Bullying di Ranah Pendidikan, Jangan Urung Adukan si Perundung

Bullying di Ranah Pendidikan, Jangan Urung Adukan si Perundung
info gambar utama

Pernahkah melihat anak yang berperilaku murung atau menutup diri dari orang lain? Seorang anak yang terdampak kasus bullying biasanya mulai menunjukkan perubahan yang mendalam. Misalnya, sebelumnya mereka adalah sosok yang ceria dan aktif. Namun, pada satu waktu akibat dari bullying yang terjadi, perubahan sikap mulai terlihat seperti lebih tertutup, menghindari interaksi sosial, dan sering terlihat menyendiri.

Selain berakibat pada potensi akademik yang menurun, seorang anak terdampak bullying memiliki rasa takut dan kecemasan yang menghantui pikiran mereka setiap hari. Bahkan di rumah, tempat yang seharusnya menjadi benteng terakhir dari rasa aman, mereka cenderung terlihat lebih mudah marah, sedih, atau bahkan menarik diri dari anggota keluarga.

Kondisi ini bukan hanya merugikan dari segi emosional dan psikologis, tetapi juga dapat membawa dampak jangka panjang pada perkembangan kepribadian dan kepercayaan diri mereka.

Permasalahan bullying atau perundungan di Indonesia masih terus menjadi sorotan, terutama dalam konteks Hari Pendidikan Nasional yang dirayakan setiap tahun ini seharusnya mencerminkan kemajuan dalam sistem pendidikan dan budaya empati di kalangan pelajar.

Meskipun banyak langkah telah diambil, masih ada kesenjangan yang perlu ditempuh untuk menghapuskan bullying sepenuhnya dari sekolah-sekolah dan lingkungan sosial.

Cegah Perundungan di Sekolah, 104.870 Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Dibentuk

Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menunjukkan bahwa kasus bullying masih sangat memprihatinkan, khususnya di lingkungan sekolah. Sekitar 3.800 kasus perundungan terjadi di Indonesia pada tahun 2023, dan hampir 50% dari kasus tersebut terjadi di institusi pendidikan.

Jenis bullying yang sering dialami korban ialah bullying fisik (55,5%), verbal (29,3%), dan psikologis (15,2%). Sedangkan untuk tingkat jenjang pendidikan, siswa SD menjadi korban bullying terbanyak (26%), diikuti siswa SMP (25%), dan siswa SMA (18,75%). Menurut UNICEF, bullying dapat diidentifikasi melalui tiga ciri, yaitu dilakukan dengan sengaja (untuk menyakiti), terjadi secara berulang-ulang, dan ada perbedaan kekuasaan.

Seorang pelaku bullying memang bermaksud untuk menyakiti korbannya, baik secara fisik ataupun psikis. Oleh karena itu, peran orang tua, guru maupun pemerintah sangat diperlukan dalam mengawasi dan mengedukasi anak-anak sekolah sejak dini. Mengingat bahwa tidak semua korban bullying mampu melapor. Jika hal ini terus dibiarkan, mungkin akan ada lebih banyak korban lagi yang tidak sempat untuk diselamatkan.

Pendidikan mengenai empati dan penghormatan terhadap perbedaan harus ditanamkan sejak dini, khususnya di sekolah. Kurikulum harus mencakup materi yang mendidik siswa tentang dampak negatif dari bullying serta mengajarkan keterampilan sosial yang mempromosikan keberagaman.

Pelatihan bagi guru juga tidak kalah penting untuk membantu mereka mengenali tanda-tanda bullying dan cara efektif untuk mengintervensi serta mendukung korban. Kebijakan sekolah yang jelas terkait tindakan bullying dan sanksi yang tegas terhadap pelaku juga vital untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman dan kondusif.

Selain itu, orang tua memegang peranan krusial dalam membentuk sikap dan perilaku anak. Pendidikan karakter dan nilai-nilai kemanusiaan harus dimulai dari keluarga, di mana orang tua sebagai role model anak dalam berperilaku baik. Komunikasi terbuka antara orang tua dan anak memungkinkan anak merasa nyaman untuk berbicara tentang masalah mereka, termasuk pengalaman menjadi korban atau saksi bullying.

Harmonisasi Bahasa Madura dan Permainan Tradisional untuk Mencegah Perundungan Anak

Di samping itu, orang tua juga perlu aktif memantau aktivitas anak-anak mereka, termasuk dalam penggunaan media sosial.

Saat ini, media sosial seakan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan remaja, di mana sering kali menjadi arena baru para pelaku bullying. Pendidikan digital seharusnya menjadi bagian dari kurikulum sekolah dan diajarkan dalam keluarga. Siswa atau anak perlu diajarkan tentang etika berinternet, termasuk bagaimana berinteraksi secara sehat dan memahami konsekuensi dari postingan atau komentar secara online.

Dalam hal ini, pengawasan dan kebijakan privasi oleh orang tua serta guru dapat membantu mengurangi resiko bullying secara online.

Norma sosial yang toleran terhadap perilaku agresif dan diskriminatif dapat memperburuk masalah bullying. Masyarakat juga perlu menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung, di mana setiap tindakan bullying tidak ditolerir dan dihadapi dengan tegas.

Pemerintah dapat membantu dengan menyediakan regulasi yang lebih ketat terkait tindak bullying, baik di dunia nyata maupun digital, serta mendukung program-program edukasi publik yang menekankan pentingnya keharmonisan sosial dan toleransi.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi menggandeng UNICEF Indonesia membentuk Roots untuk mengatasi tindak bullying yang semakin masif terjadi. Roots adalah program antiperundungan yang telah dikembangkan oleh UNICEF sejak 2017. Program Roots di Indonesia telah diterapkan sejak 2021.

Sejak 2021, Roots Indonesia memberi pendampingan kepada 7.369 SMP, SMA/ SMK di 489 kabupaten/ kota di 34 provinsi. Dari program tersebut, 13.754 guru juga mendapatkan penyuluhan dan pembekalan mengenai antiperundungan, dan 43.442 siswa juga mendapatkan penyuluhan antiperundungan.

Selain itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyampaikan bahwa telah melakukan sejumlah tindakan untuk mencegah dan menghentikan perundungan anak di Sekolah. Salah satu tindakan tersebut adalah mendaftar semua sekolah yang memiliki program sekolah yang ramah anak dan bebas dari kekerasan, serta menerapkan program disiplin positif di sekolah.

Pada prosesnya, program ini berkembang dan mensosialisasikan program tersebut ke 10 provinsi untuk 1.500 guru dan kepala sekolah, komite sekolah serta pengawas sekolah yang juga terlibat dengan riset pusat pembelajaran keluarga (Puspaga).

Di mana dalam hal ini, Puspaga menjadi instrumen penting bagi keluarga-keluarga untuk dapat mengatur tentang bagaimana kondisi hubungan antara anak dan orang tua, dan bagaimana dengan lingkungan sekitarnya.

Tentang Perundungan Anak di Lingkungan Sekolah dan Upaya Mengatasinya Lewat Program Roots

Mengatasi bullying adalah tanggung jawab bersama yang memerlukan kerja sama antarsemua pihak. Peringatan Hari Pendidikan Nasional menjadi momen yang tepat untuk refleksi dan komitmen bersama dalam membangun fondasi pendidikan yang tidak hanya kuat secara akademis, tetapi juga kaya dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Dengan pendidikan yang komprehensif dan kolaboratif, kita dapat mengharapkan terbentuknya generasi yang lebih empatik dan berperilaku positif terhadap sesama.

Sumber referensi:

https://sekolah.solopos.com/miris-25-persen-peserta-didik-alami-bullying-pemerintah-harus-kolaborasi-1635340

https://sekolahrelawan.org/artikel/kasus-bullying-di-sekolah-meningkat-kpai-sebut-ada-2355-kasus-pelanggaran-perlindungan-anak-selama-2023

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

BH
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini