Memindahkan Ibukota Indonesia. Inikah saatnya?

Memindahkan Ibukota Indonesia. Inikah saatnya?
info gambar utama

Saya pernah tinggal beberapa tahun di Jakarta, dan saat itu, kemacetan yang parah adalah penyebab utama saya meninggalkan ibukota dan kembali ke kampung halaman saya di Jogja. Selain kemacetan, memang masih banyak faktor lain dari kota besar tersebut yang membuat saya merasa kesulitan kerasan dengan ibukota.

Beberapa tahun belakangan ini, saya sering sekali ke Jakarta, dan sepertinya kemacetan makin menjadi-jadi. Penduduk yang bertambah, jumlah kendaraan yang makin bertambah sepanjang waktu, pun integrasi dengan kota besar lain, seperti Bandung, yang meningkat seiring beroperasinya tol Jakarta-Bandung. Saya pernah memilih untuk berjalan kaki sepanjang 8 km di Jakarta daripada naik taksi atau mobil, karena kemacetan yang begitu menyiksa.

Memang tak mudah membenahi Jakarta yang sudah terlanjur begitu besar dengan berbagai macam persoalan. Dan saya tak berani membayangkan apa jadinya ibukota negara ini 20 tahun mendatang. Disadari atau tidak, kondisi ini akan mempengaruhi jalannya pemerintahan, karena tentu mengurangi mobilitas para pejabat dan petinggi negara, pun para staff dan stakeholdernya.

Mungkin perlu dibuka kembali rencana pemindahaan ibukota, dari Jakarta ke tempat lain. Bukan untuk mengurangi kemacetan Jakarta, tapi untuk membuat pemerintahan negara yang lebih efisien. Negara-negara lain banyak yang sudah berhasil memindahkan ibukota negaranya, Brasil misalnya, dari Rio de Jeneiro ke Brasilia, atau Jerman dari Bonn ke Berlin, atau Kazakhtan dari Almaty ke Astana.

Brasilia, ibu kota Brazil | wikimedia
info gambar

Selama ini, wacana terus bergulir..dan hanya berhenti di level itu. Diskusi, seminar, dan sebagainya. Di satu sisi banyak yang menawarkan alternatif kota pengganti Jakarta, di sisi lain banyak yang mengedepankan kesulitan dan mahalnya dana yang dibutuhkan. Dan berhentilah diskusi-diskusi itu tanpa kelanjutan eksekusi.

Astana, ibukota Kazakhtan | pinterest
info gambar

Kita bisa belajar dari Kazahktan, yang sukses memindahkan ibukotanya dari kota tua Almaty ke Astana, sebuah kota baru yang sangat indah. Ketika pada 1997 Presiden Nursultan Nazarbayez mengungkapkan rencana memindahkan ibu kota, dia ditertawakan banyak kalangan terutama dari Parlemen. Banyak orang tidak membayangkan, selain situasi saat itu, juga tidak ada dana. Padahal pemindahan ibu kota butuh biaya besar, dan Kazakhtan bukan juga negara yang kaya. Apalagi, pada saat itu, situasi Kazakstan juga belum stabil. Perpisahannya dengan Uni Soviet masih menimbulkan chaos di sana-sini, di berbagai bidang.

Astana. Stunning
info gambar

Dalam membuat keputusannya, Nazarbayev melakukan kajian nasional atas 32 faktor. Termasuk indeks sosial ekonomi, iklim, lanskap, kondisi seismik, lingkungan alam, infrastruktur transportasi, layanan bangunan, dan tenaga kerja. Akmola (yang kemudian berganti nama menjadi Astana) dipilih karena wilayah yang besar, dekat dengan pusat utama ekonomi dan jalur nasional, potensi demokrasi, infrastruktur transportasi yang canggih, serta lingkungan alam.

Relokasi ibu kota pada Desember 1997 merupakan titik balik bagi Kazakstan. Astana menjadi kebanggaan besar rakyat Kazakhtan dan modal serta lokomotif bagi bangsa Kazak yang terus berkembang pesat.. Hingga sekarang.

Rasanya, kondisi Indonesia saat ini lebih baik dibanding kondisi Kazakhtan pada 1997. Kalau kesulitan dan mahalnya biaya yang terus menerus kita kemukakan, bisa jadi tak kan pernah kita pindah ibukota.

What do you think?

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini