Hidup Serba Ada di Desa Soanggama

Hidup Serba Ada di Desa Soanggama
info gambar utama

Pertengahan November lalu saya bersama tiga teman dari Palawa Unpad berkesempatan untuk pergi ke tanah Papua. Kami ke sana dengan tujuan untuk melakukan pendataan faktor penghambat pendidikan, khusunya literasi. Adapun pendataan kami spesifikan untuk dilakukan di sebuah desa, yaitu Desa Soanggama.

Desa Soanggama merupakan desa terakhir di salah satu jalur pendakian menuju Puncak Nemangkawi. Soanggama berada di distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua. Karena lokasinya yang cukup jauh dan sulit dari kota kabupaten, masuknya pendidikan menjadi salah satu kesulitan utama. Desa ini baru benar-benar mendapat fasilitas pendidikan (yaitu SD) yang sederhana sejak 2010.

Bagi saya yang sehari-hariya selalu disuguhkan suasana kota besar di Pulau Jawa, Papua dan Desa Soanggama tentunya memberikan warna baru. Sulit berpikiran negatif di sini karena lingkungannya yang masih asri. Pemandangan sekelilingnya yang indah. Serta gaya hidup warganya yang sederhana. Banyak sekali hal positif yang saya pelajari selama kami 10 hari tinggal di sana.

Sebenarnya tidak banyak warga Desa Soanggama yang memiliki pekerjaan seperti pekerjaan kita di kota. Hanya segelintir orang saja yang bertugas sebagai aparat desa, segelintir orang menjadi pemandu turis, dan segelintirnya lagi tidak bekerja. Awalnya aku sangat bingung dan mempertanyakan bagaimana mereka bisa menjalankan kehidupannya tanpa bekerja. Apalagi hampir seluruh laki-laki dewasa di sana memiliki lebih dari satu istri dan banyak anak.

Namun, siapa yang butuh pekerjaan jika sebenarnya fasilitas alam di sana telah sangat lengkap. Saya sangat menyukai bagaimana aktivitas keseharian mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Masing-masing warga memiliki kebun yang ditanam berbagai macam umbi-umbian, sayuran, dan buah-buahan. Sehingga tiap hari, selain hari Minggu mereka akan mengambil bahan makanan di kebun untuk dikonsumsi. Semua warga berjalan-jalan di desa saat pagi hari sambil makan ubi bakar adalah pemadangan yang sangat lumrah di sana.

Untuk memenuhi kebutuhan akan protein hewani, kaum laki-laki di sana semuanya dapat berburu dari masa kanak-kanak. Mereka biasa berburu menggunakan senapan atau panah. Karena lingkungannya yang terjaga hewan-hewan buruan pun masih banyak di sana. Biasanya mereka akan berburu kuskus, kasuari, dan lain sebagainya.

Lokasi yang berada di kawasan pegunungan pun membuat desa ini memiliki banyak sumber air. Jadi, masalah air bukan lagi sesuatu yang dikhawatrikan, karena kebutuhan air mereka sudah terpenuhi sepanjang tahun. Air yang mengaliri desa ini pun sangat jernih dan dingin karena tidak tercemar polusi.

Hal lain yang membuat saya semakin mencintai dan betah tinggal di sini ialah kebaikan para warganya. Mayoritas warga Desa Soanggama bersuku Dani. Nyaris setiap berpapasan dengan mereka, mereka akan menyapa dengan “kaonak” yang artinya selamat/termakasih. Selama di sana tidak berhenti kebaikan yang kami dapatkan. Rasanya hampir tiap kali berpapasan dengan warga yang membawa makanan, saya dan teman-teman saya pasti kebagian juga. Mulai dari jeruk yang sangat asam sampai bibir yang tidak sariawan pun terasa perih. Ubi yang jenisnya bermacam-macam dari ubi merah, kuning, hijau, dan putih. Tebu yang cukup keras digigit, sampai kebayang betapa kuatnya gigi mereka menggerogoti tebu itu. Lalu buah Markisa yang disebut Markita oleh mereka yang sangat segar. Bahkan sampai permen milkita.

Saya menyimpulkan bahwa kekentalan budaya saling berbagi ini masih bertahan karena memang mereka tidak banyak mendapat sentuhan dari luar. Sepertinya juga ini memengaruhi budaya gotong royong yang masih luar biasa. Setiap seorang warga akan membangun Honai (rumah adat papua), seluruh warga akan membantu menyelesaikan pembangunanya. Mulai dari mencarikan bahan-bahannya ke hutan dan merakitnya. Benar-benar kebiasaan yang sangat sulit ditemukan di kota.

Terakhir walaupun di sana tidak ada listrik dan sinyal terbatas, saya merasa kerasan sekali. Ya, kalau saya berada lebih lama lagi mungkin saya akan merasa jenuh juga. Tapi selama di sana saya merasa bisa menyesuaikan diri dengan cukup baik. Lingkungan sosial yang mendukung. Sumber-sumber kebutuhan pokok yang tersedia langsung dari alam. Seperti tidak ada sesuatu yang perlu di khawatirkan. Sungguh Desa Soanggama dan warganya mengajarkan banyak. Semoga kami dapat memijakkan kaki kembali ke sana dan merasakan kembali kebaikan-kebaikan tulus semesta alam.Tulis berita baik Anda di sini..

"Artikel ini diikutkan dalam Kompetisi Menulis Kabar Baik GNFI #2"

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini