Kisah Perhiasan Nusantara

Kisah Perhiasan Nusantara
info gambar utama
Kemampuan masyarakat Nusantara dalam membuat perhiasan ditengarai sudah lebih lama dari Kebudayaan Perunggu Dong-Song yang berusia sekitar 1000 SM.  Ditemukannya topeng perunggu di Goa Made (Jawa Timur) yang berusia 3000 SM merupakan bukti bahwa kemampuan masyarakat Indonesia mengolah logam (perunggu) sudah sangat maju pada waktu itu. Sejak 500 SM, terjadi pengayaan teknik pengolahan logam di Nusantara akibat pertemuan antar budaya, Nusantara, Cina, dan India. Tidak hanya karena para pelaut Cina dan India yang datang ke Indonesia tetapi juga disebabkan oleh para pelaut Nusantara yang mampu berlayar hingga Desantara (Siam dan sekitarnya), Dwipantara (Cina dan India), Yawana (Jazirah Arab), dan Jenggi (Afrika/Madagaskar). Pengayaan semakin menjadi-jadi pada jaman Klasik, Jaman Hindu Budha. Perpaduan antara kearifan lokal dan budaya pendatang melahirkan teknik pengolahan logam yang sangat canggih pada masanya. Pada masa Islam, tidak terjadi perkembangan teknik pengolahan, karena teknik pengolahan logam sudah mencapai puncaknya. Yang terjadi adalah pengayaan corak, bentuk, dan ornamen. Demikian pula pada masa Kolonialisasi Belanda. Yang jelas, perhiasan sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat di Nusantara. Mampu mengungkapkan banyak hal, tidak hanya yang berhubungan dengan bahan dan teknik, tetapi juga latar belakang sosial, politik, budaya, dan sejarah masyarakat pada masanya. Diharapkan buku ini dapat menjadi salah satu buku yang mampu mengisi sedikit celah kekosongan informasi tentang perhiasan di Indonesia yang sangat minim. Oleh karena itu, para pecinta perhiasan tradisional, wajib mengoleksi buku Kisah Perhiasan Nusantara yang ditulis dalam dwi bahasa ini (Indonesia dan Inggris). Kalung Muse Kalung ini merupakan kalung tradisional dari daerah pulau Tanimbar, Propinsi Maluku, bagian barat daya. Berusia sekitar 100 tahun dan terbuat dari perak. Galang Gadang Berasal dari Batusangkar, Minangkabau. Masyarakat Minang menyebutnya juga dengan galang adat yang berfungsi sebagai pamaga  (pemagar) simbol dari niniak mamak yang bermakna bahwa tindak-tanduk pengguna harus sesuai aturan. Biasa digunakan pada pesta perkawinan. Berusia sekitar 100  tahun dan terbuat dari perak namun keahlian membuat gelang jenis ini ditengarai sejak abad XVI. Taiganja Taiganja berfungsi sebagai leontin yang berfungsi sebagai lambang kesuburan, kemakmuran, dan kekebalan dari  kemalangan bagi masyarakat yang tinggal di Kulawi, Sulawesi Tengah. Konon, dipercaya pula bahwa benda ini memiliki kekuatan suci, sehingga harus ditempatkan secara aman di peti harta khusus. Berusia sekitar 100 tahun dan terbuat dari kuningan. Kalung Anak Ayam Duapuluh Nama ini diduga muncul karena jumlah ornamen yang berbentuk mirip anak ayam berjumlah dua puluh buah. Terbuat dari emas dengan hiasan intan dan berusia sekitar 100 tahun dan berasal dari Sumatera Selatan. Karabu Kudung Kudung Anting khas suku Batak Karo, Sumatra Utara ini dibuat dengan teknik hias yang cukup sulit. Teknik benang logam (filigri) dan butiran logam (granulasi) terlihat sangat sempurna pada anting yang berusia sekitar 100 tahun dan terbuat dari perak ini. Riti, Knei atau Keke Gelang ini merupakan gelang khas suku Atoni (juga dikenal sebagai Atoin Meto atau Dawan) di Timor. Gelang ini bisa tampil dengan berbagai macam elemen hias di atasnya, termasuk elemen hias bunga belimbing, unggas, salib, atau mitra (topi Uskup atau  Paus yang digunakan pada perjamuan ekaristi umat Katolik Ada pendapat yang mengatakan gelang ini digunakan pula oleh penduduk di kabupaten Belu di kota Atambua yang tadinya merupakan pengungsi Timor Timor yang sekarang sudah menjadi Warga Negara Indonesia. Terbuat dari perak dan berusia sekitar 50 tahun. Bura Layang-Layang Disebut dengan layang-layang karena bentuknya yang mirip dengan layang-layang tradisional (bukan berbentuk segi empat) yang dibuat dengan teknik hias filigri dan granulasi. Kalung ini merupakan kalung khas masyarakat Batak Karo, Sumatra Utara, yang terbuat dari perak disepuh emas dengan usia sekitar 100 tahun. PandiengPandieng merupakan salah satu perhiasan pria yang berfungsi sebagai penunjuk status. Biasanya digabung dengan kain berukuran sekitar 15 – 80 cm yang disulam tangan dan dihias dengan benang emas. Gabungan antara pandieng dan kain disebut ikek pinggang. Biasanya pandieng terbuat dari kuningan, perak, dan emas. Pada foto ini, pandieng terbuat dari emas yang diperindah dengan batu rubi merah, berasal dari Bukittinggi, Sumatera Barat, berusia sekitar 100 tahun. Pending Peranakan Masyarakat Peranakan yang muncul sekitar abad XVIII, memiliki kebudayaan campuran – kebudayaan dari Cina dan kebudayaan lokal di Indonesia pada kehidupan sehari-hari. Para wanita Peranakan biasanya menggunakan sarung batik dan kebaya encim. Dilengkapi dengan berbagai perhiasan, termasuk pending yang terbuat dari perak atau emas sebagai perhiasan pinggang. Biasanya terbuat dari emas dengan teknik hias ukir dan tatah. Seperti pada pending ini, terbuat dari emas, berusia sekitar 100 tahun, dan digunakan oleh wanita Peranakan di daerah Sumatera Selatan. Sertali Layang-Layang Perhiasan ini dikenakan oleh perempuan Batak Karo pada upacara-upacara penting. Keunikan kalung ini terletak pada elemen yang bentuknya mirip tanduk kerbau yang saling membelakangi. Namun jika dilihat secara utuh elemen ini mirip dengan bentuk layang-layang tradisional (yang masih populer di Bali, dan tidak berbentuk segi empat). Diduga dari bentuk ini istilah sertali layang layang muncul. Selain itu terdapat pula elemen berbentuk mirip dengan atap rumah yang diberi nama rumah rumah. Terakhir, logam berbentuk bulat sebagai “penyambung” kedua elemen di atas yang dikenal dengan istilah lepah-lepah. Terbuat dari perak dan berusia sekitar 100 tahun. Mamuli Mamuli adalah perhiasaan terlinga khas dari Sumba, Nusatenggara Timur yang ukurannya agak besar dengan tambahan hiasan ornamen pelengkap. Bentuk dasar perhiasan ini menyerupai bentuk rahim sebagai simbol kewanitaan dan perlambangan kesuburan. Ini merupakan perlambang bahwa kedudukan perempuan di Sumba cukup istimewa. Walaupun mamuli melambangkan perempuan (feminim), namun dianggap mengandung nilai maskulinitas berdasarkan karakteristik ornanmen sekunder yang ada pada kaki mamuli. Kadang berbentuk hewan, tetapi tidak jarang berbentuk prajurit membawa tombak dan perisai. Terbuat dari perak dan berusia sekitar 100 tahun. Anting Dayak Perhiasan telingan ini biasa dipakai oleh perempuan suku Dayak Kayan dan Kenyah yang termasuk dalam rumpun Apokayan, salah satu dari enam rumpun suku Dayak di Kalimantan. Anting jenis ini digunakan oleh perempuan Dayak Kenyah dan Kayan. Masing-masing anting memiliki berat hampir 200 gram yang mengakibatkan lubang di cuping telinga semakin membesar, dan cuping telinga semakin panjang. Semakin panjang telinga seorang perempuan dianggap semakin cantik. Terbuat dari kuningan dengan usia sekitar 50 tahun. Untuk info lebih lanjut silahkan klik https://www.manjushanusantara.com

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini