Wajib Tahu, Begini Filosofi di Balik Kain-kain Batik dalam Pernikahan Adat Jawa

Wajib Tahu, Begini Filosofi di Balik Kain-kain Batik dalam Pernikahan Adat Jawa
info gambar utama

"Konsep pernikahan itu tentang welas asih," demikian kata perancang busana nusantara Era Soekamto. Menurut Era yang juga mendalami batik, pernikahan dalam konsep Jawa adalah hal yang sakral karena ada penyatuan makro dan mikro kosmos- ruh besar dan kecil, bukan cuma menyatukan dua insan. Maka, kalau kita ingat-ingat lagi, pernikahan dalam adat Jawa selalu punya makna filosofis di setiap pelaksanaannya bahkan sampai pada pemilihan busana.

Pernikahan adat Jawa identik sekali dengan kain batik. Motif batik, khususnya batik Jawa pun punya arti tersendiri yang terkandung dalam setiap titik dan garis. Nah, dua elemen ini yang lantas menjadi benang merah penyatuan dua ruh manusia yang menghadirkan cinta. Era juga menjelaskan, batik sebagai medium komunikasi awalnya digunakan untuk menyampaikan konsep transedental, pembuatnya melakukan meditasi dulu sebelum mulai membatik sampai tingkat spiritualnya mumpuni.

Nah, setiap upacara pernikahan ala Jawa, motif batik yang dipakai pun berbeda-beda, begitu pula batik yang dikenakan pengantin dan orang tua pengantin. Bagi kedua mempelai, motif batik yang digunakan harus yang diawali dengan kata "sida atau sido" yang berarti "jadi". Sementara itu motif batik yang dikenakan oleh orang tua adalah motif kain batik truntum. Di balik itu semua, apa filosofinya?

Batik untuk mempelai pengantin

Motif-motif batik yang dikenakan oleh pengantin (foto: https://mantenhouse.com)
info gambar

Sido Mulyo, digunakan oleh kedua mempelai pada saat pernikahan dengan makna agar kedua mempelai hidup bahagia, sejahtera, mulia, dan dilimpahkan rejeki yang cukup.

Sido luhur, berasal dari Keraton Surakarta. Batik motif ini dianjurkan digunakan oleh mempelai wanita di malam pernikahan. Keluhuran yang disampaikan dalam motif batik ini bermakna dari segi materi dan non materi di mana kedua mempelai dapat hidup berkecukupan dan keluhuran budi, tindakan, serta ucapan.

Sido Asih, batik ini juga dikenakan oleh mempelai wanita pada saat malam pesta pernikahan. Makna di balik motif ini adalah agar hidup rumah tangga kedua mempelai senantiasa dipenuhi kasih sayang.

Sido Mukti, biasanya dikenakan oleh mempelai pria dan wanita ketika pesta pernikahan. Makna motif ini adalah agar tercapai kemakmuran dalam kehidupan kedua mempelai serta masa depan yang baik.

Sido Wirasat, motif batik ini punya makna sebuah nasehat yang diberikan oleh orang tua untuk menuntun kedua mempelai dalam memasuki bahtera hidup rumah tangga. Di motif ini biasanya bersandingan juga dengan motif batik truntum.

Batik untuk orang tua pengantin

Motif batik yang dikenakan oleh orang tua pengantin (foto: https://mantenhouse.com)
info gambar

Batik truntum, berasal dari kata tumaruntum yang artinya adalah menuntun. Kadang dikaitkan juga dengan kata tentrem yang artinya tentramm. Orang tua pengantin menggunakan batik motif ini agar orang tua mampu menuntun dan memberi contoh kepada putra-putrinya dalam memasuki kehidupan rumah tangga. Kain motif truntum juga melambangkan rasa cinta karena menurut ceritanya, kain motif truntum ini dibuat oleh permaisuri Paku Buwono III, Ratu Kencono ketika sedang merindukan sang raja. Dari cerita ini banyak yang mengatakan pula kalau batik truntum merupakan simbol cinta sang ratu kepada raja.

Batik grompol, dalam bahasa Jawa artinya adalah bersatu. Kain batik motif ini biasanya dipakai saat upacara pernikahan. Motif ini melambangkan harapan bahwa ketika sang putra-putri sudah menjalani kehidupan berumah tangga, semua hal baik seperti rejeki, kebahagiaan, kerukunan, dan ketentraman akan berkumpul menjadi satu dalam rumah keduanya. Selain itu, motif ini juga menyampaikan bahwa pasangan baru dari ayah-ibu tersebut, sejauh apapun mereka pergi meninggalkan orang tua, mereka akan tetap kembali dan mengingat keluarganya.

Nah, di samping itu semua, ada beberapa motif batik yang tidak boleh dipakai untuk kegiatan pernikahan, salah satunya adalah motif batik parang. Motif ini dulunya, pada masa Keraton kuno memang hanya boleh digunakan oleh Raja dan keluarganya. Motif parang biasanya digunakan pada upacara kerajaan dan menurut Era, motif parang sebetulnya digunakan untuk upacara yang bersifat kepemimpinan.

Memang, menurut Era, kalaupun tidak mengenakan batik-batik tersebut sesuai dengan faedahnya tentu tidak akan menimbulkan petaka bagi pernikahan. Namun, memang begitulah batik yang punya ragam corak dengan berbagai filosofi yang berbeda-beda. Hal ini menunjukkan bahwa batik adalah sebuah medium komunikasi yang sarat dengan pesan.

Sumber : ANTARA

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini