Peci dan Identitas Bangsa

Peci dan Identitas Bangsa
info gambar utama

Kemarin, Rabu 1 Maret 2017 Indonesia kedatangan tamu agung. Petinggi Arab Saudi, Sang Raja Salman bin Abdulazis al-Saud tiba di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta bersama dengan beberapa rombongannya. Protokol dari Indonesia sudah mempersiapkan penyambutan dan jika kita melihat foto-foto penyambutan oleh pemerintah Indonesia, kita lihat semua pejabat negeri yang hadir dan menyalami baginda Raja Salman mengenakan jas hitam serta peci yang menutupi kepala mereka.

Pemandangan penggunaan peci alias kopiah di kepala para pejabat kita memang sudah tak asing lagi. Setidaknya coba lihat-lihat semua foto presiden kita. Kecuali Megawati, presiden kita yang lalu-lalu sampai yang sekarang selalu mengenakan peci. Penutup kepala warna hitam ini terkadang memang identik dengan simbol kaum muslim nusantara, tapi nyatanya sejatinya peci merupakan identitas bangsa.

Tepatnya ketika dilaksanakan rapat Jong Java di Surabaya, Juni 1921, peci pertama kali ditegaskan sebagai identitas bangsa. Siapa yang mengatakannya? Ia adalah Bung Karno. Usianya masih 20 tahun waktu itu dan pada rapat Jong Java tersebut ia harus menampakkan diri, tapi ada rasa berkecamuk dalam dirinya. Ia mengamati kawan-kawannya yang menurutnya terlalu gengsi tidak mau pakai penutup kepala seperti blangkon misalnya Konon, mereka para kaum berpendidikan membenci pakaian blangkon, sarung, dan peci karena dianggap cara berpakaian kaum rendah.

Namun, Soekarno muda ingin teguh pada pendirian bahwa ia tidak malu mengenakan peci. Di hadapan para hadirin rapat, Soekarno percaya diri mengenakan peci di kepalanya. Ia pun memecah kesunyian dan berteriak lantang: "Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka!" Lantas sejak saat itu Soekarno selalu mengenakan peci di setiap orasinya bahkan jadi identitas partainya, Partai Nasional Indonesia (PNI).

Soekarno juga mengenakan peci di forum-forum luar negeri (foto: penasoekarno.wordpress.com)
info gambar

Jika menilik sejarahnya, sebenarnya memang peci sudah dikenakan oleh kaum lelaki di nusantara sejak abad ke-15 tepatnya di daerah Giri yang salah satu pusat penyebaran Islam. Sekitar tahun 1486, Raja Ternate Zainal Abidin belajar agama Islam ke Giri kemudian ketika kembali ke Ternate ia membawa peci sebagai buah tangan. Pun masyarakat Bone sudah mengenal penutup kepala semacam peci sejak lama. Mereka menyebutnya recca yang umumnya dipakai oleh pasukan Kerajaan Bone ketika mereka berperang melawan pasukan Tortor pada 1683.

Sebelum mengenal peci, masyarakat di Jawa menjadikan blangkon sebagai identitas bangsa. Soekarno sendiri sejak kecil mengenakan blangkon sebagai penutup kepala, begitu pula H.O.S Tjokroaminoto yang selalu mengenakan blangkon sampai diikuti oleh para muridnya. Sedangkan peci sendiri sudah diperkenalkan pada orang Islam di Indonesia sejak abad ke-13, lalu suatu ketika Soekarno melantangkan kalimat bahwa peci merupaka identitas bangsa, sejak itulah peci tidak lagi identik dengan kaum muslim.

“Tutup kepala yang paling lazim digunakan adalah peci atau kopiah yang terbuat dari beludru hitam, yang semula merupakan salah satu bentuk kerpus Muslim. Setelah diterima oleh Sukarno dan PNI sebagai lambang nasionalisme, peci mempunyai makna lebih umum,” tulis Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya.

Makna peci

Ada yang mempercayai bahwa peci awalnya dibuat oleh Sunan Kalijaga yang menyebutnya dengan 'kuluk'. Ia menghadiahi Sultan Fatah, anak dari raja terakhir Kerajaan Majapahit sebuah kuluk yang melambangkan persamaan antara rakyat dan raja di mata Tuhan.

Selain itu, ada pula cerita bahwa peci dibawa oleh Laksamana Ceng Ho ketika berlayar ke Indonesia. Peci konon berasal dari kata pe yang artinya delapan dan chi yang artinya energi. Maka, bisa kita maknai peci adalah sebuah benda yang memiliki energi besar.

Di Turki, penutup kepala seperti peci ini disebut dengan Fez, sedangkan dalam bahasa Belanda disebutnya adalah petje yang artinya adalah topi kecil. Sementara itu, ada juga yang menyebutnya dengan kopiah yang artinya adalah kosong karena dipyah. Pyah adalah sebutan untuk 'dibuang' sehingga harapannya dengan mengenakna kopiah ini kita bisa membuang kebodohan dan sifat tidak terpuji lainnya.

Tak cuma bagi acara formal kenegaraan, peci juga menjadi pelengkap beberapa baju adat daerah (foto: jakartakita.com)
info gambar

Dari sekian banyak makna peci dengan ragam sebutannya itu, pada akhirnya kita memaknai bahwa peci memang menjadi salah satu pelengkap busana yang akan menambah karisma siapapun yang mengenakannya. Peci bahkan dianggap sebagai barang magis bagi orang-orang terdahulu. Hal ini ditulis oleh Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam buku Sejarah Nasional Indonesia III yang mengatakan demikian, "Peci dari Giri dianggap magis dan sangat dihormati serta ditukar dengan rempah-rempah, terutama cengkeh.”

Dan bagi Soekarno sendiri, peci menjadi simbol kepemimpinan. Setidaknya itulah yang ia perdebatkan dengan dirinya sendiri ketika akan menghadiri rapat Jong Java. Ia katakan pada dirinya, "Apakah engkau seorang pengekor atau pemimpin? Aku seorang pemimpin! Kalau begitu buktikanlah. Majulah. Pakai pecimu. Tarik nafas yang dalam dan masuklah ke ruang rapat... Sekarang!"

Hingga akhir hayatnya Soekarno setia mengenakan peci di setiap acara penting. Pun akhirnya ini diikuti oleh para kaum terpelajar dan pemimpin bangsa yang mengenakan peci di acara-acara formal. Jas, dasi, dan kemeja sebagai pakaian formal yang lazim dikenakan oleh elit Barat memang kita ikuti, namun yang membedakan bahwa kita adalah Indonesia berada pada penggunaan peci di kepala.

Sumber :

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini