Teknologi Pengamatan Lahan Gambut Karya Indonesia

Teknologi Pengamatan Lahan Gambut Karya Indonesia
info gambar utama

Indonesia tidak lama lagi akan memasuki musim kemarau yang kering. Dan dimasa kemarau, Indonesia cenderung kerap dikaitkan dengan kasus kebakara hutan utamanya kebakaran lahan gambut yang banyak ditemui di Kalimantan.

Namun pada tahun ini mitigasi kebakaran lahan gambut rasanya akan lebih baik berkat adanya berbagai teknologi yang dikembangkan peneliti Indonesia oleh Badan Pengkajian dan Penelitian Teknologi (BPPT), Morpalaga.

Seperti diberitakan Kantor Berita ANTARA, Ketua Dewan Riset Nasional (BRN), Dr. Bambang Setiadi menjelaskan bahwa teknologi yang dibutuhkan untuk lahan gambut saat ini setidaknya mampu melakukan pemantauan. Baik lewat internet maupun telepon genggam. "Teknologi ini juga harus memungkinkan kita mendapat datanya secara seketika (real time)," jelas Bambang.

Secara lebih kongkrit, Bambang menjelaskan bahwa saat ini Indonesia sangat membutuhkan alat pengukur tinggi air muka untuk lahan gambut. Sebab pengetahuan tentang tingginya muka air akan mempengaruhi kemunculan titik api di lahan gambut. Sampai saat ini pihaknya masih mengkaji alat yang berasal dari Jepang dan karya Indonesia sendiri, hasil pengembangan BPPT.

Teknologi Morpalaga (monitoring real time tinggi permukaan air lahan gambut) yang dikembangkan BPPT Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) diklaim mampu mengirim data seketika setiap 10 menit. Alat ini akan mengambil data klasifikasi gambut, kedalaman dan tinggi muka air lahan gambut. Bahkan alat ini juga mampu mengoleksi data iklim seperti kelembaban udara, curah hujan dan suhu udara. Alat Morpalaga ini merupakan hasil pengembangan Dr. Sidik Mulyono, dari Kedeputian Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam BPPT.

Menurut Sidik, kelebihan Morpalaga dibanding alat Sesame dari Jepang adalah, sensor untuk mendeteksi level air tanah menggunakan tipe sonar. "Sehingga dalam kondisi air keruh sekalipun pengukuran tetap dapat berlangsung. Berbeda dengan tipe pressure gauge, pengukurannya akan terganggu saat berlumpur," ujar alumni Nihon University, Jepang tersebut.

Selain itu, teknologi yang memungkinkan pengukuran dan pelaporan informasi jarak jauh menggunakan protokol USSD (Unstructured Suplementary Service Data), yang merupakan jalur kosong dan protokol yang bersih (non-voice).

"USSD mampu mengirim data dalam kondisi sinyal yang sangat minim, hanya 1 bar. Sistem ini memang rumit karena sinyalnya acak, jadi kami perbaiki agar bisa diterapkan," katanya.

Pengiriman data yang melalui prosedur GSM juga akan mempermudah terkirimnya data. Sedangkan untuk wilayah yang sangat terpencil, protokol yang digunakan adalah lewat radio telemetri. Dari sisi keamanan informasi, teknologi ini akan menggunakan teknologi server awan (cloud) untuk mencegah kebocoran informasi.

"Untuk wilayah terpencil yang belum mendapat sinyal GSM, kami juga telah mengembangkan radio telemetri hingga radius 20 km, sehingga sinyalnya akan disambungkan oleh pemancar ke router lalu ke penerima GSM terdekat," katanya.

Hal mendasar yang bisa menjadi pertimbangan penggunaan teknologi BPPT adalah dari sisi harga dan biaya perawatannya yang relatif murah karena diproduksi di dalam negeri. BPPT bahkan berani memberikan jaminan lima tahun untuk memperbaiki atau mengganti komponen yang rusak.

"Hampir semua komponen Morpalaga milik lokal, hanya sonar saja yang masih impor dari Eropa, Jepang pun impor. Apalagi komponen-komponen Morpalaga akan diproduksi massal oleh industri kecil menengah," katanya sambil mengatakan pihaknya telah mengajukan paten sejak 2016.

Beberapa pihak yang tertarik menggunakan Morpalaga diantaranya adalah Badan Restorasi Gambut (BRG) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).


Sumber: ANTARA

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini