Ini Dia, Evy Ayu Arida, Peneliti Perempuan di Bidang Herpetofauna!

Ini Dia, Evy Ayu Arida, Peneliti Perempuan di Bidang Herpetofauna!
info gambar utama

Menekuni profesi selama hampir 17 tahun sebagai peneliti Zoologi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Evy sudah akrab dengan hewan melata dan reptil. Lolos pada rekruitmen LIPI tahun 2000, Evy diterima pada posisi dalam bidang herpetologi, yaitu cabang ilmu zoologi yang mempelajari kehidupan (biologi) reptil dan amfibia.

Wanita lulusan Universitas Gajah Mada Yogyakarta ini mengaku cemas dan panik saat dihadapkan oleh hewan reptile untuk pertama kalinya. Tak hanya itu, pada hari pertama masuk Evy mengaku sempat meminta ke kepala bidang untuk mintah pindah. Hal itu ternyata tidak diperbolehkan mengingat dua posisi yang tersedia di rekrutmen tersebut ialah untuk bidang yang sama yakni herpetologi.

Evy Ayu Arida (Harian Nasional | Yosep Arkian)
info gambar

Dari sana, Evy mendapatkan banyak wejangan terkait dalam hal mengatasi kecemasanya. Pertama dari kepala bidang yang menyuruh Evy untuk mulai belajar memegang cicak rumah terlebih dahulu. Dan ada juga dari senior yang meminta Evy untuk memegang daun telinga dulu sebelum memegang cicak. “Saya diminta untuk tidak perlu takut, toh (megang cicak) kaya megang bagian tubuh kita sendiri,” pungkas perempuan berusia 43 tahun itu.

Mulai terbiasa dengan lingkungan yang ada, Evy mengaku bahwa menjadi peneliti di bidang zoologi kekuatan utamanya ialah terletak pada kekuatan fisik. Itu dikarenakan Evy harus bekerja dimana reptil dan amfibi aktif hingga malam hari. “Kalau saat meneliti tikus sawah saya keluar malam hari, sekarang kerjanya jauh luar biasa, dari pagi sampai malam. Saat ekspedisi, ketika peneliti lain sudah tidur, kami baru ke luar,” ujarnya.

Evy dengan reptil yang aktif di malam hari
info gambar

Berpengalaman menjelajahi Indonesia barat hingga timur selama 17 tahun, Evy mengaku tetap mempunyai tantangan tersendiri untuknya. Terutama dalam hal teman-temannya yang mana didominasi oleh kaum laki-laki. Evy menuturkan harus bersaing dengan laki-laki yang pada umumnya memiliki potensi kekuatan fisik yang lebih besar dibanding perempuan. “Untuk manjat aja, mereka bisa langsung naik pohon. Lah, saya harus mikir dulu gimana cara naiknya,” ujar peraih gelar Master of Science di Flinders University Adelaide, Australia, itu.

Untuk memenuhi kebutuhan penelitiannya, tentu Evy sering melakukan ekspedisi ke alam-alam. Misalnya saja saat melakukan ekspedisi di Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara sampai ke dekat Flores untuk investarisasi biawak bersama seorang kolega dari Jerman. “Saking lamanya, pas pulang ke kantor, satpam menyuruh saya mengisi buku kunjungan karena mengira saya tamu,” tutur Evy.

Menjadi saksi bisu dari keragaman fauna di Indonesia, Evy berpengalaman bertemu dengan kadal Australia yang berukuran 20 centimer yang unik sekali. Meski cukup menantang, Evy berujar bahwa bidang yang dijalaninya ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan dalam hal peminatan bagi anak muda, terutama di kalangan perempuan. Tidak sedikit mahasiswi, termasuk dari Institut Pertanian Bogor, memilih untuk meneliti reptil dibandingkan mamalia, sebagai obyek penelitian skripsi ataupun tesis.

Melihat fenomena tersebut, Evy berharap bahwa ada dampak positif terhadap herpetofauna, di samping di bidang penelitian. “Semoga kehidupan herpetofauna di Indonesia dapat semakin dipertahankan dan mengalami perbaikan secara bertahap,” ucap perempuan yang fasih di bahasa Inggris, Jerman dan Prancis ini.

Tak hanya itu, Evy juga berharap bahwa hasil penelitiannya selama ini dapat dimanfaatkan sebagai edukasi bagi anak-anak Indonesia terhadap satwa liar yang selama ini kurang dikenalkan. “Karena pengaruh dari keluarga dan masyarakat sekitarnya, kebanyakan di antara mereka berpikir bahwa reptil merupakan hewan jahat karena berbisa, padahal tidak sepenuhnya benar,” tutur Evy.

Evy berujar bahwa sangat besar harapanya terkait hubungan satwa dengan juga manusia. Melalui penelitianya tersebut, ia berharap agar bisa meminimalisir konflik antara satwa dengan manusia yang masih kerap terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. “Pada akhirnya, bisa terjadi keseimbangan antara habitat satwa dengan lingkungan manusia,” ucapnya.

Sumber: harnas.co

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini