Kampung Adat Tenganan, Lorong Waktu Kembali ke Bali Kuno

Kampung Adat Tenganan, Lorong Waktu Kembali ke Bali Kuno
info gambar utama

Hiruk-pikuk kota yang dipenuhi oleh wisatawan dari berbagai belahan dunia merupakan pemandangan yang lazim kita temukan di berbagai kota di Pulau Bali. Maklum, Pulau Dewata ini memang telah menjadi salah satu destinasi favorit wisatawan baik lokal maupun mancan negara. Tak heran jika kita menemukan berbagai resort mewah dan tempat glamor menghiasi kota-kota seperti Legian dan Kuta. Tapi Pulau Dewata ini seakan tak ada matinya memberikan pengalaman unik bagi pengunjung. Salah satu tempat yang menawarkan wisata anti-mainstream adalah Desa Tengganan Pegringsingan, Karangasem.

Desa yang terletak sekitar enam puluh kilometer dari arah timur Denpasar ini, kerap dijuluki Bali Kuno. Ketika berkunjung kesini, wisatawan akan dibawa mundur menyusuri lorong waktu saat masyarakat Bali masih menjalankan adat-adat tradisional. Asal usul desa ini juga tak lepas dari cerita rakyat yang diwariskan turun-temurun. Konon ceritanya, pada suatu waktu Raja Bali pertama Gianyar kehilangan seekor kuda. Ia mengadakan sayembara terbuka. Bagi yang menemukan kudanya, Raja Gianyar akan memberikan hadiah sebagai imbalan.

Sayembara ini berakhir ketika leluhur orang Tenganan menemukan kuda raja dalam keadaan mati. Meskipun demikian, raja tetap menepati janjinya dengan memberikan tanah seluas bau bangkai kuda tercium. Dengan cerdas, orang Tenganan membagi bangkai kuda dan berjalan sejauh mungkin. Berkat taktik tersebut, Tenganan kini memiliki wilayah dengan luas 917,2 hektar dan dihuni oleh 700 penduduk.

Bermain ayunan di Desa Tenganan, Bali. Sumber:balialternative.com
info gambar

Selain keunikan budaya, banyak hal yang juga bisa kita pelajari dari kampung yang mandiri ini. Berbeda dengan wilayah wisata lainnya yang menggantungkan pendapatan dari pariwisata, masyarakat kampung adat yang telah berdiri sejak abad ke delapan ini, mengandalkan pendapatan utama dari pertanian dan hutan desa. Masyarakat Tenganan percaya jika tanah dan sumber daya alam dikelola secara maksimal akan menghasilkan sumber kehidupan yang cukup bagi kebutuhan masyarakat. Di kampung ini juga tidak mengenal kepemilikan tanah atau lahan individu, sehingga tanah dan lahan dikelola secara gotong-royong.

Sistem kerja yang menjadikan alam sebagai teman, juga memiliki manfaat positif dalam pelestarian lingkungan karena pada dasarnya manusia adalah bagian dari alam. Hal ini terbukti dengan terjaganya sumber pendapatan masyarakat Tenganan yang hingga saat ini menggantungkan hidupnya dari alam. Keberadaan hutan dan lahan membuat masyarakat tetap bisa memproduksi pewarna alam sebagai bahan dasar pembuatan kain tenun tradisional.

Budaya gotong royong di Desa Tenganan. Sumber:id.pinterest.com
info gambar

Selain berdampak positif pada alam, sistem adat juga menjadikan tidak adanya kesenjangan atau dominasi kekayaan diantara masyararakat. Meskipun sempat mengalami kebakaran pada tahun 1841, Kampung Tenganan kembali dibangun dan ditata termasuk diantaranya tentang aturan adat. Aturan-aturan adat di kampung ini mencakup sistem pemerintahan, hak tanah dan hak sumber daya alam, perkawinan, pendidikan serta upacara adat. Sistem pemerintahan di kampung ini terbagi dua, yaitu adanya posisi kepala desa yang mengurusi sistem administratif dan kepala adat yang dipimpin oleh enam pasang suami istri untuk mengatur urusan adat istiadat. Aturan adat ini juga melingkupi aturan tentang denah desa dan pemanfaatan sumber daya alam.

Yang juga tak kalah menarik, meskipun masih mempertahankan adat tradisional, masyarakat Tenganan bersikap terbuka dengan hal-hal modern seperti listrik, alat komunikasi, transportasi, serta pendidikan. Anak-anak Desa Tenganan didorong untuk sekolah setinggi mungkin, mereka hanya diminta untuk menyisihkan waktu selama setahun untuk belajar adat dan mengenal wilayah-wilayah Tenganan. Bahkan dalam beberapa aspek nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Tenganan sebenarnya tergolong cukup modern. Jika Bali terkenal dengan budaya kastanya, di Trenganan tidak menerapkan budaya kasta. Begitu juga posisi perempuan dan laki-laki dianggap sama. Suatu kolaborasi yang unik antara budaya lokal dengan nilai-nilai modernisasi.

Sisi ini lain Bali inilah yang masih sering luput dari perhatian para wisatawan. Bahwa di era globalisasi seperti saat ini, ada desa-desa yang masih dapat mempertahankan adat, budayanya tanpa terkesan arogan dan menutup diri dengan hal-hal modern. Kampung adat Tenganan lagi-lagi sukses membuat saya terkesima dengan kearifan dan kelenturan budaya lokal Indonesia.


Sumber :

travel.kompas.com

indonesiabiru.com

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini