Tari Turonggo Yakso, Bukan Tarian Mistis, Hadir sebagai Wujud Syukur dan Simbol Agraris

Tari Turonggo Yakso, Bukan Tarian Mistis, Hadir sebagai Wujud Syukur dan Simbol Agraris
info gambar utama

Akhir-akhir ini sering diperbincangkan bahwa hal-hal yang berbau tradisi seolah-olah dianggap sesuatu yang klenik atau mistis. Bagaimana bisa seperti itu? Tentu hal ini dapat diperbincangkan ulang karena kemunculan film-film horor yang mengeksploitasi sisi tradisi menjadi suatu yang mistis. Anggapan ini akhirnya menciutkan esensi dari kesenian tradisi yang sakral dan penuh filosofi.

Kesenian di daerah tertentu bisa jadi hadir sebagai simbol gambaran atau karakteristik daerah tersebut. Produk kesenian yang lahir akhirnya menjadi representatif daerah, yang nantinya dipromosikan ke khalayak dunia. Seperti tari, semiotika gerak tari adalah gambaran lain dari bentuk narasi tertulis maupun lisan. Sedangkan karya tari, merupakan penanda peristiwa atau zaman.

Sama juga dengan tari turangga yakso, tarian yang berasal dari Trenggalek, Jawa Timur. Kehadirannya, muncul pasca terjadinya wabah atau pageblug. Kesenian tradisi ini sedang naik daun, setelah kemunculannya di film Sinden Gaib.

Film yang hadir di bioskop pada pertengahan Februari 2024 ini, merupakan film bergenre horror yang berlatar di Trenggalek, tepatnya di Kecamatan Dongko. Berasal dari sinilah kesenian turangga yakso juga lahir. Maka, tidak heran jika turangga yakso dimunculkan juga dalam film dan masuk menjadi salah satu jalan ceritanya.

Terkisah film Sinden Gaib berasal dari kisah nyata. Namun, terlepas dari itu semoga tidak semakin menipiskan esensi dari tari turangga yakso itu sendiri. Mari menilik bagaimana tari turangga yakso akhirnya menjadi kesenian tradisi yang dibanggakan dan menjadi icon Kota Trenggalek.

Turonggo Yakso: Jaranan Berkepala Buto dari Dongko

Lahirnya Turangga Yakso di Tanah Agraris

Trenggalek terbagi menjadi dua bagian wilayah geografis, yaitu wilayah agraris dan pesisir. Kecamatan Dongko merupakan wilayah dengan sektor agraris, kontur lokasi pegunungan inilah yang mengilhami lahirnya turangga yakso.

Dahulu kala, di Kecamatan Dongko pernah mengalami pagebluk kekeringan secara terus menerus. Kekeringan yang terjadi berdampak pada sawah yang tidak bisa menumbuhkan padi sebagai bahan pangan utama, sehingga tidak ada bahan makanan dan panen yang bisa menghidupi seluruh masyarakat. Selain sektor pertanian, hewan-hewan ternak seperti sapi, kambing, dan kerbau juga terkena wabah penyakit sehingga banyak yang tewas di kandang.

Menurut cerita tutur dari tetua, hal ini disebabkan karena masyarakat tidak melakukan ritual atau upacara syukur selama beberapa tahun. Biasanya, setelah panen masyarakat mengadakan upacara ritual baritan (bar Ngarit-tanduran). Upacara ini sebagai simbol rasa syukur melalui hubungan religius secara vertikal kepada sang gusti maha pemberi, dan wujud hormat kepada nenek moyang. Ritual baritan juga sebagai wujud keselarasan antar masyarakat secara horizontal.

Upacara atas rasa syukur atas kelimpahan hasil bumi ini disimbolkan dengan cara menyajikan uba rampe atau sesaji sebagai prasyarat. Uba rampe beserta tumpengan ini nantinya akan disajikan dan disantap secara bersama-sama.

Terlepas dari yang dikatakan syirik atau apapun, sebenarnya upacara ini digunakan sebagai sarana ‘pengingat’ bahwa kita tidak bisa mengabaikan rasa syukur. Setelah mengalami pagebluk, masyarakat Dongko rutin mengadakan upacara baritan yang biasanya diadakan tiap bulan Suro atau Muharram.

Kelahiran kembali upacara baritan, setelah bertahun-tahun tidak diadakan ini akhirnya memunculkan kesenian turangga yakso, supaya masyarakat bisa datang menjadi saksi upacara dan mengenal kesenian tradisi baru. Baritan dikreasikan dengan tambahan kesenian turangga yakso. Sebuah Kesenian yang banyak disebut sebagai jathilan atau jaranan.

Inilah Pencipta Jaranan Turangga Yaksa dari Trenggalek

Unsur Semiotika pada Turangga Yakso

Kesenian turangga yakso terilhami dari cerita-cerita Panji, yang mirip dengan kota-kota di sekitar Trenggalek, seperti Kediri dan Tulungagung. Namun, penampakan turangga yakso sedikit berbeda. Turangga yakso dikenal sebagai jaranan Buto, versi cerita dan geraknya diselaraskan dengan cerita di balik Baritan.

Gerakan dari turangga yakso merupakan gambaran seorang petani dalam tokoh ksatria. Gerakan tari yang meliuk-liuk, menunduk dan bersujud seakan menghormati pada sang penguasa, saat diam dan bersujud lalu muncul tokoh mengapit properti celeng, dan sosok tinggi besar yang menakutkan.

Tokoh tersebut gambaran tokoh jahat yang diperankan oleh celeng (babi hutan) dan barong. Tokoh ini mengganggu kedamaian umat manusia atau merusak lahan petani.

Gerakan yang tercermin pada turangga yakso memvisualisasikan petani yang bertanam, mencangkul, dan panen. Gerakannya yang sigrak dan cepat sebagai gambaran sifat yang tegas, berani, dan cekatan.

Cerita turangga yakso mengisahkan proses menangkas keangkaramurkaan, di mana kekuatan hawa nafsu (jahat) akan dikalahkan oleh kebaikan.

Menilik dari lahirnya turangga yakso, yang terilhami dari kebudayaan sarat filosofis, semoga maknanya tidak bergeser menjadi sesuatu yang dianggap klenik atau mistis saja. Masyarakat juga dapat melihat nilai-nilai luhur dari kesenian ini.

Sumber

  • https://dongko-dongko.trenggalekkab.go.id/first/artikel/41-Asal-usul-Jaranan-Turonggo-Yakso
  • https://repository.uin-malang.ac.id/13172/

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

RP
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini