Perempuan Ini Putuskan Keluar dari Amazon.com Untuk Berkontribusi di indonesia

Perempuan Ini Putuskan Keluar dari Amazon.com Untuk Berkontribusi di indonesia
info gambar utama

Semakin berkembangnya industri digital dan teknologi di Indonesia, berbagai profesi yang terkait menjadi semakin terlihat seksi. Permintaan meningkat dan industri terus menerus berinovasi. Jika dahulu tampilan situs dari sebuah perusahaan dot com sangat tidak diperhatikan karena hanya berbasis HTML sederhana, saat ini hampir seluruh tampilan digital menjadi penting dan dapat dianalisis kefektifitasannya. Pentingnya aspek tampilan tersebut tidak dapat terlepas dari para ahli-ahli User Experience Designer atau lebih populer dikenal sebagai UX designer.

Tugas dari UX designer adalah untuk memahami bagaimana desain yang dibuat mampu memberikan pengalaman penggunaan situs ataupun situs oleh user menjadi berkesan dan efektif. Kenyamanan para user untuk kembali menggunakan aplikasi maupun berkunjung kembali ke situs ditentukan oleh seberapa baik peran UX designer. Sehingga dapat dikatakan UX designer adalah sosok penting yang menjadi penentu kepuasan pengguna.

Di Indonesia sendiri belum banyak UX designer yang memiliki pengalaman secara internasional. Terlebih perkembangan UX design di Indonesia masih belum terlalu berkembang seperti di Amerika yang sudah lebih maju. Namun bukan berarti tidak ada anak bangsa yang mampu bersaing dengan tenaga kreatif di dunia Internasional. Faktanya, seorang Vina Zerlina mampu melakukannya dengan sempat menjadi UX designer untuk Amazon.com sebuah perusahaan e-commerce yang lini bisnisnya terus menerus melebat ibarat hutan Amazon.

Seperti dikutip dari Ziliun.com, Vina Zerlina pulang ke Indonesia dan menjadi Senior UX Designer disalah satu situs jual beli online di Indonesia. Vina menuturkan bahwa dirinya sudah menggemari dunia desain grafis sejak masa SMA. Saat itu dirinya banyak mengerjakan desain poster hingga desain situs. Namun entah mengapa saat memasuki dunia kuliah, Vina mengambil jurusan Teknik Industri di Purdue University, Indiana, Amerika Serikat. Menurutnya, itu terjadi karena Vina ingin mencoba sesuatu yang baru.

Vina Zerlina, (Foto: Vina Zerlina, LinkedIn)
info gambar

Pilihan tersebut akhirnya malah membuat perempuan bernama lengkap Fransisca Vina Zerlina tersebut kesulitan mendalami kuliahnya. Sebab ternyata memang bidang tersebut bukan keunggulan dan passion-nya. Hingga kemudian Vina mengambil kuliah minor, kelas Computer Science. Meski baginya bidang tersebut menyenangkan, namun perempuan yang juga lulusan Master di University of Washington tersebut mengaku tidak betah bila harus bekerja berlama-lama seperti pengembang perangkat lunak ataupun programmer. Hingga akhirnya Vina mendapatkan momen penting ketika mendapat tugas research lab dengan mendesain sebuah situs.

Situs tersebut dibangun Vina dengan fitur utama berupa perhitungan kalori dan pelacakan keseimbangan kalori dari pengguna. Perhitungan tersebut dilakukan dengan data-data yang diberikan oleh user seperti makanan yang dikonsumsi dan intensitas aktivitas berolahraga.

Ketika situs buatan Vina tersebut usai dan diujikan pada pengguna, ternyata para pengguna yang kebanyakan adalah anggota club kebugaran tersebut tidak memahami bagaimana menggunakannya. Apa yang telah didesain Vina ternyata tidak dapat dipahami oleh user. Momen itulah yang kemudian membuat desainnya benar-benar gagal dan menyadari bahwa desain itu tidak hanya tentang penampilannya yang menarik namun juga harus dapat digunakan atau usable.

“If the user can not figure out the design, it’s not usable,” ujarnya. Sejak saat itu Vina mulai mendalami bidang UX design. Sebuah disiplin yang menurutnya merupakan dasar dari bidang desain, sebuak aspek fundamental. Sebab UX desain sendiri memang harus menjadi dasar dari setiap produk yang nantinya ditawarkan atau dijual pada pengguna.

Perjalanan Vina berkarir di bidang UX design bermula ketika dirinya menjalani program magang di Amazon.com pada tahun 2011. Hingga akhirnya direkrut oleh perusahaan teknologi yang berbasis di Seattle, Washington tersebut pada tahun 2013. Namun tidak sampai dua tahun bekerja, Vina memutuskan untuk kembali ke Indonesia.

Alasan yang mendasari kembalinya Vina ke Indonesia adalah karena menurutnya perkembangan aplikasi di Amerika sudah terlalu pesat. Infrastruktur, fasilitas dan produk di negeri paman sam tersebut sudah sangat maju secara teknologi sehingga tidak banyak masalah mendasar yang dapat dikembangkan melalui aplikasi. Tidak heran bila kemudian aplikasi yang banyak dikembangkan disana adalah aplikasi-aplikasi yang bersifat tersier atau sekedar hiburan.

Vina Zerlina saat menjadi mentor di Startup Weekend Jakarta, (Foto: Ziliun.com)
info gambar

“Di US itu, kalau dari segi produk dan desain, mereka udah sampai tahap di mana gak ada aplikasi atau produk lagi yang dikembangkan untuk menyelesaikan primary issues. Kalau mau bikin aplikasi baru, ya untuk menyelesaikan kebutuhan tersier,” kata Vina seperti dikutip dari Ziliun.com.

Vina merasa bahwa pengalamannya bekerja di perusahaan teknologi di Amerika lebih bisa diterapkan di Indonesia selain dapat membawa ilmunya untuk industri digital dalam perannya membangun masyarakat dan komunitas. Dirinya ingin bisa berkontribusi untuk kampung halamannya.

Menurut Vina, selain dunia UX design secara khusus, terdapat hal lain di Indonesia yang juga harus diubah. Seperti pola pikir pekerja perusahaan teknologi di Indonesia yang kurang memliki sense of ownership atau rasa memiliki.

“It doesn’t matter if you’re a founder, developer, or designer. Lo harus merasa kalau gue gak do my best, produk ini bakal gagal,” jelas Vina.

Hal tersebut bukan tanpa alasan, sebab berdasarkan pengalaman Vina di Amazon.com, dirinya mengamati bahwa ternyata karyawan di sana mulai tingkat terbawah merasa bahwa peran mereka adalah penting bagi perusahaan. Itu terjadi karena mereka banyak diberi kesempatan untuk membangun dan membuat proyek pribadi yang tetap terkait dengan perusahaan. Sementara, banyak pekerja di perusahaan Indonesia, masih banyak yang punya mindset cuek dan kurang peduli. Terlebih, juga banyak yang hanya mengekor saja dengan atasan.

Kembalinya Vina ke Indonesia tentunya tidak hanya memberikan pandangan baru tentang budaya bekerja namun juga dapat memperkaya pengetahuan industri teknologi dan digital. Itulah mengapa Vina merasa keahliannya sebagai UX designer akan lebih bermanfaat jika diaplikasikan di Indonesia.

“Ada banyak hal tentang UX yang gak bisa didapat cuma dari baca artikel. Ada banyak hal yang hanya bisa didapat dari pengalaman bekerja dalam tim dan perusahaan yang infrastruktur desainnya oke,” kata Vina

Sumber : Ziliun.com

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

BR
RG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini