Mengurai Makna dan Filosofi Tradisi Islam Jawa Lewat Kuliner

Mengurai Makna dan Filosofi Tradisi Islam Jawa Lewat Kuliner
info gambar utama

"Tradisi Jejanur Menyambut Kupatan"

Sumber: Arina Ulfatul Jannah (disadur dalam berbagai sumber)

Setelah datangnya Hari Raya Idul Fitri, biasanya masyarakat Islam Jawa akan mengadakan tradisi puasa 6 hari atau biasa disebut puasa syawal yang dimulai dari tanggal 2 sampai 7 syawal. Puasa ini disunahkan oleh Baginda Rasulullah Muhammad SAW dalam rangka peleburan dosa dan pahalanya sebanding dengan menjalankan puasa 1 tahun penuh. Pada intinya puasa ini dilaksanakan untuk membentengi diri dari sifat dan sikap negatif atas napsu angkara. Sebelum mengakhiri puasa syawal ke 6 biasanya masyarakat akan disibukkan dengan mempersiapkan janur untuk upacara menyambut kupatan (lebaran ketupat) di malam ke 7 syawal. Masyarakat biasanya mencari janur di pekarangan rumah bagi yang memiliki pohon kelapa sendiri dan pastinya mayoritas masyarakat pesisir memilikinya namun ada juga yang beli karena keterbatasan waktu dan ini menjadi peluang dagang bagi para pedagang untuk memborong janur. Ini juga menjadi ladang rezeki tahunan tersendiri baik bagi para pedagang maupun masyarakat setempat yang memiliki banyak pohon kelapa di pekarangannya. Adapun daun kelapa yang dipakai adalah daun kelapa biasa dan bukan daun kelapa kopyor karena dikhawatirkan akan mempengaruhi produktivitas pohon itu sendiri. Biasanya masyarakat akan memasak ketupat bersama-sama untuk dibagikan kepada tetangga, handai tolan dan keluarga dekat untuk di santap pada saat lebaran ketupat tiba. Ini bedanya cara menyantap ketupat lebaran di desa dengan di kota seperti Jakarta. Jika, di Jakarta pada hari 1 syawal sudah memakan ketupat maka akan berbeda jika menemuinya pada masyarakat pedesaan terutama di daerah pesisir Jawa karena baru hari ke 7 syawal masyarakat afdhol untuk memakannya. Ini juga lekat dengan tradisi para walisongo yang menyebarkan Islam di awal kedatangannya pada saat itu. Utamanya, mayoritas daerah pesisir yang saat ini tumbuh menjadi daerah bernama kota karena sejarahnya dulu banyak saudagar, musafir dari belahan bumi lain datang dan singgah sehingga perputaran transaksi dagang, pertukaran informasi, akuturasi budaya menjadi dinamis dan kemudian bersinergi melahirkan tradisi lomban kupatan pada puncak perayaan kupatan (lebaran ketupat). Biasanya masyarakat akan berduyun-duyun datang ke alun-alun untuk meramaikan acara ini. Di tepi sungai yang membataskan antara pesisir dan tepian kota sendiri ada penyewaan sanpan atau perahu milik masyarakat lokal untuk keliling pantai memeriahkan perayaan serta untuk melihat tumbuhan bakau yang bertengger di sepanjang pantai. Pada malam harinya acara masih berlanjut yaitu hiburan panggung yang diramaikan oleh para remaja dan pelajar setempat serta masyarakat umum. Juga ada pasar malam yang dihiasi pernak pernik pedagang dengan segala dagangannya dan ini menjadi berkah tersendiri bagi para pedagang serta menjadi kebahagiaan tersendiri bagi masyarakat yang ikut serta menyaksikan dan meramaikannya. Bahkan, para pedagang ini sudah jauh-jauh hari menyewa dan menjajakkan dagangannya di alun-alun tepatnya pada tanggal 1 syawal. Seperti halnya pesta rakyat yang diadakan tujuh hari tujuh malam. Acara ini sangat meriah dan penuh keceriaan dari anak-anak belia utamanya.

"Hidangan Kupat Lepet"

Jika sebelumnya sudah banyak diuraikan tentang definisi kupat (ketupat), maka akan lengkap jika disandingkan dengan lepet. Banyak masyarakat yang telah mengenal ketupat namun ia juga memiliki teman pendamping bernama lepet. Makanan ini mirip seperti lemang dalam tradisi masyarakat Melayu. Lepet sendiri bisa disandingkan dengan jenis kuliner lain seperti lemper dengan sushi atau koci dengan mochi. Jika, kupat dimakna banyaknya khilaf yang dilebur menjadi suci dengan simbol nasi putih lembut yang berbalut anyaman janur sebagai alas pengikatnya maka, lepet dimakna kerekatan atau kelekatan yang dibangun untuk tetap menjaga ukhuwah atau persaudaraan dengan simbol ketan didalamnya. Sederhananya, "minal aidin wal faidzin" mohon maaf lahir batin, saling jaga ukhuwah persaudaraan baik antar makhluk berketuhanan serta antar bangsa. Ada mitos yang berkembang di masyarakat Jawa bahwa juga lepet ini biasa diikat satu sama lain kemudian digantungkan di daun pintu dalam rangka berbagi makanan pada arwah leluhur ataupun arwah keluarga yang telah lama meninggal. Namun, saat ini sebagian masih ada yang percaya dan sebagian lagi hanya memaknai saja sebagai simbol hiasan untuk menandai bahwa datangnya kupatan telah tiba. Disamping kupat lepet biasanya masyarakat menambahkannya dengan kuah sayur maupun opor ayam untuk kemudian dibagi-bagikan. Hal ini menjadi satu pandangan tersendiri karena kita bisa saling berbagi dan bertukar makanan dengan rasa satu sama lain yang berbeda walau dengan bahan dasar dan bentuk yang sama. Ini juga menyiratkan tentang indahnya keragaman. Bahkan sajian hidangan atau kuliner seperti lepet ini hanya bisa ditemui pada saat hari besar saja. Kita bisa menjumpai acara bagi-bagi makanan semacam ini lagi di bulan Muharram (Baca: tahun baru Islam) atau sasi suro dalam penanggalan Jawa yang sangat dikeramatkan oleh masyarakat Jawa untuk lebih berdoa memohon keselamatan pada Sang Maha Kuasa atas datangnya bulan baru dalam kehidupannya. Bedanya adalah saat sasi suro yang dihidangkan berupa bubur putih yang diolah dengan santan kelapa dan diatasnya ada sayur toge, orek tahu-tempe, ayam suwir dan bawang goreng sebagai pelengkapnya. Inilah indahnya bentuk tradisi masyarakat Islam Jawa yang ikut mewarnai budaya Nusantara nian apik.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini