Opini : Brexit adalah Soal Kedaulatan Negara

Opini : Brexit adalah Soal Kedaulatan Negara
info gambar utama

By Ahmad Cholis Hamzah*

Tanggal 23 Juni 2016 yang lalu Inggris meyelenggarakan perhelatan demokrasi yang menentukan posisi negeri itu di Eropa dan dunia, yaitu referendum untuk menentukan apakah Inggris tetap menjadi anggota Masyarakat Ekonomi Eropa atau keluar dari organisasi tersebut. Sebelumnya para analis dari berbagai bidang telah melakukan simulasi, hitung-hitungan apa untung ruginya kalau Inggris tetap di Masyarakat Eropa atau EU (European Union) atau meninggalkannya. Hasil referendum itu mengejutkan Eropa dan dunia, karena 51,9% rakyat Inggris menginginkan Inggris keluar dari Masyarakat Eropa, dan 48,1% menginginkan Inggris tetap dalam EU. Akibat referendum ini Perdana Menteri Inggris David Cameron mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Perdana Menteri.

Inggris, di persimpangan | nbcnews.com
info gambar

Menjelang referendum suasana politik memang memanas antara yang pro dan anti EU, sampai seorang anggota parlemen wanita dari Partai Buruh Jo Cox meninggal dunia setelah di tembak dan ditusuk oleh seorang yang anti EU di Birstall, Yorkshire barat Inggris, daerah konstituennya. Kedua kubu sampai sepakat untuk menghentikan sementara kampanye referendum.

AS berkepentinggan Inggris tetap di EU

Beberapa orang di AS mengkritik pidato Presiden AS Barack Obama yang dianggap menyebabkan rakyat Inggris keluar dari EU. Sewaktu datang ke London pada tanggal 22 April 2016 lalu dalam rangka menghadiri ulang tahun ke 90 ratu Inggris Elizabeth Presiden AS menulis artikel di harian the Daily Telegraph dengan judul yang mendapatkan pro kontra di publik Inggris “As Your Friend, let me say that EU makes Britain even greater” atau dalam terjemahan bebasnya Obama sebagai teman Inggris menasihati bahwa Eropa membuat Inggris lebih besar. Isi artikel Obama menyiratkan keinginan Amerika agar Inggris tidak memutuskan keluar dari Uni Eropa karena dalam pertimbangan AS, Inggris memiliki peran yang besar di dalam Eropa terutama didalam menghadapi dinamika global saat ini, misalkan soal meningkatya pengaruh Rusia, soal menghadapi ISIS, perdagangan global dsb. Presiden Obama dalam nasihatnya itu menyebutkan betapa kuatnya hubungan Amerika Serikat dan Inggris dengan menyebut kan sejarah ketika Presden AS Franklin D Roosevelt menjamu Raja Inggris George VI di Gedung Putih pada tahun 1939 mengatakan kuatnya hubungan kedua Negara. Dan 80 tahun kemudian Presiden Obama mengatakan hal yang sama dengan mengeluarkan pendapat bahwa Eropa yang kuat bukanlah suatu ancaman bagi kepemimpinan Inggris di dunia.

Inggris merupakan sekutu utama AS di Eropa, menjadi penyeimbang dalam tarik menarik kepentingan politik di Eropa tentunya ini penting bagi AS. Misalkan beberapa petinggi Eropa baru-baru ini banyak yang menyampaikan pendapatnya untuk mencabut embargo ekonomi terhadap Rusia dan harus mulai babak baru membuka hubungan dengan Rusia. Embargo terhadap Rusia bagi mereka malah merugikan Eropa. Kebijakan embargo menurut mereka malah merugikan para pengusaha, petani, banker di Eropa, apalagi Rusia melakukan tindakan balasan dengan melarang produk-produk pertanian Eropa masuk pasar Rusia. Sikap yang mulai melunak terhadap Rusia seperti ini tidak disukai AS dan Inggrislah yang diharapkan AS berpendapat sama dengan sikap AS dalam isu-isu hubungan Eropa dengan Rusia.

Tulisan dan kunjungan Obama ke Inggris diatas menjadi pro dan kontra di Inggris karena menjelang diadakannya referendum rakyat Inggris pada hari Kamis tanggal 23 bulan Juni mendatang untuk memutuskan apakah tetap ikut atau keluar Uni Eropa atau secara luas dikenal sebagai Brexit.

Mantan Walikota Londn Boris Johnson misalnya menyebutkkan bahwa nasihat Presiden Obama itu tidak konsisten dengan cara memaksa Negara lain untuk menurut perintahnya “the principle of do I say, not as I do..”, dia bahkan menyebutkan AS hipokrit: …”It is in fact that America guards its sovereignty with such hysterical jealousy”.; dan ada yang pula berpendapat bahwa Obama telah melakukan intervensi ke Negara lain dengan sarannya agar Inggris tetap di Uni Eropa.

Soal Kedaulatan Negara.

Pro kontra Brexit ini memang membelah pendapat publik Inggris; dan PM David Cameron pun berusaha meyakinkan publik bahwa upaya diplomatic nya yang dilakukan dengan susah payah pada tanggal 19 Februari 2016 di Brussel pusat Uni Eropa itu merupakan kemenangan Inggris. Rapat yang dilakukan sampai larut malam dengan pemimpin-pemimpin 27 negara anggota Uni eropa itu setuju memberi status khusus bagi Inggris dengan harapan Inggris tidak keluar dari Uni Eropa;dimana salah satu kesepakatannya memberi jaminan pada Inggris untuk melindungi kota London, tidak memaksa perusahaan-perusahaan Inggris melakukan relokasi di Eropa dan menjamin perusahaan- perusahaan Inggris tidak mengalam diskriminasi karena berbisnis diluar kawasan Eurozone.

NIgel Farage | telegraph.co.uk
info gambar

Para penentang David Cameron pun melontarkan kritikan dengan mengatakan upaya nya itu bukanlah kemenangan. Ketua partai Independen Nigel Farage misalnya mengatakan bahwa hasil renegosiasi status Inggris di Uni Eropa yang dilakukan Cameron belum memberikan jaminan bagi London.

Bagi yang percaya bhwa Inggris harus tetap di Uni Eropa beralasan bahwa Inggris akan tetap mendapatkan keuntungan besar dalam perda gangan bebas dengan para Negara anggota Uni Eropa karena memudahkan perusahaan Inggris melakukan ekspor dengan biaya yang lebih murah; tambahan pula kebebasan tenaga kerja di Uni Eropa memudahkan perusahaan-perusahaan Inggris mendapatkan tenaga kerja murah.

Memang menurut survey yang dilakukan Financial Times tahun lalu dengan responden 3.800 pengusaha menjelaskan bahwa 63% pengusaha percaya bahwa akan ada pengaruh negative bila Inggris keluar dari Uni Eropa.

Sementara para percaya Brexit beralasan bahwa perusahaan-perusahaan Inggris mengeluarkan biaya bisnis dan investasi yang terlalu besar bila Inggris tetap di Uni Eropa; selain itu regulasi bisnis yang diatur para petinggi Uni Eropa di Brussel terlalu ketat dan birokrasi; sebagai contoh nelayan Inggris memprotes peraturan EU yang mengatur penangkapan ikan, mereka berpendapat bahwa Inggrislah yang berhak mengatur hal itu. Bagi yang anti EU yang penting adalah Uni Eropa bisa menghilangkan kedaulatan Inggris Raya.

Sebenarnya soal ide keluar dari Uni Eropa karena faktor ketersinggungan kedaulatan Negara. Sistim birokrasi Brussel sebagai markas besarnya EU dianggap terlalu kaku dan mendiktekan kehendaknya, ini yang menyebabkan rasa nasionalisme beberapa anggota EU tersinggung. Soal ketersinggungan ini pernah lebih dulu terjadi di Yunani. Kita semua ingat pada penghujung Januari 2012 bahwa negara Jerman mengeluarkan proposal atas nama Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) kepada negara Yunani yang mengalami kesulitan ekonomi dalam negerinya sehingga “sovereign debt” atau surat hutang negara mereka berstatus default. Proposal yang bocor ke hampir seluruh media di Eropa waktu itu menggegerkan politik masing-masing anggota MEE. Karena proposal itu berisi kesediaan MEE (dalam hal ini Jerman dan Perancis) bersedia memberi dana talangan atau “bail out” kepada Yunani asal segala pengeluaran dan penerimaan atau budget negara Yunani sepenuhnya akan di kontrol oleh MEE (atau kedua negara tadi), atau dengan kata lain “anda boleh menggunakan uang bail out itu, tapi with My Own Term.

Yunani waktu itu secara resmi mengeluarkan sikap bahwa Yunani menolak proposal tersebut karena ini menyangkut Kedaulatan Negara yang tidak bisa ditawar, tambahan pula proposal itu juga memancing rasa nasionalisme yang tinggi di negeri ini. Tapi Pemerintah Yunani berada di persimpangan jalan antara menjaga kedaulatan negerinya dan menerima bail out. Kalau tidak diterima dana talangan itu maka perekonomian Yunani akan bertambak kolap, dan demonstrasi mahasiswa, buruh, guru, dokter, para pensiunan dan sebagainya akan bertambah marak dan mengganggu kestabilan negeri itu. Kalau diterima, maka kedaulatan negaranya untuk mengatur pendapatan dan pengeluaran negaranya sepenuhnya di “atur” oleh negara lain.

Karena itu ide Grexit (Yunani Keluar dari Uni Eropa) menular ke Inggris dengan Brexit nya, dan kabarnya juga menular ke Belanda dan Perancis dimana para politisinya menyuarakan kehendaknya bahwa lebih baik keluar dari EU dengan menyelenggarakan referendum seperti Inggris, lagi-lagi salah satu alas an kuatnya adalah soal kedaulatan Negara.

Pelajaran Bagi ASEAN

Negara-negara anggota ASEAN memiliki hampir sama tujuannya dengan Uni Eropa dimana sepakat untuk melakukan harmonisasi perdagangan diantara Negara-negara anggota yang di implementasikan dengan adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN atau MEA. Akan tetapi belajar dari kejadian yang sedang berlangsung di Eropa ini ASEAN harus belajar bahwa tidak boleh ada satupun Negara anggota nya yang boleh mengunggulkan dominasi negaranya dengan melanggar kedaulatan Negara anggota lainnya. Apabila hal ini tidak disadari oleh para pemimpin ASEAN maka paguyuban Negara-negara ASEAN ini akan terancam pecah seperti yang terjadi di Eropa.

---

Penulis : Ahmad Cholis Hamzah, alumni University of London dan Universitas Airlangga, Dosen STIE Perbanas Surabaya, Pemerhati masalah-masalah nasional dan internasional, dan Verified Author of Goodnewsfromindonesia.



Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini