Menenun, Cara Mama Aleta Melawan Kerusakan Lingkungan

Menenun, Cara Mama Aleta Melawan Kerusakan Lingkungan
info gambar utama

Selalu ada cara untuk menjaga alam. Aksi Aleta Baun yang kerap disapa Mama Aleta membuka mata saya ada banyak cara melestarikan lingkungan. Mama Aleta, pejuang lingkungan dari Nusa Tenggara Timur (NTT) berhasil menjadi sosok yang menginspirasi dengan semangatnya sebagai penggerak masyarakat adat Mollo untuk menolak ekploitasi yang dilakukan perusahaan tambang di daerahnya. Berkat jasanya inilah, Mama Aleta dianugrahi Yap Thiam Hien Award 2016. Sebelumnya, cerita tentang Mama Aleta juga mendapat perhatian dunia lewat penghargaan Goldman Environmental Prize 2013.

Bagi orang Mollo, bumi diibaratkan sebagai tubuh manusia, ketika bumi disakiti sama saja dengan membunuh manusia. Air adalah darah, hutan adalah rambut, tanah adalah daging, dan batu adalah tulang. Filosofi alam ini sudah dipegang teguh oleh masayarakat Mollo secara turun temurun. Narasi ini juga muncul karena kehidupan suku Mollo yang masih sangat bergantung pada sumber-sumber daya alam. Makanan dan obat-obatan mereka cari dari hutan, selain itu mereka juga menanam berbagai tumbuhan di tanah yang subur. Mereka juga memanfaatkan warna-warna tumbuhan sebagai zat pewarna yang dibutuhkan untuk bertenun. Karena hubungan yang mesra dengan alam tersebutlah, kerusakan lingkungan berarti hilangnya sebagian jati diri mereka.

Adalah pada tahun 1994, perusahaan tambah mulai menginjakkan kaki di daerah Mollo. Sejak saat itu, masayarakat mulai mengalami kesulitan mendapatkan air bersih. Padahal, sebelum adanya penambangan, air bersih tidak sulit didapatkan di daerah ini.

Seorang perempuan anak petani yang pada saat itu berusia 30 tahun memutuskan menolak keberadaan perusahaan tambang. Ia yang lahir dan dibesarkan dari hasil alam merasa khawatir dengan kerusakan yang mulai menggerogoti tanahnya. Ia lalu secara sembunyi-sembunyi bertemu dengan para pemuka adat dan berusaha meyakinkan mereka tentang bahaya yang akan mereka hadapi jika pertambangan diteruskan. Niat baiknya ini bersambut, para tokoh adat setuju dan mendukung gagasannya yang menolak perusahaan tambang. Perempuan ini adalah Mama Aleta.

Sumber: mongabay.co.id
info gambar

Ibu dari tiga anak ini mulai melakukan pengorganisasian masyarakat desa. Mereka kemudian melakukan musyawarah terkait keberadaan perusahaan tambang, apakah dengan adanya perusahaan tambang dapat menguntungkan bagi masyarakat atau sebaliknya. Hasil musyawarah inilah yang kemudian menjadi landasan pergerakan masyarakat Mollo melakukan aksi protes. Uniknya Mama Aleta menyampaikan keberatannya dengan pendekatan lokal. Berbeda dengan aksi unjuk rasa yang kerap kita saksikan di layar kaca, ia memilih cara yang khas dalam menyuarakan perlawanan. Mama Aleta bersama para mama di daerah tersebut menenun di celah-celah gunung batu yang sebenarnya merupakan lokasi pertambangan. Para mama menenun dari pagi hingga sore, sementara pada malam harinya para bapak yang tidur ditempat tersebut. Mama Aleta mengatakan bahwa cara berunjuk rasa ini berangkat dari lambang bumi sebagai tubuh manusia yang membutuhkan pelindung berupa kulit. Jadi jika bungkusan kulit diambil, bumi akan merasa dingin pada malam hari dan kepanasan di siang hari. Karena bumi ditelanjangi, para mama harus menenun sebagai ungkapan dan protes agar bumi jangan ditelanjangi.

Sumber: cdn2.tstatic.net
info gambar

Kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat Mollo selama setahun. Konsistensi dan perjuangan masyarakat Mullo tidak sia-sia, karena pada akhirnya pertambangan dihentikan. Mama Aleta bersama masayarakat Mollo berhasil menjaga tanah kelahiran mereka, terutama menjaga kawasan hutan Gunung Mutis. Gunung Mutis terkenal dengan kekayaan akan keanekaragaman hayati. Gunung ini juga merupakan daerah hulu untuk semua aliran sungai utama Timor Barat yang memasok air minum dan air untuk irigasi para petani di Pulau Timor.

Sumber: basodara.com
info gambar

Narasi-narasi istimewa yang saya dengar dari berbagai pelosok Indonesia ini menjadi inspirasi dan bahan bakar bagi saya untuk terus belajar dari kearifan lokal Indonesia. Tidak mudah memang, karena selama masa perjuangan Mama Aleta dan masyarakat setempat kerap mendapat tekanan dari berbagai pihak. Namun koneksi spiritual, penghayatan, serta kecintaan mereka terhadap alam ternyata bisa mengalahkan ketakutan akan berbagai ancaman yang dihadapi.


Sumber :

tirto.id

goldmanprize.org

en.wikipedia.org

merdeka.com

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan. Artikel ini dilengkapi fitur Wikipedia Preview, kerjasama Wikimedia Foundation dan Good News From Indonesia.

Terima kasih telah membaca sampai di sini