutuhan negara. Akibatnya, banyak dari mereka yang kehilangan kewarganegaraan dan terpaksa hidup dalam pengasingan.

Kebijakan semacam ini tidak hanya menghapus hak-hak dasar individu sebagai warga negara, tetapi juga memutuskan mereka dari akar budaya dan sosial mereka. Dampaknya lebih dari sekedar fisik, eksil menciptakan luka psikologis dan kehilangan identitas yang mendalam.

Film 'Eksil', Visualkan Rasa dan Dampak yang Dialami Para Individu Eksil

Film dokumenter yang disutradarai oleh Lola Amaria pada tahun 2022 dengan judul “Eksil” menyoroti penderitaan dan dilema yang dihadapi oleh para eksil Indonesia, menunjukkan betapa kebijakan ini tidak hanya mengubah nasib individu, tetapi juga keluarga mereka.

Hanya dalam kurun waktu 1 jam 59 menit, beliau berhasil menyuguhkan kisah-kisah pribadi yang mengharukan tentang para mahasiswa Indonesia yang terjebak di negeri orang setelah pemerintahan Soeharto melarang mereka kembali ke Indonesia pasca pergolakan politik tahun 1965.

Melihat Masa Depan Hukum Politik Indonesia (Survei Optimisme Generasi Muda 2023)

Melalui perjalanan hidup mereka yang penuh pengorbanan, penderitaan, dan kesepian, film ini mengungkap bagaimana dilema pencabutan status kewarganegaraan dapat mempengaruhi individu secara mendalam.

Namun, apakah semua penderitaan yang diilustrasikan dalam karya ini sepadan dengan pertimbangan rasional sang pemilik kuasa tertinggi di masanya?

Eksil di Masa Kini

Di era modern, eksil dan taktik serupa mungkin dipertimbangkan kembali sebagai alat untuk menangani ancaman yang dianggap sangat serius, seperti terorisme. Pencabutan kewarganegaraan dari warga negara yang terlibat dengan kelompok teror seperti ISIS menjadi subjek debat sengit.

ISIS, sebuah kelompok yang berusaha mendirikan khilafah Islam di Mediterania Timur, telah diakui sebagai ancaman global dan bertentangan dengan nilai-nilai internasional mengenai hak asasi manusia dan keadilan.

Dari sudut pandang negara kita, bergabung dengan ISIS dapat dikategorisasikan sebagai pelanggaran hukum sekaligus bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, aturan perundang-undangan, juga norma yang diselenggarakan dalam masyarakat.

Hanifah Azizah: Merintis Wadah Belajar Hukum Online dan Menginspirasi Melalui Media Sosial

Cita-cita Indonesia yang ingin mewujudkan perdamaian dunia mendorong keterlibatan negara ini dalam penanggulangan kelompok terorisme yang membawa guncangan terhadap stabilitas keamanan nasional. Kondisi serupa mampu dirasakan oleh sejumlah negara di berbagai belahan dunia, sehingga terbentuk kerja sama dari masyarakat global untuk menanggulangi kelompok terorisme tersebut.

Indonesia, dalam konteks ini, menghadapi dilema yang sulit. Di satu sisi, ada kebutuhan untuk menjaga keamanan nasional dan mencegah warga negara dari berpartisipasi dalam aktivitas yang mengancam kestabilan baik nasional maupun internasional.

Di sisi lain, penggunaan eksil atau pencabutan kewarganegaraan harus tetap mematuhi prinsip-prinsip hak asasi manusia. Pasal 23 Undang-Undang Kewarganegaraan Indonesia memang memberikan dasar hukum untuk tindakan ini dalam kasus tertentu, tetapi isinya yang ambigu memerlukan klasifikasi lebih lanjut agar tidak disalahgunakan.

Itu sebabnya, menurut saya, penggunaan kebijakan eksil merupakan penanggulangan yang dapat dinyatakan sebagai tindakan terburu-buru dengan kerugian yang tidak setimpal. Eksil, dalam konteks represi politik, dapat dianggap sebagai kebijakan yang kejam dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM). Sebab, melibatkan pemisahan paksa dan penghilangan identitas dan hak.

Apabila eksil diberlakukan lagi di masa sekarang, maka mampu menciptakan spekulasi besar penggunaan eksil sebagai alat kekuasaan sebagaimana diterapkan oleh rezim orde baru. Kebijakan ini dapat disalahpahami sebagai alat penguasa untuk menghilangkan oposisi dan memperkuat kontrol politik.

Dalam menerapkan kebijakan semacam ini, penting bagi Indonesia untuk mencari keseimbangan antara keamanan dan hak asasi manusia. Keputusan untuk menerapkan eksil harus dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan transparan, memastikan bahwa setiap tindakan dapat dipertanggungjawabkan dan tidak merugikan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan dan keadilan.

Penggunaan eksil sebagai kebijakan politik adalah tindakan yang berpotensi berbahaya dan harus didekati dengan hati-hati. Sejarah telah menunjukkan bahwa eksil sering kali lebih menjadi alat represi daripada alat perlindungan. Memastikan bahwa tindakan semacam ini tidak mengulangi kesalahan masa lalu adalah tanggung jawab tidak hanya pemerintah, tetapi juga masyarakat sipil untuk mengawasi dan menuntut transparansi dan keadilan dalam semua tindakan kebijakan.

Konsolidasi Hukum Adat Masyarakat Manggarai; Relevansi UUD 1945

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

GG
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini