Tim Hannigan: Pahami Sejarah dengan Merasakan Kejadiannya

Tim Hannigan: Pahami Sejarah dengan Merasakan Kejadiannya
info gambar utama

Publik awam Indonesia mungkin belum begitu mengenal Tim Hannigan. Namun nama penulis asal Inggris ini begitu akrab di telinga para pecinta sejarah Indonesia.

10 tahun sejak kunjungan pertamanya ke nusantara, Tim menerbitkan buku pertamanya tentang Indonesia pada 2012. Buku berjudul "Raffles and the British Invasion of Java" ini menceritakan tentang pertempuran Batavia, ekspedisi Inggris ke Palembang, penjarahan kerajaan di Yogyakarta, hingga pertikaian antara tentara dan sipil.

Buku ini mampu melengkapi kehausan pencinta sejarah, akan gambaran peristiwa yang terjadi selama kedudukan Inggris di Jawa. Jika buku "History of Java" karangan Gubernur-Letnan Hindia Belanda Thomas Stamford Raffles (1817) mencatat kekayaan alam dan budaya masyarakat Jawa pada masa itu, karangan Tim ini berfokus pada sistem pemerintahan Inggris di nusantara.

Bagaimana perkenalan pertama Tim terhadap sejarah Indonesia? Saat pertama menginjakkan kaki di Indonesia, Tim mengunjungi sebuah toko buku. Sebagai pendatang, ia selalu ingin mempelajari tentang negara yang ia kunjungi. Kebetulan ia memiliki ketertarikan pada isu sejarah, hingga ia pun mencari buku-buku dengan tema tersebut.

Namun ia tak berhasil menemukan satupun buku yang menceritakan sejarah indonesia secara ringan. Memang banyak buku sejarah yang ia temukan, namun dalam bahasa akademis yang baginya tidak menarik. Apalagi bagi pelancong yang membutuhkan informasi ringan sepertinya, sebab tak memiliki waktu banyak untuk membaca, sembari membawa buku dalam tiap kunjungan.

Meski selalu menyempatkan berkunjung ke toko buku di tiap kota yang ia singgahi, Tim belum juga menemukan buku yang diinginkannya. Ia pun pulang dengan tas berisi banyak buku tentang Indonesia, yang kemudian menjadi modalnya untuk lebih memahami negara tersebut.

Pria yang pernah berprofesi sebagai juru masak ini lantas mulai mencatat sejumlah informasi tentang kunjungannya ke Indonesia. Dengan bantuan sejumlah buku berlatar akademis yang ia beli di Indonesia, ia pun merangkai peristiwa demi peristiwa yang mampu menjelaskan sejarah Indonesia. Ia bercerita dari jaman prasejarah, masa kolonial, revolusi, orde baru, reformasi hingga insiden tsunami 2004.

Catatan ini kemudian diterbitkan oleh Tuttle Publishing pada 2015, dengan judul "A Brief History of Indonesia - Sultans, Spices, and Tsunamis: The Incredible Story of the World's Largest Archipelago". Tim memberi klaim catatan ini sebagai buku pertama tentang Indonesia yang menceritakan sejarah dengan ringan.

Klaim ini memang tidak mengada-ada. Ringannya buku tampak dari pemilihan bahasa yang digunakan Tim. Ia selalu memulai tiap bab buku dengan paragraf ala penulisan sastra, yang disebutnya sebagai penulisan sejarah naratif.

"Keempat kapal itu tertatih-tatih memasuki Teluk Banten, jauh dari kesan gagah. Layarnya compang-camping, dipenuhi lumpur dan lumut. Jika diantara kerumunan pembeli dan pedagang pasar tepi sungai yang berada di luar tembok pelabuhan ujung teluk itu menengadah dan melihat armada kecil yang menyedihkan tersebut, mereka mungkin akan bertanya-tanya dari mana asal kapal-kapal tersebut. Namun kapal asing telah menurunkan jangkar di Banten selama ribuan tahun. Maka kedatangan kapal selalu menjadi hal biasa, sehingga tak seorangpun memperhatikan kedatangan keempat kapal compang-camping. Hal itu terjadi pada Juni 1596." [Paragraf pembuka Bab 3 dalam "A Brief History of Indonesia"]

Setelah menyelesaikan studi di bidang jurnalistik, Tim kini berprofesi sebagai penulis lepas dan jurnalis perjalanan. Ia memfokuskan diri pada penulisan tentang Indonesia dan Asia Tenggara. Tulisannya dimuat di berbagai surat kabar dan majalah di Asia, Timur Tengah, Amerika Utara dan Inggris, serta menjadi ahli sejarah yang memberi pendapat di berbagai radio dan dokumenter televisi.

Tim telah hasilkan enam judul buku, hanya satu diantaranya yang bukan mengenai Indonesia dan tiga diantaranya baru akan terbit di akhir 2017. Buku pertamanya "Murder in the Hindu Kush" terpilih sebagai kandidat Boardman Tasker Prize, sedangkan "Raffles and the British Invasion of Java" memenangi John Brooks Award pada 2013. Rencananya, buku "A Brief History of Indonesia" akan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

Setelah kunjungan pertamanya pada 2002, Tim telah berulangkali mengunjungi Indonesia. Jika di awal kunjungannya ia menjadi pelancong dengan modal minim (backpacker), lalu peneliti, ia kini lebih sering menjadi pembicara dalam diskusi terkait buku-buku yang ditulisnya. Sebagaimana Selasa (15/08) lalu, ketika Good News from Indonesia (GNFI) berbincang dengannya usai penyelenggaraan sebuah diskusi.

Dalam perbincangan ini, Tim menjelaskan bagaimana ia jatuh cinta dengan Indonesia yang disebutnya sebagai wilayah di Asia Tenggara yang memiliki kekayaan sejarah paling kaya. Ia pun menjadi salah satu orang asing yang memiliki ketertarikan khusus terhadap Indonesia (Indonesianis), yang telah memberi kontribusi pada negara ini. GNFI juga menanyakan bagaimana ia melihat Indonesia di masa mendatang. Berikut petikannya.

Ketika menyebut kata "sejarah", apa yang ada di benak Anda?

Sejarah adalah gambar, buku, tulisan, perayaan, dan hal-hal seperti itu. Namun sejarah juga merupakan apa yang kita makan, bahasa yang kita gunakan, kehidupan yang kita jalani, dan seterusnya.

Bagaimana cara terbaik untuk memahami sejarah? Mengingat Anda merasakan sulitnya mendapatkan buku sejarah yang ditulis dengan gaya bahasa awam.

Hal pertama yang penting untuk dilakukan untuk memahami sejarah adalah, dengan mempelajarinya di sekolah. Kemudian, kita bisa memahaminya dengan lebih santai, seperti mengunjungi tempat-tempat bersejarah dan merasakan atmosfer yang terbentuk di tempat-tempat tersebut.

Saya jadi ingat, Anda melakukan hal tersebut saat mengunjungi Museum Konferensi Asia Afrika di Bandung. Saya membacanya di buku "A Brief History of Indonesia".

Benar sekali. Persis seperti itu cara yang bisa dilakukan. Saat di sana, saya memperhatikan seluruh diorama. Dengan dukungan ruangan yang panas dan gelap, saya seakan ikut menjadi bagian dari konferensi tersebut. Saya seperti mendengarkan langsung Pidato Soekarno yang mengajak bangsa-bangsa di Asia dan Afrika untuk mempertahankan kemerdekaannya, untuk bersatu meski berbeda suku, agama dan pandangan politik. Saya sampai berkeringat, ikut berdebar mendengar kata-katanya. Inilah yang sebenarnya harus terjadi, membuat kita dapat benar-benar merasakan apa yang terjadi di masa lalu.

Membuat kita merasakan yang terjadi di masa lalu, ini sangat menarik. Jika ditarik pada konteks kemerdekaan Indonesia yang sebentar lagi akan kami peringati, adakah saran untuk dapat merasakan apa yang terjadi di masa lalu tersebut?

Kemerdekaan Indonesia baiknya dipahami tak hanya sebagai angka, 17 Agustus 1945. Lalu, apa? Saya pikir, kita dapat merenungkan kembali apa yang ada dalam teks proklamasi yang dibacakan Bung Karno. Merasakan seolah-olah ia sedang membacanya di depan kita, rasakan tekanan suara, rasakan makna tiap katanya, rasakan suasananya. Cara ini saya lakukan di tiap lokasi bersejarah, agar dapat menuliskan kembali secara naratif suasana yang terbangun di masa itu.

Bagaimana Anda melihat Indonesia saat ini?

Kini sudah 15 tahun sejak kedatangan pertama saya ke Indonesia. Jika dahulu orang Eropa mengira Indonesia adalah negara kecil di Cina, kini mereka lebih paham. Indonesia kini miliki kebanggaan yang berarti di mata dunia, termasuk di Eropa.

Bagaimana pula Anda melihat Indonesia ke depan, sebutlah ketika usianya mencapai 100 tahun nanti?

Saya pikir, Indonesia akan memiliki kebanggaan yang sama dengan yang dirasakan hari ini. Setidaknya begitu harapan saya. 100 tahun nanti, masyarakat Indonesia tak akan lagi merasa tidak bangga akan identitas kebangsaaannya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini