Oto, Mainan Unik Anak-Anak Kreatif

Oto, Mainan Unik Anak-Anak Kreatif
info gambar utama

Pernahkah mendengar nama kabupaten "Ende"? Tepatnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur, tempat saya dan beberapa teman mengajar selama satu tahun. Keragaman sosial budaya benar-benar membuka wawasan kami akan Indonesia. Dari banyak hal itu, ada satu cerita menarik yang saya dapat saat berkunjung ke desa sebelah, Watunggere namanya.

Berbeda dengan Jawa, musim liburan lebih sering digunakan untuk membantu orang tua di kebun. Ada yang menggembala, memngambil rumput, memetik kopi, meniti (memukul) kemiri, dan bermain oto. Oto? Mereka mengartikan oto sebagai kendaraan beroda empat dan lebih. Dan oto dalam artikel ini adalah mainan sederhana yang berfungsi sebagai alat bantu transportasi bagi anak-anak.

Kala itu, saya bersama tiga orang teman berjalan-jalan sore di desa Watunggere. Terlihat banyak anak bermain di halaman dan di sepanjang jalan. Ada yang berlarian mengejar roda dan bermain air yang mengalir dari pipa bambu. Mereka menggelindingkan ban bekas dan berlarian mengejarnya. Supaya bisa berjalan jauh, mereka dorong ban tersebut menggunakan tongkat kayu. Tongkat yang digunakan berasal dari batang bambu.

Di sinilah saya melihat mainan oto ini. Sekelompok anak memegang sebuah tongkat panjang dengan dua roda kecil di bawah. Cara membuatnya cukup mudah, hanya perlu sebuah tongkat dari kayu atau bambu yang panjang tetapi disesuaikan juga dengan tinggi badan si anak. Kemudian di bagian bawah pasang 2 roda kecil. Uniknya mereka memanfaatkan benda di sekeliling. Roda dibuat dari sandal bekas yang dipotong berbentuk lingkaran, bisa juga dari bekas sepeda roda tiga. Tidak butuh waktu lama untuk membuat, sebab orang tua mereka, terutama ayah dan kakak laki-laki sangat piawai membuat berbagai macam barang menggunakan bambu. Di sana bambu dapat diolah menjadi berbagai macam barang seperti mebel dan perkakas dapur.

Hampir setiap anak pasti mempunyai mainan ini. Oto buatan mereka tidak hanya berfungsi sebagai alat mainan saja. Di mana biasanya mereka akan berlomba lari dan siapa yang paling cepat mencapai finish, itulah pemenangnya. Permainan oto ini bisa dilakukan di jalan maupun lapangan. Maklum saja jalanan di desa mereka tidak seramai di kota maupun desa-desa di Jawa. Oto mereka gunakan sebagai “pesawat sederhana”. Khususnya bagi siswa yang rumahnya jauh dengan sekolah, biasanya akan tinggal di rumah saudara atau asrama supaya lebih dekat dengan sekolah.

Alat bantu transportasi anak-anak
info gambar

Di saat mereka pulang kampung, para orang tua memberi uang saku berupa barang. Misalnya beras, pisang, kemiri, jagung dan sayur-sayuran. Nah, untuk mengurangi beban yang ditopang masing-masing barang, mereka menaruhnya di oto tadi. Jadi jangan heran jika di sekolah pun “terparkir” rapi oto-oto mereka. Sepulang sekolah sepatu mereka lepas dan berjalan dengan sandal atau tanpa alas karena khawatir rusak. Jalan yang harus mereka tempuha bukanlah aspal mulus, melainkan jalan berbatu dan berubah menjadi hamparan lumpur di saat musim hujan. Sepatu digantung di oto. Tak jarang pula terlihat pemandangan tas ransel pun mereka gantung di oto. Kemudian mereka berlarian mengejar teman-temannya di depan. Perjalanan pulang yang seharusnya begitu jauh jadi terasa dekat dan menyenangkan.

“Kami tidak perlu menenteng bawaan yang berat, karena ada oto. Kami bisa menaruhnya di sana,” ucap Reginius Lawa, anak berbaju biru paling tinggi.

Oto bisa digunakan pula untuk mengambil air di mata air. Desa Watunggere merupakan wilayah yang kekurangan air. Tidak banyak mata air muncul di daerah ini. Bak penampungan paling besar berjarak 2 km dengan jalan berliku dan cukup curam. Warga harus mengantri untuk mengambil air di sana. Tak heran jika setiap pagi banyak warga mandi beramai-ramai di bak penampungan itu. Siang harinya, para mama akan mencuci baju. Nah di sore hari waktunya anak-anak mengambil air menggunakan jerigen 5 liter. Mereka pun lagi-lagi menggunakan oto sebagai alat bantu agar tak terasa berat membawanya.

Menggantung jeriken di oto
info gambar

Sebuah alat bermain yang sederhana namun begitu bermanfaat. Sesederhana cara mereka menjalani kehidupan yang kata orang “kota” penuh dengan keterbatasan. Bukan itu sebenarnya. Bahkan kami pun menyadari bahwa dari merekalah kami belajar tentang hidup dan kehidupan.

Sumber : Pengalaman penulis saat tinggal di Ende, Nusa Tenggara Timur
Sumber Gambar Sampul : scriptadian.wordpress.com

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini