Ketika Nasionalisme Dipertanyakan

Ketika Nasionalisme Dipertanyakan
info gambar utama

Seiring dengan majunya zaman, bahasa kian hari kian berkembang. Kata demi kata terus diperbarui karena kebutuhan. Frasa dan kosa kata baru banyak dilahirkan oleh penutur, dan ejaan yang dijadikan pedoman dalam berbahasa semakin hari dirasa semakin disempurnakan.

Kini, pedoman umum terbaru Bahasa Indonesia adalah Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) yang berlaku sejak tahun 2015 berdasarkan peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Tak terkecuali Indonesia, bahasa dijadikan sebuah identitas budaya sekaligus jati diri dari suatu bangsa, mengingat Indonesia tak hanya melahirkan satu bahasa yaitu Bahasa Indonesia, banyak bahasa lokal yang menjadikan Indonesia dikenal akan keberagamannya.

Menurut ahli bahasa dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Fanny Henry Tondo, Indonesia memiliki jumlah bahasa daerah nomor dua terbanyak di dunia, yaitu 749 bahasa diantaranya adalah Bahasa Jawa, Bahasa Aceh, Bahasa Sunda, Bahasa Minang, Bahasa Manado dan masih banyak lagi.

Meski demikian, kian hari banyak bahasa lokal yang kian punah disebabkan oleh penuturnya yang semakin sedikit. Mereka lebih memilih berkomunikasi menggunakan Bahasa Nasional Bahasa Indonesia atau malah sedikit demi sedikit menggunakan Bahasa Asing khususnya Bahasa Inggris. Namun, dengan masuknya era media sosial yang banyak dijadikan makanan sehari-hari oleh masyarakat khususnya anak muda, jejaring sosial kian hari kian dijadikan kendaraan bagi menyebarnya produk asing dan bahasa merupakan bagian darinya.

Banyak anak muda yang menggunakan Bahasa Inggris sebagai sarana berkomunikasi atau terkadang mereka mencampurkan Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris untuk sekedar mengobrol atau menulis status di media sosial. Dari situlah, banyak anggapan datang bahwa mencampur atau menggunakan sepenuhnya bahasa selain bahasa nasional kita yaitu Bahasa Indonesia dapat mengurangi rasa nasionalisme kita terhadap Indonesia. Benarkah demikian?

Keterangan Gambar (© Pemilik Gambar)
info gambar

Di era globalisasi sekarang ini, lingkup hubungan antar manusia bukan lagi sebatas lokal dan nasional, melainkan telah merambah dunia global. Persaingan dalam dunia usaha maupun bisnis tidak lagi terpaku dengan perusahaan dalam negeri namun perusahaan asing mulai masuk dan berinvestasi di Indonesia.

Untuk bisa saling berhubungan, perlu adanya kendaraan untuk berkomunikasi yaitu bahasa dan, melalui sejarah panjang, karena itulah Bahasa Inggris dinobatkan sebagai bahasa resmi internasional di berbagai organisasi internasional termasuk PBB. Oleh karenanya, tak sedikit perusahaan di Indonesia yang memberikan syarat penguasaan Bahasa Inggris kepada calon pegawainya yang akan melamar pekerjaan. Terkait hal itulah, Bahasa Inggris menjadi keahlian yang perlu dimiliki oleh orang Indonesia dan pun tidak terdapat korelasi antara rasa nasionalisme kita dengan penguasaan bahasa asing.

Selain itu, menguasai bahasa asing (dalam konteks ini adalah Bahasa Inggris) memberikan investasi tersendiri bagi seseorang di hari depan. Investasi itu bisa dalam bentuk keuntungan bilingual atau polyglot (kemampuan berbicara lebih dari dua bahasa) yang dapat meningkatkan kemampuan kognitif seseorang dan, menurut neuropsikolog Tamar Gollan, mengurangi resiko penyakit Alzheimer serta gejala demensia yang rentan terjadi ketika berusia tua.

Pemahaman terhadap bahasa asing mendorong bahasa nasional kita untuk berkembang. Sebagai contohnya adalah tidak bisa dipungkiri bahwa lahirnya kosa kata baru dalam bahasa nasional merupakan hasil serapan dari bahasa asing. Kata “selfie” dalam Bahasa Inggris yang kini sedang marak digunakan di kalangan anak muda melahirkan kosa kata baru dalam Bahasa Indonesia yaitu “swafoto” sebagai terjemahan dari kata “selfie” itu sendiri.

Begitu juga kata “subtitle” dalam Bahasa Inggris yang melahirkan kata “takarir” sebagai terjemahannya dalam Bahasa Indonesia. Oleh sebab itu, penguasaan bahasa asing dapat memperkaya bahasa nasional kita dan bukan berarti membuat kita tidak nasionalis terhadap negara Indonesia, karena pada dasarnya bahasa punah bukan karena kita lebih memilih menggunakan bahasa asing untuk berkomunikasi, namun kita yang mulai bersikap ekslusif terhadap bahasa nasional dan bersikap apatis terhadap perbedaan. Selain itu, rasa nasionalisme tidak lantas dapat sepenuhnya dinilai dari iya tidaknya kita berkomunikasi sepenuhnya menggunakan bahasa nasional.


Sumber : the jakarta post | acedemia.edu

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini