Maluku Baik-Baik Saja

Maluku Baik-Baik Saja
info gambar utama

Sejak kecil, kehidupan saya yang selalu berpindah dari satu kota ke kota lain membuat saya mencintai traveling. Mungkin bagi sebagian orang traveling hanyalah soal berpergian untuk berwisata mengisi hari libur. Namun, bagi saya traveling mempunyai makna lain. Bagi saya, traveling adalah mengenal lebih dalam tentang daerah yang saya singgahi, bukan hanya potensi wisatanya, tapi budaya dan kehidupan sosial masyarakatnya. Untuk itu, traveling di dalam definisi saya adalah soal pergi dan menetap di banyak daerah.

Saya bersyukur mempunyai pekerjaan yang mengharuskan untuk berpindah-pindah kota di Indonesia. Di luar urusan pekerjaan kantor yang melelahkan, ada saat saya menjadi satu bagian dengan masyarakat lokal setempat. Oktober 2016 ini saya kembali harus meninggalkan rumah saya di Tangerang Selatan untuk menetap di Kota Masohi, sebuah kecamatan kecil nan sederhana di Pulau Seram, Kabupaten Maluku Tengah. Mendengar bahwa saya akan menetap di Maluku, tentu keluarga dan teman menjadi satu dengan respon yang sama.

"Ah gila jauh banget"

"Wah hati-hati daerah konflik loh"

"Orang timur itu kan serem-serem"

Mungkin ada di antara kamu yang beranggapan sama? Sebagai anak Jawa yang besar di ibukota negara, Indonesia timur adalah bagian yang sangat asing bagi saya. Tanah yang banyak orang tidak berani pijak karena sejarahnya. Namun, keasingan itu yang membuat saya berani mengambil tawaran untuk menetap di Maluku.

Pendaratan mulus di Bandara Pattimura siang itu membawa saya ke dalam sebuah perjalanan yang baru. Kaki ini untuk pertama kalinya menginjak tanah timur Indonesia. Senyum dan sapa itu tidak ada yang berbeda. Masih senyum dan sapa yang sama dengan keramahan khas orang Indonesia. Dari Bandara Pattimura, saya melanjutkan perjalanan darat menuju Pelabuhan Tulehu. Supir mobil saya saat itu bercerita panjang soal Maluku, mungkin karena beliau tahu ini pengalaman pertama bagi saya. Dari cerita beliau, saya bisa menangkap bahwa Maluku sedang berkembang setelah bertahun-tahun dihantam konflik agama. Di kanan dan kiri saya melihat peradaban semi moderen yang baru dalam tahap pembangunan. Satu bukti bahwa Maluku baik-baik saja. Ditambah cerita romantis supir mobil yang berdarah bugis jatuh cinta dengan keromantisan perempuan Ambon. Senyum manis beliau membuat saya malu sendiri.

Dari Pelabuhan Tulehu saya masih harus melanjutkan perjalanan laut dengan kapal cepat selama 2 jam menuju Pelabuhan Amahai di Pulau Seram. Tentu dengan wajah oriental Jawa, berbaur dengan masyarakat lokal membuat saya 'lebih' terlihat. Beberapa di antara mereka terkadang berusaha menyapa saya, meskipun dengan bahasa dan logat yang sama sekali saya tidak pahami. Saya hanya paham bahwa itu adalah bentuk sambutan mereka terhadap saya di tanahnya. Satu bukti lagi bahwa Maluku baik-baik saja.

Pukul 7 malam waktu setempat, akhirnya saya tiba di Pelabuhan Amahai. Hanya berjarak sekitar 10 km dari pusat Kota Masohi, saya dijemput oleh supir kantor dan sempat diajak berkeliling. Dari sana saya melihat bahwa daerah ini adalah bentuk dari keharmonisan umat beragama. Mungkin kamu pernah berselisih paham dengan kekasih mu dan ketika sudah akur kembali kalian terlihat lebih romantis. Seperti itu lah Maluku yang saya lihat malam itu. Umat kristiani berjalan menuju gereja didampingi suara adzan dari masjid di sebelahnya. Anak-anak muda berpakaian muslim bersenda gurau di bawah tugu salib. bukti kesekian bahwa Maluku baik-baik saja.

Mungkin sepintas Maluku atau Kota Masohi lebih tepatnya akan dianggap sebagai daerah yang miskin. Tidak ada pusat perbelanjaan moderen, tidak ada minimarket moderen, tidak ada moda transportasi yang memadai, tiap siang kerap mati listrik, sinyal hp-pun sulit. Berbeda jauh dengan keadaan moderen di tanah Jawa. Namun, bagi saya daerah ini sedang berkembang. Bagi saya, miskin atau kaya adalah soal perspektif, bagaimana cara kita memandang. Bagi orang ibukota seperti saya mungkin keadaan seperti ini terasa sulit, tapi berbeda bagi masyarakat lokal yang memandang kehidupan mereka sebagai idealisme. Sebuah kondisi yang tidak bisa diganggu dan dirubah dengan keadaan kota yang mungkin akan membuat masyarakat lokal sulit. Bukti lain bahwa Maluku baik-baik saja, mempertahankan apa yang menjadi idealisme daerah mereka.

Satu hal yang tidak bisa saya ragukan dari Maluku adalah soal keindahan suara masyarakat lokal. Stigma bahwa masyarakat Maluku seram terbantahkan ketika setiap berdiam diri mereka selalu memutar lagu romantis dan ikut bernyanyi. Di saat itu, saya selalu menikmatinya sebagai konser kecil karena suara indah mereka. Saya rasa ini yang membuat Glenn Fredly menjadi penyanyi besar tanah air. Ngomong-ngomong, ada satu lagu lokal yang selalu bergaung di setiap sudut kota, diputar di tiap radio mobil, atau dipentaskan setiap pesta pernikahan, dan saya suka lagu itu! Bisa didengar disini. Keromantisan warga lokal menambah bukti bahwa Maluku baik-baik saja.

Mungkin kamu bertanya, "bagaimana keindahan alam disana?"

Sebuah pertanyaan yang dapat dengan mudah saya jawab:

"Maluku itu surga!"

Maluku memang jarang mendapatkan sorotan dari media nasional soal keindahan alamnya. Ini yang membuat keindahannya tetap terjaga. Saya menikmatinya dengan rasa bersyukur mendalam bahwa saya dilahirkan sebagai Indonesia. Bukti bahwa alam Maluku baik-baik saja bisa kamu lihat lewat feed Instagramsaya.

Malam sudah terlalu larut, bulan sudah penuh, dan bintang-bintang sudah menghiasi langit Maluku. Sebuah keadaan yang membuat saya sulit meninggalkan tanah indah ini. Keadaan yang pasti akan membuat saya rindu dengan keromantisan warga lokal dan kerukunan umat beragama disini. Sebuah keromantisan yang dibalut dengan indahnya perbedaan. Sebuah keromantisan yang menandakan bahwa Maluku masih dan tetap baik-baik saja.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini