Menjadi Garda Terdepan Lingkungan, Tiga Komunitas ini Terima Penghargaan PBB

Menjadi Garda Terdepan Lingkungan, Tiga Komunitas ini Terima Penghargaan PBB
info gambar utama

Tiga komunitas lingkungan yaitu Komunitas Adat Muara Tae, Forum Masyarakat Adat Dataran Tinggi Borneo (Formadat), dan Komunitas Peduli Lingkungan Belitung (KPLB) meraih penghargaan pelestarian lingkungan tingkat internasional, Equator yang diberikan oleh Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) .

Tiga Komunitas Lingkungan Indonesia Terima Penghargaan
info gambar

UNDP memberikan penghargaan kepada ketiganya kemarin yang diserahkan langsung oleh Country Director UNDP di Indonesia Christophe Bahuet, Duta Besar Norwegia untuk Indonesia Stig Traavik, dan Sustainable Development Goals (SDGs) Mover UNDP Indonesia Reza Rahardian.

Masuknya tiga perwakilan Indonesia dalam daftar pemenang penghargaan menjadi kebanggaan tersendiri karena 18 komunitas lain yang memenangkan penghargaan ini berasal dari 16 negara berbeda. Artinya, rata-rata negara hanya diwakili oleh satu komunitas. Hanya Indonesia yang punya tiga wakil di daftar pemenang.


Penghargaan Equator diberikan kepada komunitas lokal dan masyarakat adat di seluruh dunia yang melakukan berbagai inisiatif dalam mendukung pembangunan berkelanjutan. Komunitas-komunitas tersebut meraih penghargaan atas peran mereka di garda terdepan dalam melakukan konservasi lingkungan, pengentasan kemiskinan, serta penanganan perubahan iklim.

Petrus Asuy, perwakilan dari Komunitas Adat Muara Tae, mengatakan meraih Penghargaan Equator sangat besar artinya karena bisa menjadi contoh bagi daerah lain dalam melindungi dan membangun kembali hutan-hutan yang di sekitar mereka.

Petrus bercerita bahwa sekitar 7 ribu hektare hutan di sekitar Desa Muara Tae telah lenyap karena digusur perusahaan sawit dan pertambangan. Akibatnya, terjadi kerusakan lingkungan yang semakin parah, termasuk hilangnya dua mata air utama dan tertutupnya sungai-sungai di sekitar desa.

Kerugian-kerugian itulah yang lantas mendorong Petrus untuk berjuang menyelamatkan hutan adat dari penebangan hutan, pertambangan, dan perusahaan kayu ilegal. Hingga saat ini masyarakat Muara Tae masih berjuang untuk mendapat pengakuan hukum atas tanah adat mereka. Di tengah konflik tersebut, komunitas ini berhasil menanam kembali 700 hektare lahan hutan mereka.

Sementara aktivis lingkungan dari Komunitas Peduli Lingkungan Belitung (KPLB), Budi Setiawan, mengatakan bahwa dengan memperoleh Penghargaan Equator, artinya tanggung jawab yang ia pikul jadi makin besar.

Budi bersama komunitasnya dianggap sukses merehabilitasi dan melindungi hutan tropis, meningkatkan kelangsungan hidup, serta merestorasi ekosistem laut dan pasir.

Hal itu dilakukan dengan menciptakan rencana konservasi laut regional dan lima pulau konservasi penyu –tempat 12 ribu bayi penyu berhasil dilepas ke laut dalam lima tahun terakhir. Selain itu, komunitas ini juga mampu menanam kembali 45 ribu bakau.


Lewi Gala Paru, perwakilan dari Forum Masyarakat Adat Dataran Tinggi Borneo (Formadat), bertutur bahwa Penghargaan Equator menjadi pendorong agar ke depan komunitasnya bisa lebih kreatif dalam menjaga lingkungan. Selama ini Formadat berhasil memproduksi berbagai komoditas organik seperti beras, sayuran, buah-buahan, dan kopi.

"Semua produk kami tidak ada yang terkontaminasi pupuk atau kimia lainnya. Mereka subur karena tanahnya memang subur. Bahkan dalam mengatasi hama pun kami secara tradisional," ujar Lewi.

Lewi memaparkan, Formadat merupakan masyarakat adat lintas batas yang meliputi beberapa subkabupaten di Indonesia dan Malaysia, yaitu Sarawak (Bario, Ba'kelalan, dan Long Semadoh), Sabah (Long Pasia), dan Kalimantan Timur (Krayan dan Krayan Selatan).



Sumber : www.cnnindonesia.com
Sumber Gambar Sampul : wwf.org.au

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini