Kerajinan Rotan dan Kayu Ternyata Bisa Populer Lewat Teknologi, Ini Buktinya

Kerajinan Rotan dan Kayu Ternyata Bisa Populer Lewat Teknologi, Ini Buktinya
info gambar utama

Dari sekian banyak kerajinan tangan Indonesia, sepertinya kerajinan rotan adalah salah satu yang unik dan khas. Selain itu, kerajinan rotan Indonesia juga sudah ada sejak lama, dan dari dulu sampai sekarang masih diminati oleh masyarakat luas, baik lokal maupun mancanegara. Itu tidak mengejutkan mengingat berbagai keunggulan yang dimiliki oleh rotan sebagai bahan untuk perabotan. Namun rotan kerap dipandang ketinggalan jaman.

Mempopulerkan rotan teknologi iniah yang menjadi tujuan Native Borneo, brand pengrajin asal Kalimantan Selatan yang membuat berbagai macam perabot rumah dari rotan dan kayu. Perabot yang dibuat dan dijual antara lain rak sepatu, rak majalah, tikar, sekat ruangan, kasur lipat, meja lipat, kursi lipat, sajadah, dan masih banyak lagi.

Nama Native Borneo sendiri didirikan oleh Anne Soemarko di tahun 2015. Tapi, usaha kerajinan rotannya sendiri sudah ada sejak 28 tahun lalu, didirikan dan dijalankan oleh orang tuanya, juga di Kalimantan Selatan. Ide kerajinan rotan ini sendiri berawal dari taun 1985. Saat itu, di Jepang terjadi booming Lampit. Masyarakat di negara itu banyak yang mencari lampit dan mau membelinya, bahkan jika itu harus dimpor. Tapi saat itu supply lampit di Indonesia sendiri tidak terlalu banyak. Melihat kondisi dan peluang itu, ayah Anne memutuskan untuk mendirikan perusahaan yang membuat lampit rotan untuk dijual ke berbagai negara termasuk Jepang.

Karena saat itu memang banyak dicari, lampit yang dibuat terjual dengan baik. Bagaimana tidak, “produk kerajinan rotan ini sekarang menjadi suatu barang yang unik dan langka, karena sudah tidak banyak lagi pengrajin rotan yang tersisa di dunia,” Anne menambahkan.

Ini juga ditambah dengan fakta bahwa perabot berbahan rotan juga cukup kuat, tapi lebih ringan dari perabot lainnya. Banyak dicari, usaha kerajinan lampit keluarga Anne ini terus berkembang dan mulai menghadirkan produk-produk baru seperti karpet saburina dan karpet kayu. Produk yang awalnya hanya dijual di pasar mancanegara juga akhirnya mulai dijual di pasar lokal.

Anne sendiri sebenarnya baru lulus kuliah dari salah satu universitas di Australia beberapa tahun lalu. Dengan ijazah dari luar, harusnya ia bisa mendapatkan pekerjaan yang oke, baik di Indonesia ataupun di Australia. Tapi Anne lebih memilih untuk kembali ke Indonesia dan membantu usaha kerajinan rotan milik keluarganya. Lagipula, ia sendiri juga ingin membuat brand kerajinan sendiri. Jadi, kembali dan membantu keluarganya bisa menjadi tempat belajar sambil mencari ide produk yang bisa ia kembangkan.

Tapi Anne sendiri masuk dan membantu bukan sekedar “melanjutkan usaha orang tua”. Sebagai yang lebih muda, ia sadar bahwa saat ini tren e-commerce atau jual beli/toko online sedang berkembang pesat Indonesia. Karena itu, Anne memutuskan untuk mencoba memasukkan kerajinan perabotan rotan dan kayu ini ke dunia online. Akhirnya, sejak bulan Juni 2015, berdirilah Native Borneo, sebuah brand online rintisan Anne yang khusus menjual kerajinan rotan dan kayu secara online, dengan tentunya lampit sebagai produk andalan. Ia mulai menjual perabot rotan dan kayu di media sosial seperti Instagram, serta situs toko online seperti Tokopedia, MatahariMall, dan Qlapa.com

Anne Soemarko (Foto: Qlapa.com)
info gambar

Responnya cukup baik dan hasil penjualannya selalu naik tiap bulan sejak pertama kali didirikan. Selain itu, berkat internet yang tidak mengenal jarak, Anne bisa membuat Native Borneo serta kerajinan rotan yang dibuatnya dikenal lebih banyak orang di seluruh Indonesia, tidak hanya tinggal di showroom mereka di Banjarmasin.

“Memang jika dibandingkan dengan hasil penjualan ekspor, penghasilan yang didapat dari jualan online masih sangat sedikit, tapi dari trend yang saya lihat, angka tersebut terus meningkat,” jelasnya.

Sekarang ini Indonesia baru punya sekitar 80 juta pengguna internet (dari 250 juta orang penduduk), dan yang sudah dan suka belanja online belum seberapa. Dengan meningkatnya angka itu, peluang berjualan online juga tentunya akan meningkat.

Alas duduk, produk Native Borneo (Foto: Qlapa.com)
info gambar

Meskipun begitu, bukan berarti ia tidak menghadapi tantangan. Ia harus selalu berusaha mempertahankan kualitas dari produk kerajinan rotan buatannya. Ini tidak mudah karena rotan sendiri adalah bahan alam yang kualitas serta kondisinya selalu berubah akibat berbagai faktor alam. Lalu, untuk urusan berjualan online, faktor logistik dan pengiriman masih menjadi salah satu tantangan atau hambatan yang tidak bisa dihindari. Karena ukurannya cukup besar, perabot rotan dan kayu dari Native Borneo biasanya memerlukan biaya atau ongkos kirim yang tidak sedikit. Ongkos kirim yang tinggi ini kadang membuat calon pembelinya ragu atau bahkan batal membeli kerajinan rotan dari Native Borneo.

Sejak lama, masalah logistik ini memang selalu jadi momok buat perusahaan e-Commerce di Indonesia, baik yang besar maupun kecil. Kita cuma bisa berharap ke depannya masalah ini bisa diatasi dengan baik sehingga membuka peluang lebih besar bagi penjual online, termasuk pengrajin lokal Indonesia, untuk terus berkembang.

Bagaimanapun juga, Anne yakin bahwa produk handmade buatan Indonesia punya potensi yang besar, baik lokal maupun mancanegara. Ia menceritakan, bahwa orang Jepang yang membeli lampit rotan buatan mereka tidak hanya membeli lampit, tapi juga produk handmade lain, baik dari Native Borneo maupun dari pengrajin lain. Untuk apa? Salah satunya dijual kembali (juga secara online) di sana.

Artikel ini merupakan hasil kolaborasi GNFI dengan Qlapa.com

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini