Pentas Horas Amang: Ketika Drama Korea Dipentaskan Dalam Teater Batak

Pentas Horas Amang: Ketika Drama Korea Dipentaskan Dalam Teater Batak
info gambar utama

Grup teater non profit Teater Legiun menggelar pementasan baru bernuansa Batak berjudul “Horas Amang-Tiga Bulan untuk Selamanya” yang kisahnya terinspirasi dari serial televisi drama Korea berjudul “What Happens to My Family”.

Cerita Horas Amang ini dipentaskan dalam 53 episode untuk 3 jam pementasan dengan 45 kru yang sebagian besar bukan orang Batak. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi sutradara dan penulis naskah Horas Amang, Ibas Aragi.

Meski mengalir darah Batak dalam dirinya, namun membuat pementasan teater Batak tidaklah mudah. Menurutnya, panggung teater sekarang didominasi oleh budaya Betawi, Bali, China, Jawa, dan Sunda, sedangkan pementasan teater Batak kurang terdengar dengungnya oleh masyarakat.

Selain itu, Ibas mengaku tidak memahami betul bahasa Batak. Ditambah lagi warna musik gondang yang hanya dapat ditemui di pesta-pesta pernikahan Batak, penggunaan marga dan nama, serta peraturan-peraturan adat Batak yang wajib dipatuhi sempat membuat Ibas undur diri dari idenya untuk membuat pementasan teater Batak.

"Kesulitannya pemainnya justru karena 95 persen bukan orang Batak, tapi harus jadi orang Batak. Jadi, kami harus mempelajari budaya Batak dulu, kemudian mempelajari logat Batak, itu yang paling susah," ungkap Ibas seperti ditulis ANTARA.

Pemilihan serial drama Korea sebagai inspirasi cerita bukanlah tanpa alasan. Ibas dalam pementasan kali ini tidak ingin mengisahkan legenda-legenda Batak melainkan kepada cerita yang lebih realistis dan terkini. Pun, meski menyadur cerita dari drama What Happens to My Family, selama pementasan tidak ada penceritaan tentang negeri ginseng di dalamnya.

Pementasan “Horas Amang-Tiga Bulan untuk Selamanya” ini berkisah tentang sebuah keluarga dengan seorang ayah tunggal, Amang Binsar Sagala, yang membesarkan tiga orang anakya: Tarida, Maruli, dan Pardamean yang sangat egois. Namun Amang Binsar Sagala tetap menyayangi mereka dengan menunjukkan cara yang tidak biasa.

Amang mendapatkan tantangan bahwa dalam waktu tiga bulan ia harus meninggalkan warisan bukan berupa harta melainkan warisan kekayaan jiwa kepada anak-anaknya. Perjuangan Amang inilah yang menjadi pokok cerita pementasan, yakni perjuangan orang tua untuk berbuat yang terbaik kepada anak-anaknya meski ia sudah di ujung maut.

Pementasan dibuka dengan tarian adat Batak. Saat layar hitam diangkat, nampak setting dibuat "dekat" dengan budaya batak seperti ada meja dengan ukiran Batak, kain ulos dan tanduk kerbau khas Toba yang dipajang di dinding rumah.

Cerita tidak bersifat kronolgis, yang berarti bahwa sutradara tidak memulai dari awal, melainkan dari tengah kemudian tahap awal cerita dikisahkan. Cerita pementasan juga memiliki sub-subplot yang mengisahkan perjalanan hidup, permasalahan dan konflik para tokoh utama.

Cerita ini diracik dengan gurauan khas orang Batak, dan dibumbui dengan candaan yang lekat dengan kehidupan sehari-hari sehingga sukses mengundang tawa dari bangku penonton.



Sumber : Antaranews
Sumber Gambar :

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini