Tatagi Design, Ubah Sampah Jadi Produk Jam yang Unik

Tatagi Design, Ubah Sampah Jadi Produk Jam yang Unik
info gambar utama

Saat ini, banyak pengrajin produk handmade yang dibuat menggunakan barang bekas yang didaur ulang sebagai bahan dasar produknya. Ide membuat produk handmade dari barang bekas ini patut diapresiasi, karena selain berkontribusi pada lingkungan, juga membutuhkan ketekunan untuk mengolahnya. Adalah Tatagi Design, yang didirikan pada Januari 2013 oleh pasangan suami-istri Yogi Jiwandono dan Site Shona di Bekasi, salah satu brand yang mengubah barang bekas menjadi produk handmade yang memiliki nilai jual.

Awalnya, Yogi dan Site memiliki usaha toko barang-barang unik impor dari China di salah satu mal di Jakarta. Dari menjalankan bisnis ini, timbul pertanyaan di benak Yogi: “Kenapa barang-barang seperti ini tidak bisa atau tidak ada yang mau mengerjakan di Indonesia sampai harus diimpor dari China?”

Bermula dari pemikiran tersebut, Yogi dan Site pun mulai tergugah untuk mulai sendiri membuat barang-barang unik serupa. Namun, karena mereka bukan pabrik yang bisa membuat bahan baku, mereka hanya bisa mengandalkan barang-barang yang ada.

Dalam proses awal mencari ide, Yogi dan Site saat itu membutuhkan hingga beberapa hari untuk menemukan ide produk yang bisa menggunakan bahan yang ada, namun tetap bisa diproduksi secara kontinu. Inilah yang menjadi awal dari terciptanya Tagiman, produk jam meja yang ikonik dari Tatagi Design.

Lahirnya Tagiman dari Kepingan DVD Bekas

“Ide membuat jam dimulai saat saya melihat keping DVD bekas, lalu saya coba tempelkan ke sebuah terompet plastik yang saya balik. Bentuknya jadi seperti makhluk baru dengan kepala (DVD) dan badan (terompet). Saya coba membeli mesin jam dan jadilah sesuatu yang kami sebut Tagiman,” kisah Yogi.

Pengembangan produk Tagiman nyatanya tidak sesederhana itu. Versi awal yang menggunakan terompet plastik dirasa membutuhkan biaya yang mahal. Yogi dan Site pun kemudian mencoba mencari bahan baku lain yaitu botol kaca. Beberapa bentuk botol kaca sempat dicoba oleh Yogi dan Site sampai dipilih satu bentuk yang dirasa seimbang.

Setelah bentuk disepakati, Yogi dan Site mencoba melakukan pewarnaan dengan pylox, namun hasilnya tidak memuaskan. Akhirnya, Site memberikan ide untuk menggunakan bahan flanel. Terbentuklah Tagiman yang menurut Yogi dan Site seimbang dari segi desain dan siap untuk diproduksi.

“Saya sering dipanggil Pak Tagiman oleh pembeli yang mau order, ‘Pak Tagiman, saya mau membeli jamnya’. Mereka kira Tagiman diambil dari nama saya mungkin,” ungkap Yogi tertawa.

Variasi Tagiman (Foto: qlapa.com)
info gambar

Sebelum Tagiman, Yogi dan Site pernah membuat beberapa barang upcycle lain, namun karena keterbatasan bahan baku dan pertimbangan kontinuitas produksi, mereka saat ini baru fokus dalam pengerjaan dan pengembangan Tagiman. Bahan baku barang bekas sendiri didapatkan dari kerjasama dengan beberapa tukang loak.

“Nama Tagiman pun kami ralat yang tadinya seperti mengucapkan Superman, menjadi Tagiman yang seperti mengucapkan Sudirman atau Tukiman, agar lebih Indonesia–salah satu cara menunjukkan identitas produk bangsa ini,” kata Yogi.

Visi menjadi Home Industry

“Nama usaha kami Tatagi, yaitu tata lagi. Artinya kami ingin menata lagi apa pun yang dianggap sudah tidak berguna, kembali menjadi sesuatu yang berguna dan layak. Ke depannya kami ingin fokus untuk mengerjakan produk-produk upcycle lainnya dan tentu pengembangan Tagiman ke arah yang lebih maju (misal akan ada penambahan fitur sebagai speaker, lampu, dan lain-lain). Kami juga sangat membuka kerja sama dengan pihak-pihak yang memiliki kompetensi lain untuk dapat menghasilkan produk kolaborasi yang baru, unik, sederhana dan bermanfaat,” ungkap Yogi mengenai visi Tatagi Design.

Tatagi Design saat ini terdiri dari empat orang termasuk Yogi dan Site. Jika sedang dalam pengerjaan partai besar, biasanya mereka akan memanggil tenaga bantuan dari teman-teman sendiri. Kapasitas produksi maksimal per bulan sendiri baru bisa memenuhi sekitar 350 item. Produk yang dihasilkan kemudian dijual secara langsung di workshop Tatagi Design, lewat sistem konsinyasi di toko-toko interior, serta tersedia di Gramedia World Bintaro. Selain itu, Tatagi Design juga mendistribusikan produk via online di beberapa situs e-commerce. Sampai saat ini, baik saluran offline atau pun online diakui Yogi sama-sama efektif dalam mendorong penjualan.

“Ke depannya sih berhadap bisa dijadikan home industry. Jadi pengerjaannya bisa disebar ke warga-warga sekitar workshop, sekaligus memberdayakan masyarakat,” kata Yogi.

Tantangan sebagai Produk Lokal “Kesulitannya yang paling jelas adalah kami ini produk lokal. Sedangkan masih banyak yang import-minded dan paradigma tentang kualitas produk lokal yang buruk. Sudah lokal, bahan bakunya sampah pula. Tapi itu semua kami jawab dengan desain. Bagi kami desain itu vital. Bagaimana bisa menciptakan sampah menjadi barang yang good-looking, itulah gunanya desain. Banyak yang membeli Tagiman tidak menyangka bahan bakunya dari barang bekas,” kisah Yogi.

Yogi mengaku kagum sekaligus cukup sedih melihat banyaknya produk daur ulang yang memiliki ide bagus, namun tidak didesain dengan maksimal. Misalnya, tas dari bungkus deterjen, yang menurut Yogi seharusnya bisa lebih ditingkatkan estetikanya dengan cara mendesain lagi bagian luarnya.

“Biarlah kemasan detergen itu jadi bahan baku dasar, namun tetap seharusnya dikombinasikan dengan bahan baru agar produk yang diberikan ke konsumen menjadi produk yang seimbang secara kualitas dan estetika. Bukankan desain yang membuat banyak produk kita juga kalah saing dengan produk luar?”

Selain tantangan berupa persepsi konsumen terhadap produk lokal, tantangan lain yang kerap dihadapi pengrajin adalah keterbatasan dalam distribusi dan pemasaran. Namun, Yogi mengaku saat ini tantangan tersebut mulai teratasi dengan banyaknya e-commerce, sehingga sudah sewajarnya semakin banyak produk yang dihasilkan karena adanya kemudahan distribusi.

Lalu, apa harapan Tatagi Design terhadap industri handmade di Indonesia?

“Peningkatan kualitas dan terutama desain. Kita harus banyak belajar lagi mengenai desain, juga kerja sama antar UKM. Di Indonesia banyak orang cerdas namun jalan sendiri-sendiri. Kurang sinergi,” tutup Yogi.

Artikel ini merupakan kolaborasi dengan Qlapa.com

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini