Gelora di Ujung Jawa

Gelora di Ujung Jawa
info gambar utama
By Akhyari Hananto Saya menulis ini dari sebuah kota kecil yang tahun-tahun belakangan ini begitu sering muncul gambarnya di mention-mention twitter saya. Banyuwangi, sebuah kabupaten yang terletak di ujung timur pulau Jawa, yang ingin disebut sesuai tagline mereka, "The Sunrise of Java". Sepuluh tahun lalu, siapa yang ada Banyuwangi di benaknya? Saya ingat, waktu kecil dulu, saya pernah bertemu dengan beberapa orang yang datang dari Banyuwangi, mereka bekerja sebagai buruh penebang tebu di kebun tebu milik ayah saya. Dalam beberapa kesempatan, saya sering mencuri dengar pembicaraan mereka (semuanya menginap di rumah saya selama 3-4 malam selama proses tebang tebu), dan kebanyakan yang mereka bicarakan kebanyakan tentang hal-hal klenik. Tak sekalipun saya dengar mereka membicarakan tentang pekerjaan mereka, atau keluarga mereka di kampung, atau hal-hal lain. Pokoknya klenik saja.  Sejak itu, ketika nama Banyuwangi terlintas di pikiran saya, yang terbayang adalah para dukun, keris sakti, jimat akik, hantu, dan tempat-tempat angker.
Blue fire di kawah Ijen. Hanya ada 2 di dunia

Mengunjungi Banyuwangi untuk berwisata, tak pernah terlintas dalam benak saya. Saya sudah mengunjungi ratusan tempat dari Sabang sampai Merauke, dari Sangihe hingga Sumbawa. Kalaupun saya ke Jawa Timur, biasanya yang ke Surabaya, Malang, Batu, atau Madiun. Tidak sekalipun ingin berwisata ke Banyuwangi. Namun hal ini berubah hingga setidaknya 3 tahun lalu, saat adaaaaa saja berita tentang Banyuwangi di Twitter saya, gambar-gambar tempat wisata Banyuwangi di Facebook atau Instagram, atau di Jawa Pos. Keindahan Pulau Merah yang keemasan diterpa matahari senja, atau dahsyatnya gelombak Pantai Plengkung yang begitu memukau, hingar bingar festival jazz di pinggir pantai, hingga ribuan penari yang gemulai berlatar belakang pantai yang begitu indah. Yang paling memukau saya adalah Blue Fire di Kawah Ijen, yang konon hanya ada 2 di dunia (satunya lagi di Iceland), lalu juga Taman Nasional Baluran yang berjuluk The Little Afrika of Java. Semua terekam dan bermain-main bebas di benak saya, dan lambat laut mengikis stereotype Banyuwangi adalah kota klenik. Dan..here I am. Kini saya sedang di Banyuwangi. Sudah 2 hari ini, dan saya mendapatkan pengalaman mengesankan. Saya yakin, I am not alone. Banyak orang yang mulai tersihir dengan kampanye manis Banyuwangi yang mengemas eco-tourism dan wisata budaya secara modern tanpa melebih-lebihkan. Dan saya yakin, semua terencana dan terstruktur. Saya melihat gelora bupatinya yang penuh energi dan bervisi panjang, ingin menjadikan Banyuwangi sebagai sebuah nama yang akan selalu muncul jika seseorang terlintas tentang Jawa Timur. Bagusnya, masyarakat lokal pun begitu mendukung visi ini sambil masih terkaget-kaget betapa Banyuwangi-nya sudah begitu berubah dan berlari cepat. Garuda Indonesia dan Wings mulai terbang rutin dari Surabaya ke Banyuwangi, atau dari Denpasar ke Banyuwangi. Pengunjung mulai membanjir, baik untuk berwisata maupun untuk berbisnis.
Pulau Merah, Banyuwangi bagian selatan

"Saat ini, kami masih kalah dari Jember, tunggu 3-4 tahun lai" kata mas Mukarom, yang mengantar saya ke Pulau Merah siang tadi. Dimana-mana saya temukan stiker dan tulisan "I LOVE BWI" (BWI=Banyuwangi). Di tempat-tempat wisata, saya juga tak melihat orang-orang yang memanfaatkan membludaknya jumlah wisatawan untuk kepentingan mereka sendiri, misalnya menaikkan harga parkir semaunya, mengemis para turis, atau menjajakan barangnya dengan sedikit memaksa. Tidak, tidak saya temukan di Banyuwangi. Inilah sebuah tempat yang sedang menggelora. Dan saya beruntung berkesempatan menjadi saksinya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini